Ngapain Sih Meributkan Aturan Jilbab di Sekolah yang Progresif?

Ngapain Sih Meributkan Aturan Jilbab di Sekolah yang Progresif?

Diskusi tentang sekolah yang memaksa berjilbab tidak perlu diseret ke isu memaksa menggunakan simbol agama tertentu. Cukup mencari jawaban maksud dan tujuan si pembuat aturan.

Ngapain Sih Meributkan Aturan Jilbab di Sekolah yang Progresif?

Sebelum nge-judge ke mana-mana, pihak yang ‘menggoreng’ isu pemaksaan siswi non-muslim untuk berjilbab lebih baik menelaah kasus ini lebih dalam. Belum lama ini seorang siswi non-muslim di Padang diminta untuk berjilbab karena menjadi aturan tertulis sekolahnya, sebuah sekolah kejuruan yang berstempel negeri. Ibu siswi tersebut menolak karena menganggap bahwa anaknya tidak menganut agama Islam.

Mengapa harus menggunakan pakaian ala muslimah?

Video yang menunjukkan protes tersebut kemudian viral dan menjadi pemberitaan di media massa. Banyak tokoh bersuara, baik pihak yang pro dengan aturan sekolah itu, atau pun pihak yang kontra karena hal itu menjadi aturan di sekolah berbasis negeri. Kalau mau terapkan aturan itu ya seharusnya di sekolah yang dikelola sendiri, bukan di sekolah negeri yang notabene harus menjadi tempat untuk semua! Begitu ujar yang mengecam aturan sekolah.

Pada perkembangannya, kasus tersebut kini masuk ke babak baru. Komnas HAM, Ombudsman RI, Kemendikbud, dan pihak sekolah bakal beraudiensi untuk mencari solusi terbaik terkait aturan yang sudah ditetapkan. Siswi bernama Jeni Cahyani Hia juga sudah boleh bersekolah seperti biasa.

Yang harus diapresiasi: kepala sekolah mengaku salah dan meminta maaf! Bagi saya, kasus di Padang tak perlu dihujat lagi. Justru, ada poin-poin penting yang harus kita ambil dari sini.

Pertama, aturan bahwa semua siswi harus berjilbab menunjukkan bahwa sekolah di Padang itu sangat progresif. Kenapa? Karena di saat banyak orang menyebut jilbab sebagai pakaian muslimah, sekolah tersebut membuat langkah yang mind-blowing yang menyatakan bahwa jilbab itu pakaian universal. Tak heran apabila ia begitu ngotot meminta siswi non-muslim yang bersekolah juga berjilbab.

Saya ingat ketika mengikuti sebuah pelatihan literasi media digital. Sang narasumber menunjukkan foto perempuan mengenakan burqa. Ketika ia tanya, apa agama si perempuan? Mayoritas menyebutnya sebagai Islam. Narasumber tersebut menunjukkan gestur bahwa tebakan peserta keliru. Ia kemudian menunjukkan screenshoot artikel yang menyebut bahwa perempuan itu penganut Yahudi Ortodoks.

Artinya, jilbab itu bukan pakaian muslimah, tapi pakaian yang juga dipakai oleh penganut agama-agama terdahulu. Pun dengan penganut Kristiani yang sampai sekarang masih disimbolkan di pakaian suster beberapa ordo. Dengan memaksa siswi non-muslim berjilbab, aturan sekolah tersebut seolah ingin membuat satu standar baru di Indonesia bahwa jilbab bukanlah pakaian yang eksklusif. Justru orang yang menghujatnyalah yang kurang open-minded!

Kedua, memang benar bahwa sekolah negeri itu harus jadi rumah bagi semua. Sekolah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan undang-undang, utamanya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 yang berbunyi, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Bagaimana jika di daerah tersebut jilbab sudah menjadi kultur bagi setiap pemeluk agama? Apakah masih relevan menyebut kepala sekolah sebagai orang yang anti keberagaman, sementara ia menunjukkan keberagaman meski dengan cara yang sensasional? Aturan kewajiban jilbab atau jilbabisasi sama sekali bukan islamisasi. Itu adalah cara lain untuk menyebut bahwa jilbab tidak beragama. Sama seperti rok, kemeja, dan aksesoris lainnya. Bukankah itu menunjukkan cara hidup yang sangat substantif?

Pakaian sekolah memang mengalami evolusi yang sangat luar biasa dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dulu sekali, jilbab belum menjadi simbol muslimah. Siswa dan siswi bahkan masih mengenakan baju legan pendek dan celana sebatas lutut. Sejak revolusi Iran yang mewajibkan muslimah di sana berjilbab, standar pakaian di Indonesia sedikit demi sedikit terpengaruh oleh situasi negara teokrasi tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir bahkan kampanye berjilbab banyak disuarakan oleh banyak pesohor.

Dulu berjilbab di sekolah negeri hanya dilakukan oleh siswi yang dikenal religius. Namun, hari ini berjilbab sudah tidak menunjukkan tendensi apapun karena jilbab sudah begitu membudaya.

Satu-satunya yang harus dipermasalahkan soal kasus jilbab non-muslim adalah di ‘pemaksaannya’. Memaksa untuk melakukan dan tidak melakukan berdasar keyakinan agama tertentu adalah hal yang harus ditentang, terutama di konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.

Bagi saya, diskusi tentang sekolah yang memaksa berjilbab tidak perlu diseret ke isu memaksa menggunakan simbol agama tertentu. Cukup mencari jawaban maksud dan tujuan si pembuat aturan. Jika ia mengaku salah, berarti aturan tersebut perlu direvisi sesuai dengan amanah undang-undang.

Tentu saja tidak sesederhana itu. Apalagi masyarakat Indonesia seakan sudah mempunyai konsensus bahwa jilbab adalah eksklusif untuk muslimah.

Wallahua’lam.