Apa yang dilakukan Neno Warisman dan Fahri Hamzah pada munajat 212, tidak salah. Saya melihat apa yang mereka lakukan memang murni dalam kerangka politik. Dan memang beginilah demokrasi.
Sayangnya, ketika saya bilang munajat 212 itu acara politik, beberapa orang menuding saya tidak pro-Islam. Bahkan, ada yang memanggil saya dengan Cebong. Lebih parahnya, saya dibilang kafir karena dianggap tidak mendukung. Astagfirullah. Sebegitunyakah efek politik elektoral ini? Saya yang berpendapat berbeda mesti menerima perlakuan demikian. Alhamdulillahnya, masih ada kopi dan rokok. Saya masih bisa senyum-senyum membaca komentar-komentar demikian. Dan karena itu pula saya iseng membuat catatan ini.
Saya mulai sedikit paham, dalam politik terkadang urusannya bukan salah dan benar, tetapi menang dan kalah. Bagaimanapun pendapat kita, jika itu berbeda dan berseberangan dengan pilihan politik seseorang, akan dianggap salah. Di satu sisi, wajar saja mereka bersikap demikian. Itu hak mereka untuk bersikap dan menilai. Di sisi lain, sikap seperti itu, justeru saya tangkap malah menciderai nilai-nilai demokrasi yang memberikan hak dan kebebasan kepada siapapun untuk berpendapat. Jika sedikit saja berbeda dianggap lawan yang mesti kalah dan salah, lalu dimana letak sikap menjunjung nilai demokrasinya? Ataukah, mereka ingin membuat demokrasi versi mereka sendiri? Atau mungkin memang ingin mengganti sistem demokrasi? Entahlah.
Tapi, alhamdulillahnya, karena kejadian itu setidaknya ada beberapa hal yang menyentil keisengan saya. Di antaranya, agama memang menjadi salah satu senjata yang digunakan untuk politik elektoral. Kekuatan agama bisa menggerakkan dan menggiring massa untuk calon tertentu. Hanya saja, hal ini akan rentan kepada munculnya sentimen antar pemeluk agama. Terlebih jika yang digunakan adalah narasi-narasi adanya ancaman bahwa agama yang dipeluk seseorang akan binasa jika tidak memilih capres yang didukung, misalnya. Ini rentan. Sangat rentan. Terlebih untuk Indonesia yang tidak hanya ada satu agama dan kepercayaan di dalamnya.
Selanjutnya, apa yang dilakukan Neno Warisman dan Fahri Hamzah adalah murni orasi dan kampanye politik. Apapun balutan dan kemasan acaranya. Perihal ada yang menyebutnya doa, munajat, atau istilah lain, ya sah-sah saja. Karena saya melihat acara itu sebagai acara politik, maka kata-kata atau puisi, atau apalah itu yang diucapkan Neno dan Fahri adalah bagian dari orasi dan kampanye politik pendukung capres 02. Itu sah-sah saja. Terlebih menjelang pemilu 17 April mendatang.
Yang menjadi pertanyaan dan keheranan saya adalah apakah memang politik sudah sedemikian rupa wujudnya hingga perlahan seperti menggerogoti nilai-nilai dan sikap kemanusiaan?
Ini bisa dilihat dari kata-kata yang digunakan. Misalnya: pertama, menyebut lawan politik sebagai kelompok MUNAFIK atau kelompok KAFIR. Apakah karena beda pilihan dalam politik memang bisa membuat seseorang menjadi munafik, bahkan kafir?
Kedua, dalam orasi Neno seperti ada ancaman kepada Allah kalau mereka (pendukung 02) kalah, tidak ada lagi yang menyembah-Nya. Ini kok sepertinya berlebihan, ya. Apakah ketika capres yang didukung kalah, tidak ada lagi yang akan menyembah Allah? Ataukah jika mereka kalah, justeru mereka yang tidak akan menyembah Allah lagi?
Ketiga, saya kok malah melihat, apapun yang dikatakan Neno Warisman dan Fahri Hamzah lebih kepada bentuk orasi dan gaya retorika ke para jamaah yang hadir, ya. Kalaupun itu dianggap doa, ya Monggo. Apalagi kalau mau disamakan dengan doa Rosulullah ketika perang Badar, seperti ungkapan Amien Rais ketika Pilpres 2014, ya silakan.
Sekali lagi, apa yang dikatakan Neno wajar dan sah-sah saja jika dilihat dari sudut politik. Apa yang dilakukannya tentu untuk menguatkan keyakinan massa pendukung pada politik elektoral. Terlalu jauh rasanya jika mengatakan itu acara keagamaan.
Allahu A’lam