Tulisan ini lanjutan dari bagian sebelumnya, silahkan klik linknya di sini untuk membaca naskah pidato sebelumnya.
Saudara-saudara
Barangkali ada di antara saudara yang ingin bertanya, apakah rahasianya, maka usia PERTI menjadi panjang, sedang kalau dilihat pada lahirnya partai ini tidak mempunyai pemimpin-pemimpin yang bertitel, tidak mempunyai kader-kader yang terlatih, tidak mempunyai kekayaan duniawi, tidak mempunyai NV dan PT, dan tidak pula mempunyai anggota yang berkuasa dalam pemeirntahan.
Kalau saudara bertanya begitu, maka saya dapat menerangkan dengan ringkas bahwa hal tersebut tersebab di antaranya oleh soal-soal:
Pertama, ideologinya yang mendalam dan mendarah-daging di kalangan rakyat Indonesia, yaitu: Islam yang suci, dalam i’tiqad dan kepercayaan sebagai yang dianut oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dan dalam syariat dan ibadah sebagai fatwanya atau madzhabnya Imam Syafi’i.
Kedua, wataknya yang progresif dan revolusioner yang diingingi oleh rakyat bukan saja oleh rakyat Indonesia, tetapi juga oleh rakyat di Asia-Afrika.
Ketiga, sikapnya yang selalu mementingkan “Persatuan”.
Saudara-saudara
Islam adalah agama suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang pelajarannya dapat menyelamatkan rakyat, bukan saja di dunia ini tetapi juga sampai ke akhirat alam dunia yang baqa.
Islam yang pada masa hidupnya Junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan pada masa para sahabat Khalifah yang berempat bersatu dalam i’tiqad, tetapi kemudian menjadi berpecah-belah, karena di sana sini timbul kaum Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain, kaum yang sesat lagi menyesatkan yang menafsirkan ayat suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW menurut kemauan dan nafsunya sendiri-sendiri.
Ketika itu muncullah kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipimpin oleh dua orang ulama usuluddin yang terbesar, yaitu Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang berusaha sekuat tenaga mengumpulkan fatwa Nabi dan fatwa sahabat dalam masalah-masalah i’tiqad yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadis yang sebenarnya sebagai yang diartikan oleh Nabi dan sahabatnya.
I’tiqad dan kepercayaan yang dianut oleh Nabi dan sahabat beliau ini, kemudian dinamakan I’tiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.
I’tiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah ini bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan yang sesat lagi menyesatkan itu.
Di dalam syariat dan ibadat, yang pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW bersatu, kemudian timbul pertikaian paham, yang timbul karena berbeda cara menafsirkan al-Qur’an dan hadis yang bertalian dengan syariat dan ibadat.
Pertikaian tafsir ini menjadi banyak dan ramai, sehingga timbullah berpuluh-puluh madzhab, yang kemudian ternyata bahwa yang kuat dan yang mendapat pasaran di kalangan umat Islam sedunia hanya empat madzhab, yaitu madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
Keempat madzhab ini diakui kebenarannya dan diterima oleh umat Islam di seluruh dunia, karena perbedaannya timbul disebabkan berselisih dalam menafsirkan al-Qur’an dan hadis, tetapi semuanya bersumber kepada al-Qur’an dan hadis juga.
Islam yang telah menjadi darah daging dan telah menjadi kepribadian di Indonesia adalah islam yang benar, yang haq, dalam i’tiqad dan kepercayaan menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah tadi dan dalam syariat dan ibadat menurut paham madzhab Imam Syafi’i.
Islam yang macam itulah yang masuk ke Indonesia, yang dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim, kira-kira 600 tahun yang lalu, Islam yang macam itulah yang dibawa Syekh Ibrahim Ulakan, Islam yang macam itulah yang dianut Wali Songo, yakni Wali Allah yang sembilan di Jawa.
Islam semacam itulah yang dibawa oleh Syekh Abdurrauf di Aceh, Islam yang macam itulah yang dianut dan difatwakan oleh Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang ulama besar dan yang pernah menjabat pangkat Islam madzhab Syafi’i di Mekah. Islam yang macam itulah yang dianut oleh ulama besar di Minangkabau, seumpama Syekh As’ad Mungka, Maulana Syekh Abdullah Halaban, Maulana Syekh Arifin Batuhampar, Maulana Syekh Mohd. Jamil Jaho, Maulana Syekh Abbas Qadhi, Maulana Mohd. Zein Simabur, Maulana Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Maulana Syekh Muda Wali Aceh, Syekh Haji Anwar Palembang dan juga oleh ulama-ulama besar yang masih hidup dan sehat wal afiat sampai sekarang, seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Adam Palembayan, Syekh Ahmad Lais, Syekh Mohd. Said Bondjol, Syekh Mhd. Junur Tuanku Sasak Kapar, Maulana Syekh Hasan Krueng Kalee di Aceh, dan lainnya.
Islam yang macam itu pulalah yang dipakai dalam peradilan agama di seluruh Indonesia sekarang sebagai dasar bagi pengambilan hukum dalam masalah-masalah hukum yang datang dan masuk kepada pengadilan.
Nah, saudara-saudara, Islam yang semacam itulah yang menjadi ideologi partai Islam PERTI ini, yang sedari dulu sudah menjadi darah daging bagi umat Islam Indonesia.
Islam yang macam itu tidak lakang dek paneh, dan tidak lapuk dek hujan. Dan begitu juga PERTI ini tidak akan lakang dek paneh dan tidak akan lapuk dek hujan. Insyaallah.
Saudara-saudara
Dalam bidang politik maka garis yang dianut oleh Partai Islam PERTI sedari dulu sampai sekarang adalah serupa garis yang dibentangkan oleh Bung Karno, yaitu progressif-revolusioner, menentang imperialisme, kolonialisme dalam segala bentuknya dan berjuang mati-matian untuk Kemerdekaan Nasional.
Jangan dilupakan saudara-saudara, bahwa timbulnya PERTI ini adalah hanya terkemudian setahun dari timbulnya PNI Bung Karno. Jadi tidaklah diherankan kalau dalam banyak hal, garis politik PERTI mengikuti garis yang dibentangkan oleh Bung Karno dan terpengaruh dengan ajaran Bung Karno, pemimpin besar revolusi, yang sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia.
Dan kemudian saudara-saudara, ternyata pula arus politik rakyat Asia Afrika sekarang ini, yang dalam banyak negeri sudah saya saksikan dengan mata sendiri, bersamaan dengan arus politik yang dijalankan oleh Bung Karno di Indonesia. Dunia berputar kejurusan itu.
Oleh karena itu arus politik yang dianut oleh PERTI sesuai dengan arus perputaran dunia, sesuai dengan politik yang dianut oleh rakyat progresif di seluruh dunia, maka itulah sebabnya PERTI menjadi tahan dan usianya menjadi panjang.
Banyak partai-partai di Indonesia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perputaran dunia. Dunia berputar ke timur, ia berputar ke barat. Matahari terbit di Timur, tetapi ia hendak menerbitkan di Barat. Karena itulah, ia digilas oleh perputaran dunia, mati tak tentu kuburnya, dan hilang tak tentu rimbanya.
*Bersambung