Usia tulisan Arab memang tak setua tulisan Mesir kuno, Babilonia, atau Cina, tapi sekali ia menemukan momentumnya lewat peradaban Islam, maka melesatlah ia sedemikian cepatnya.
Begitu kurang lebih pernyataan Hamid Safadi. Dan begitulah, kaligrafi Arab menjadi salah satu puncak dari kebudayaan Islam.
Saya sendiri mengenal kaligrafi ketika mondok di Cindai Alus. Ustad kaligrafi saya yang pertama orang Sumatra Utara bermarga Lubis. Kalau tak salah ingat namanya Afder Darius. Saya sebenarnya tak pernah secara serius menekuni kaligrafi, tapi boleh dibilang suka.
Didorong oleh kakak kelas yang selalu menyuruh saya menyalin ayat maupun hadis untuk kepentingan naskah khutbahnya, saya pun terbiasa menulis dengan khat Arab itu.
Setahun yang lalu, tiba-tiba saja kakak kelas yang lain di pondok menelpon saya, menanyakan kesediaan menjadi salah seorang juri khat dalam MTQ Provinsi Kalimantan Tengah. Dia tahu saya “lulusan” Perguruan Tinggi Seni di Jogja, dan meminta saya membantunya menyeleksi karya-karya lomba kaligrafi kontemporer. Ini mengejutkan. Apa pasal?
Pasalnya, saya belum punya pengalaman terlibat dalam penjurian, kecuali pernah “disewa” mengikuti lomba serupa di MTQ Kabupaten Tabalong hampir dua puluh tahun yang lalu.
Jadilah saya “menyibuki” kaligrafi lagi. Untungnya tesis saya masih terkait dengan kaligrafi, sehingga referensi saya tentang perkembangan seni Islam itu ada-lah barang sedikit.
Seperti dikatakan Barbara Brend, Seni Islam meliputi “wilayah” yang luas dan jauh. Itu pula yang dinyatakan Isma’il dan Lois al-Faruqi. Membentang sepanjang dunia Islam, yang meliputi Asia, Asia Tengah, Asia Timur, dan Afrika.
Maka, jangan heran melihat ragam bentuk kaligrafi Arab yang sangat kaya. Tidak sebatas pada bentuk-bentuk baku semacam Kufi, Naskhi, Tsulutsi, Rayhani, Muhaqqaq, Riq’i, dan Tawqi, yang sudah disempurnakan pada masa Ibnu Muqlah (w. 940 M). Atau melalui bentuk yang diperkenalkan di Persia, Ta’liq dan Nasta’liq, hingga lazim dikenal dengan nama khat Farisi. Atau, yang diperkaya oleh orang-orang Ottoman menjadi Diwani dan Diwani Jali.
Lebih jauh dari itu, kita mungkin pernah melihat kaligrafi “lain” di langgar kampung kita yang bentuknya agak aneh. Tsulutsi bukan, Rayhani juga lain. Keterbatasan teknik, ditambah citarasa lokal yang mandiri, melahirkan “otentisitas” tersendiri. Atau, karena tuntutan ekspresi yang lain, lalu melahirkan “gaya” Syaifulli, Amangi, Pirousi, Sadalii, atau Sirojuddini.
Sampai di sini dulu ngaji hari ini. Hari makin siang dan saya belum mandi. Mugkin tulisan ini akan saya kembangkan untuk tulisan yang lebih “seriyes” nanti.
Pesannya, lihat lagi kaligrafi tua di surau terdekat Anda, dan kalau ada bentuk yang agak aneh, jangan buru-buru menyimpulkan penulisnya tak menguasai qawaid al-khatt al-Arabi seperti di bukunya Hasyim Baghdadi atau D. Sirojuddin AR. Mungkin dia punya “selera” sendiri.