Banyak orang bilang begini : Indonesia adalah Negara muslim terbesar di dunia. Orang Arab menyebutnya “A’zham Bilad al-Islam fi al-‘Alam”. Jumlah penduduk yang beragama Islam 87 % dari sekitar 262.000.000.
Di sini ada ratusan ribu masjid, ratusan ribu mushalla, bahkan di mall-mall ada tempat shalat, ada puluhan ribu Pondok Pesantren dan ratusan ribu Madrasah Diniyah. Ada ribuan pula ruang untuk “mengaji” (pengajian) atau majelis ta’lim yang diselenggarakan harian, mingguan atau bulanan. Ada pula majelis “zikir” dan “shalawat” yang digelar di banyak tempat. Negara ini juga paling besar dalam jumlah orang yang berangkat haji; 1 % dari jumlah penduduk.
Belakangan kita melihat tiap hari ada ribuan orang berangkat ke Makkah-Madinah untuk umrah. Bila Ramadhan tiba, ribuan orang, bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, pemudi, dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan, berbondong-bondong menuju masjid untuk berbuka puasa bersama atau mengikuti salat Tarawih. Bila Ramadhan memasuki sepuluh hari yang terakhir, masjid-masjid juga penuh orang “Qiyam al-Lail”, shalat malam, atau I’tikaf (berdiam) di masjid. Itu semua adalah kenyataan yang membanggakan dan patut disyukuri. Barangkali tak ada negara yang sarat sarana dan aktifitas keagamaan seperti di negara ini.
Sekian puluh televisi di negara ini sarat siaran dakwah, pengajian dan aktivitas atau acara keislaman dengan berbagai macam bentuknya. Bahkan tiap waktu shalat, khususnya Maghrib, dikumandangkan azan, ajakan untuk shalat.
Di Indonesia juga banyak hari-hari besar keagamaan yang diresmikan Negara. Kita menyebut antara lain, maulid Nabi, Isra Mi’raj, idul Fitri, Idul Adha, dll. Pada momentum ini digelar ritual-ritual keagamaan dan upacara-upacara yang hingar bingar, ceramah-ceramah keagamaan yang dihadiri ribuan massa, pembacaan kitab suci atau shalawat dan sebagainya. Untuk memberi kesempatan kaum muslim merayakan dan memperingati hari-hari besar keagamaan ini negara meliburkan kantor-kantornya.
Lalu setiap tahun diselenggarakan Seleksi Tilawah Al-Qur’an (STQ) untuk persiapan Musabaqah Tilwatil Qur’an (MTQ), tahun berikutnya. Acara rutin ini diadakan berjenjang dari tingkat Kabupaten/kota sampai tingkat Nasional. Tentu saja kegiatan ini menghabiskan dana yang besar. Lalu ada juga Musabaqah Qiroat Kutub (MQK), sebuah perlombaan membaca Kitab Kuning (buku berbahasa Arab tanpa tanda baca). Ini diadakan tiap dua tahun di tingkat Nasional.
Hal lain yang penting ialah adanya lembaga negara yang bernama Kementrian Agama. Menterinya beragama Islam. Kementrian ini juga mengurus institusi pendidikan agama, dari tingkat anak-anak sampai perguruan tinggi. APBN untuk Kementerian ini sangat besar, tertinggi ke 4 dari 34 Kementerian.
Lalu ada Pengadilan Agama di seluruh daerah kabupaten/kota, Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Propinsi. Ada UU Peradilan Agama, UU Perkawinan berikut KHI, UU Pengelolaan Zakat dan lain-lain, serta belakangan ada ratusan Perda-perda bernuansa Syariah .
Jauh lebih mendasar dari semuanya adalah disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh sila dalam Pancasila ini merepresentasikan nilai-nilai dasar Agama.
Grand Sheikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyib yang baru saja datang ke Indonesia menilai bahwa Pancasila bukan hanya tidak bertentangan melainkan merupakan esensi Islam. Para ulama NU, organisasi Islam terbesar memandang Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 adalah 560 orang. Mayoritas beragama Islam. Rinciannya sbb : PPP 100%, PAN 90 %,PKS 100%, PKB 81%, PBB 100%, Golkar 85%, Nasdem 76%, PDIP 48%, Demokrat 76%, Hanura 86%, dan Gerindra 57%.
Presiden dan wakil Presiden adalah muslim. Jumlah menterinya 34 orang, mayoritas beragama Islam. Ada 7 orang beragama non Islam.
Nah. Membaca kenyataan-kenyataan ini, paling tidak ada dua pertanyaan yang bisa diajukan : pertama, dapatkah kita menyebut negara ini pada dasarnya adalah negara Islam? Kedua, apalagikah yang kurang untuk kaum muslim dalam melaksanakan ajaran agamanya yang harus difasilitasi oleh negara di sini? Ini sekedar bertanya.