Pada zaman ini, alat ukur sudah berteknologi canggih, termasuk di bidang komunikasi. Alat-alat itu sudah sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari.
Counter Handphone tumbuh bagaikan jamur di musim labuh. Kenyataan tersebut mengilhami sebagian orang untuk melangsungkan pernikahan lewat telephone, karena dipandang lebih praktis apalagi bagi orang yang sangat sibuk.
Namun, memutuskan hukum, tidaklah cukup hanya didasarkan atas pertimbangan kepraktisan semata, perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang lain. Sebab menurut ajaran agama Islam, pernikahan itu snagat sakral.
Dilihat dari segi fungsinya, pernikahan merupakan satu-satunya cara yang sah untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan mendapatkan keturunan, di samping meningkatkan ketakwaan seseorang.
Melihat kedudukannya yang demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda dengan akad jual beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tanwir al-Qulub, al-Tanbih, dan Kifayah al-Akhyar, akad pernikahan hanya dianggap sah jika dihadiri mempelai laki-laki, seorang wali, dan ditambah minimal dua orang saksi yang adil.
Pengertian “dihadiri” di sini, mengharuskan mereka secara fisik (jasadnya) berada dalam satu majelis. Hal itu mempermudah tugas saksi dan pencatatan. Sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak mempunyai peluang untuk mengingkarinya.
Karenanya, akad nikah lewat telephone tidak mendapat pembenaran dari fikih, sebab tidak dalam satu majelis dan sangat sulit dibuktikan.
Sumber: Dialog Problematika Umat; 234-235, Surabaya- Khalista, 2013.