
Setiap kamis selama Ramadhan, Islami.co akan menghadirkan kajian tasawuf yang disampaikan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Materi kajian ini diambil dan diolah dari video pengajian rutin tasawuf di Masjid Sunda Kelapa. Program Ngaji Tasawuf Bareng Menteri Agama kali ini akan dibuka dengan tulisan Panduan Utama Perjalanan Spritual.
*******
Perjalanan spritual dalam ilmu tasawuf seringkali diistilahkan dengan al-Suluk dan al-Sayyir. Kedua kata ini dapat diartikan secara bahasa dengan perjalanan. Selain dua kata ini, dalam al-Qur’an sebetulnya terdapat lebih dari sepuluh istilah yang digunakan untuk menyebut perjalanan, semisal al-safar, al-siyahah, al-subul, al-thuruq, al-shirath, dan seterusnya. Hanya saja pada kesempatan kali ini kita akan membahas dua hal istilah saja, al-suluk dan al-sayyir, karena lebih populer digunakan dalam ilmu tasawuf.
Al-Suluk berati perjalanan. Orang yang melakukan perjalanan disebut salik, bentuk pluralnya salikin. Perjalanan yang dimaksud di sini adalah perjalanan menuju Allah SWT. Perlu diketahui, makna al-suluk bukan perjalanan biasa, tetapi lebih kepada pendakian: pendakian menuju Allah SWT. Dalam proses ini sangat diperlukan ilmu, tidak bisa berjalan atau mendaki dengan sendirinya. Tanpa ilmu, proses pendakiannya bisa jadi salah jalan atau nyasar.
Ibarat seorang yang hendak mendaki gunung, ia harus memiliki pengetahuan dan persiapan yang sangat matang. Pendaki gunung tidak boleh meremehkan dan menggampangkan. Sekalipun dari jauh kelihatan puncak gunung itu pendek, realitanya pasti banyak hambatan dan tantangan. Jangan mendaki gunung dengan modal nekat, tanpa ilmu dan tidak ada persiapan sedikit pun. Pendaki yang mengabaikan hal ini, umumnya tidak akan berhasil.
Jangan dikira gampang mendaki gunung. Semakin tinggi gunung, udaranya semakin dingin. Pakailah baju tebal supaya tidak kedinginan di tengah jalan; gunakan sepatu yang layak agar tidak terpleset; pasanglah tenda untuk beristirahat; bawalah jas hujan untuk antisipasi kalau hujan turun. Semua hal ini harus diketahui terlebih dahulu dan dibawa ketika mendaki gunung. Kalau tidak disiapkan, kita akan menderita di tengah jalan.
Dengan demikian, mendaki gunung mesti ada ilmunya. Jangan nekat, tanpa ilmu. Apalagi pendakian spritual, bagaimana mungkin kita berjalan menuju Allah Yang Maha Kuasa, tanpa persiapan dan ilmu sedikit pun.
Selain itu, dalam proses pendakian spritual kita harus memiliki pegangan dan pedoman. Sekali lagi, jangan modal nekat. Hal ini dapat ditamsilkan dengan orang yang masuk ke dalam goa. Masuk ke goa tidak bisa hanya mengandalkan ingatan. Begitu sampai di perut goa, ternyata gua itu bercabang-cabang. Makin ke dalam, makin gelap. Kita lupa tadi masuk dari lubang yang mana. Apalagi gua itu besar, bisa habis oksigen dan tenaga, akhirnya tersesat dan tidak bisa pulang.
Ini berbeda dengan penjelajah profesional, ia akan membawa tali dan peralatan pengaman lainnya sebagai pegagangan. Kalau ada tali, sedalam apa pun gua, dia masih bisa menemukan jalan pulang. Dia tinggal menggulung tali, kalau dia tersesat. Tidak akan pernah hilang, selama talinya masih ada.
Jadi, kalau ada yang menjelajah tanpa tali, pedoman, atau pengaman, berhati-hatilah. Apalagi dalam menjelajah dunia spritual. Ada sebagian anak muda zaman sekarang ini melakukan studi perbandingan agama dengan tidak dibekali pengetahuan dan pegangan yang kuat. Akhirnya yang terjadi, ketika ia mempelajari agama Kristen, ia merasa agama ini bagus dan cocok untuk dirinya, sehingga ia hijrah menjadi Kristen; pada saat belajar agama Budha, ia menjadi pemeluk agama Budha, karena menemukan kenyamanan di dalamnya; ketika belajar agama Hindu, ia menjadi Hindu; dan saat melihat orang Yahudi banyak yang pintar, ia mempelajari Yahudi dan menjadi Yahudi karena menyimpulkan Yahudi sebagai agama yang benar. Banyak sekali agama yang dianutnya. Selalu berpindah-pindah. Tidak punya pendirian dan pedoman yang jelas. Ini akibatnya kalau mendalami dunia spritual, tanpa pedoman dan pegangan.
Pedoman Utama dalam Ilmu Tasawuf
Pegangan kita sudah jelas dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis. Sejauh apapun kita menjelajah dan melangkah, berpeganglah kepada dua sumber ini. Selama kita berpegang kepada al-Qur’an dan hadis, tidak akan pernah tersesat selama-lamanya. Singkatnya, kalau ajaran yang kita pelajari atau dunia spritual yang kita dalami bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hadis, tidak usah bertanya lagi, tinggalkan semua itu. Kita perlu hati-hati menyelami dunia spritual agar tidak tersesat.
Al-Qur’an dan hadis, seperti diketahui, berbahasa Arab. Masalahnya, kita mampu berbahasa Arab, tetapi belum tentu paham kaidah tafsir atau cara memahami al-Qur’an. Kita bisa bahasa Arab, tapi belum tentu mengerti asbabul wurudnya. Intinya, selain bisa berbahasa Arab, kita juga mesti memiliki ilmu untuk memahami al-Qur’an dan hadis. Kalau kita tidak memiliki ilmunya, lebih baik mengikut dan berpedoman kepada orang yang menguasai ilmu tersebut, seperti ulama yang ahli tafsir dan ahli hadis. Insyaallah, ahli tafsir dan ahli hadis tidak akan membawa perahu kepada jalur yang salah.
Inilah yang dinamakan mursyid. Siapa yang layak kita jadikan mursyid? Usahakan orang yang kita percaya sebagai mursyid, selain memiliki pengetahuan terhadap ilmu keislaman, khususnya al-Qur’an dan hadis, ia juga belajar kepada guru yang jelas dan benar, atau memiliki sanad keilmuan, dan berprilaku baik dan santun. Kalau kita menemukan orang yang memiliki kriteria seperti ini, tidak masalah bila kita menganggapnya sebagai mursyid. Perlu diketahui juga, menjadi murid dari seorang mursyid tidak perlu harus dibaiat. Baiat, menurut pengalaman kami, memberikan semacam syok terapi. Kepentingannya lebih kepada psikologis, bukan doktrin. Mau dibaiat atau tidak, tidak ada masalah. Kita cukup berbaiat kepada Allah dengan dua kalimat syahadat:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Kalau ada orang mengatakan pengajian atau tarekat tanpa baiat tidak sah, pertanyaannya apakah baiat itu rukun iman? Apakah baiat rukun Islam? Jawabannya tidak. Namun bila ada yang berbaiat kepada seorang mursyid sebagai landasan psikologis dan diyakini sebagai sebuah terapi psikologis, semacam shock therapy, tidak ada masalah selama yang bersangkutan tidak mengkultuskan mursyidnya. Kultus dalam pengertian menganggap mursyid seolah-olah seperti Nabi Muhammad SAW. Sebesar apapun hormat kita kepada seorang mursyid, tidak boleh menganggap mursyid setara dengan Nabi SAW. Bahkan, lebih sering menyebut nama gurunya ketimbang Nabi muhammad SAW. Ini perlu hati-hati.
Perihal ini perlu disampaikan mengingat saat ini banyak sekali pengajian tasawuf, baik online maupun offline, yang tidak mau diikuti oleh banyak orang. Ada kekhawatiran kalau diikuti banyak orang takut dikritik. Tidak jelas alasannya mengapa, bisa jadi karena pengajarnya tidak menguasai materinya atau tidak menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman utama. Kalau sudah merujuk kepada al-Quran-hadis, mestinya tidak perlu takut.
Saya pribadi sudah membuka kajian tasawuf puluhan tahun di beberapa tempat, termasuk Masjid Sunda Kelapa Jakarta, tapi alhamdulillah belum pernah ada orang yang menyesatkan pengajian ini. Mungkin ada pendapat yang berbeda, namun hal itu tidak menjadi persoalan. Sebab perbedaan bukan berati kesesatan. Kalau ada yang menganggap keliru, kita perlu jelaskan dan sampaikan alasannya. Karena itu, dalam setiap pengajian tasawuf yang saya ampu, saya akan betul-betul menyiapkan materinya.
Bila landasan kajian kita al-Qur’an dan hadis susah untuk disesatkan. Kalau ada yang berusaha menyesatkan, mesti menghadirkan ayat dan hadis mana yang dipakai untuk menyesatkan. Menurut saya, orang yang suka menyesatkan sama bahayanya dengan orang yang berani melakukan sesuatu yang tidak ada dasarnya dalam syariat: bid’ah dhalalah.
Beda pendapat merupakan suatu yang lazim dalam Islam. Tidak ada masalahnya. Yang tidak boleh adalah menyalahkan orang lain, membid’ahkan, apalagi mengafirkan secara serampangan. Menurut saya, pendekatan yang paling baik dalam menghadapi masalah bid’ah ini adalah dengan menggunakan jalan tengah. Maksudnya, perkara bid’ah dhalalah jangan kita lewati, sementara inovasi dalam urusan spritual harus hati-hati, jangan sampai jatuh pada kesesatan.