Suatu ketika, saat menjuri lomba khat, pilihan saya disangkal oleh rekan juri yang lebih ahli dalam penulisan. Menurut saya secara keseluruhan tulisan itu bagus, rapi, dan yang penting, benar kaidahnya.
Tapi teman saya yang langganan juara kaligrafi MTQ, pernah belajar langsung dan kadang-kadang masih berkomunikasi dengan Juri Nasional serta penulis banyak buku tentang kaligrafi, D. Sirojuddin AR., itu bilang begini:
“panjang tarikan penanya itu mestinya tidak begitu.”
Ia mencoret dan mempraktekkan langsung “kaidah” yang lebih tepat di atas karya peserta lomba yang naskahnya semula saya pilih itu.
Pilihan lain yang lebih kurang rapi, tapi benar kaidahnya dinaikkan mengganti pilihan saya yang jadi juara ketiga.
Saya, mengulang pernyataan di “pengajian” pertama, tidak menekuni kaligrafi secara khusus. Saya dipercaya dan dianggap lebih otoritatif di bidang Kaligrafi Kontemporer, karena saya lulusan sekolah tinggi seni rupa (lukis).
Saya sempat memikirkan, di luar pengetahuan saya tentang “kaidah”, mengapa harus sedemikian itu ukuran tarikan menjadi perhatian. Dan kenangan (pengetahuan) saya soal komposisi, harmoni dan kese(t)imbangan membantu saya untuk memahaminya.
Secara estetik-formal memang, balance (keseimbangan) maupun kesetimbangan memang ukuran yang paling mudah “dihayati” secara visual. Di luar itu, jika kita kembali pada bentuk baku yang telah disempurnakan Ibnu Muqlah, kita bisa saja memahaminya secara lebih luas.
Ibnu Muqlah hidup pada abad ke-10 M, dalam pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah: al-Muqtadir (908-932), al-Qahir (932-934), dan ar-Radi (934-940). Ini sebenarnya adalah masa-masa menuju keruntuhan Abbasiyah, ketika Bani Saljuk merupakan “penguasa” sebenarnya di lapangan pemerintahan.
Tapi bukan masa ini yang penting sebenarnya, melainkan masa sebelumnya saat Ibnu Muqlah menempa kemampuannya di bawah bimbingan al-Muharrir dan masa-masa puncak keterampilannya dihargai.
Abad ke-10 sendiri secara umum dianggap sebagai masa kegemilangan ilmu pengetahuan dan sains dalam peradaban Islam. Pada masa ini ilmu-ilmu hitung dan ukur—dari matematika, aljabar-geometri hingga astronomi, sampai filsafat-etika hingga kedokteran—dikembangkan sedemikian rupa hingga menginspirasi peradaban Barat sesudahnya.
Pada abad inilah hidup Abubakar ar-Razi (imunolog, ahli filsafat, matematia, kimia, dan kesusasteraan), Ibnu Haitam (ahli falak dan sains), al-Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Miskawayh, dll. Para cendikiawan ini mendorong laju peradaban yang memerhatikan sains, ukuran segala sesuatu, dan tentu saja kosmologi Islam. Hingga tak mengherankan, jika Ibnu Muqlah yang juga ahli geometri itu menyempurnakan sistem terkait kesetimbangan ukuran dalam penulisan khat atau kaligrafi.
Menurut Ibnu Muqlah, bentuk tulisan dinilai benar jika memenuhi 5 (lima) kriteria: Taufiyah (tepat setiap bagiannya), Itmam (tuntas dalam keutuhan), Ikmal (sempurna dan tampak wajar), Isyba’ (padat dalam setiap garisan), dan Irsal (lancar tidak tersendat dalam tarikan).
Dalam komposisi antar bagian maupun secara keseluruhan, menurutnya, perlu diperhatikan: Tarsif (rapat teratur antara sambungan huruf), Ta’lif (tersusun secara nyaman dan wajar), Tastir (selaras dan rapi), dan Tansil (seperti keindahan pedang atau lembing, tajam memanjang namun indah).
Sampai di sini dulu. Waktunya membersihkan diri. (12 Juli 2017)