Setelah ditahbis sebagai seorang Nabi, Muhammad bin Abdullah telah berkenalan dengan orang-orang Kristen di Mekkah. Ada kemungkinan beliau pernah mengikuti kafilah ke Syria, di mana dia dapat langsung menyaksikan kehidupan keagamaan dan sosial umat Kristen di sana. Baik di Syria maupun di Mekkah, beliau sempat mendengar cerita-cerita orang Kristen mengenai diri Yesus Kristus.
Karena Muhammad tidak sempat bertemu dengan para rohaniawan Kristen melainkan dengan kaum awam, cerita yang mereka riwayatkan tidak senantiasa sesuai ajaran resmi gereja melainkan lebih mencerminkan kepercayaan awam. Selain itu, beberapa cerita dalam buku sejarah umat muslim tak begitu memadai tentang relasi yang dialogis daripada yang bernuansa konfliktual dengan komunitas di sekitar Muhammad kala itu.
Dalam sejarah kenabian Muhammad, QS. Maryam (19) menjadi surat yang krusial, karena nama Yesus pertama kali disebut. Surat yang diturunkan pada periode Mekkah kedua (sekitar 614-615 M) ini memberitakan tentang penciptaan Yesus di rahim Bunda Maryam. Jadi, menurut Al-Qur’an, Yesus tidak dikandung oleh Roh Kudus (dari lensa teologis Kristen) melainkan diberitakan oleh-Nya yang tampil dalam bentuk seorang manusia tulen.
Dalam dialog Islam dan Kristen, term “roh kudus” dimaknai berbeda. Demikian juga dengan term “Injil” yang dimaknai berbeda pula ketika lensa yang digunakan berbeda. Dari lensa Kristen misalnya, “roh kudus” adalah bagian dari diri Allah—dan merupakan salah satu dari trinitas, menyusul Bapa dan Putra. Sedangkan, dari lensa Islam, “roh kudus” dimaknai sebagai utusan Tuhan yang lain, yakni malaikat Jibril—yang dikenal bertugas sebagai penyampai berita atau wahyu dari Tuhan.
Lebih lanjut, term “Injil” ternyata tidak dimaknai sama. Dalam Islam, kitab suci Injil diyakini adalah kepunyaan Isa, seperti Zabur milik Daud, Taurat milik Musa dan Al-Qur’an milik Muhammad. Namun yang menarik adalah, kerangka teologis yang dimiliki umat Islam ketika berbicara tentang “Injil” adalah sebuah buku yang ‘diberikan’ Tuhan kepada Yesus. Kata diberikan diberi tanda kutip karena sedemikian itulah pandangan umat Islam sebagaimana telah diinformasikan oleh Al-Qur’an.
Di tempat lain, dari lensa Kristen—ketika berbicara tentang “Injil”, umat Kristen akan merujuk langsung kepada firman yang menjadi daging atau Yesus. “Injil” dalam lensa bukan buku, melainkan adalah Yesus itu sendiri, baru kemudian hari—dokumentasi tentang Yesus direkam ke dalam bentuk buku (yang fisik—disebut Injil sebagai kitab suci).
Selanjutnya—masih dalam QS. Maryam, diberitakan bahwa Yesus ditugaskan, seperti para nabi lain sebelumnya, untuk membawa sebuah buku yang mengandung wahyu Allah, yakni bimbingan dan ajaran Allah mengenai hal-hal yang mereka perlukan bagi kehidupan mereka sebagai orang shaleh. Dalam QS. Maryam (19) ayat 30-33, fragmen ini berisi doa Yesus ketika masih dalam buaian. Kasus Yesus berbicara dalam buaian sekaligus menjadi pembeda kisah kelahiran Yesus dalam Al-Qur’an dan Injil, khususnya keempat Injil Kanonik.
Dalam fragmen tersebut, Yesus mengatakakan bahwa “sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberikan aku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
Dari perkataan Yesus di atas, satu hal yang bisa ditangkap secara kritis, secara khusus ketika Al-Qur’an menggunakan istilah “memberikan aku (Yesus) Alkitab (Injil)”—pada terjemahan Al-Qur’an yang beredar di Indonesia, kata “Alkitab” ini merujuk kepada kitab suci Injil. Kata “Injil” dari bahasa aslinya—Yunani diambil dari kata ευαγγέλιον (euanggelion) yang berarti kabar baik.
Dalam lensa Kristen, kabar baik adalah Yesus atau biasa disapa dengan istilah “Sang Anak” atau “Sang Firman” (logos/kalimah). Lebih jauh, jika kita membaca Al-Qur’an, dan menemukan term “Injil” (bahasa Arab)— tak pernah disebut dalam bentuk jamak, melainkan selalu dalam bentuk singular. Sementara Al-Qur’an tak menjelaskan lebih lanjut Injil apa yang dimaksud?
Yang menarik pula digarisbawahi dalam surat ini adalah dua perkara telah disinggung oleh Yesus sebagai penugasannya, yang dianggap sebagai segi pokok dalam kehidupannya waktu itu, yakni aturan ibadah yang disebut shalat (leitourgia) dan pajak sosial bagi orang-orang yang menderita kekurangan (zakat). Kedua perkara ini kemudian hari dijadikan dua dari lima rukun Islam.
Tak lama sebelum hari sukacita ini—dimana seyogianya seluruh pengikut al-Masih bersukacita merefleksikan kelahiran Sang Juru Selamatnya. Ironisnya, masih ada saja kelompok-kelompok tertentu di belahan daerah di Indonesia melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan kedamaian. Tersebutlah ada komunitas Kristen yang tidak dapat melakukan ibadah untuk memperingati hari kelahiran (Natal) Yesus—seperti umat Kristen pada umumnya di Indonesia.
Jika ditelisik lebih dalam, mengapa pandangan kelompok tersebut tak banyak beranjak ? Perdebatan kita masih di situ saja. Kita seolah gagap merayakan keberagaman. Barangkali yang hilang dari diri kita adalah sikap rendah hati. Yang ditonjolkan justru arogansi keagamaan—merasa paling benar sendiri. Refleksi teologis harus dilakukan dengan kerendah-hatian, memperlakukan komunitas agama lain sebagai sesama hamba Tuhan, yang secara inheren dianugerahi kemuliaan.
‘Ala kulli hal, tak ada lagi gunanya saling memberikan hujatan satu sama lain. Mengatakan mereka yang aqidahnya rusak ketika mengucapkan “Selamat Natal” sama kasusnya ketika mengatakan mereka aqidahnya lemah karena tidak mengucapkan “Selamat Natal”. “Dan damai sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Natalku”, kata Yesus.
Ahmad SM, Santri di Pascasarjana Teologi Univ. Kristen Duta Wacana Yogyakarta.