Dalam sejarah Islam, banyak sekali tokoh-tokoh yang mempunyai jasa besar dalam mendakwahkan Islam, salah satunya adalah Salamah bin Qais Al-Asyja’i. Beliau adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Kufah. Ia pernah mendapatkan nasihat dari Umar bin Khattab sebelum berangkat untuk berperang.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Ishabah fi Tamyiz Shahabah karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, bahwa Salamah bin Qais al-Asyja’i adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, juga menjadi panglima pasukan yang ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk menaklukan daerah Ahwaz yang terletak di sebelah barat Iran.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Salamah bin Qais diangkat menjadi panglima pasukan. Dalam kitab Hayatus Ash-Shohabah, disebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab mengatakan, “Engkau akan ku angkat menjadi panglima pasukan yang akan ku kirim ke Ahwaz. Pergilah ke medan juang untuk melawan mereka yang tidak percaya kepada Allah SWT. Jika engkau sudah bertemu dengan mereka, ajaklah mereka masuk Islam. Jika mereka menerima ajakan tersebut, berilah mereka dua pilihan. Pertama, tinggal di kampung mereka masing-masing atau ikut denganmu memerangi orang-orang kafir. Jika mereka memilih tinggal di kampung, mereka wajib membayar zakat dan tidak berhak menerima harta rampasan perang”.
“Namun jika mereka memilih ikut berperang denganmu, mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti tentaramu yang lain. Dan jika mereka enggan masuk Islam, wajibkan kepada mereka untuk membayar pajak. Biarkan mereka menganut kepercayaannya masing-masing dan lindungi mereka dari musuh-musuhmu. Jangan membebani mereka dengan apa yang tidak mampu mereka lakukan. Dan jika mereka menolak pilihan-pilhan itu, baru perangi mereka. Dan jika mereka bertahan dalam sebuah benteng, kemudian minta damai dan perlindungan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka jangan kau terima, karena kamu tidak tahu perlindungan Allah SWT dan Rasul-Nya. Akan tetapi jika mereka meminta perlindungan kepadamu, maka berikanlah mereka perlindungan”.
Mendengar ucapan tersebut, Salamah bin Qais hanya mampu berkata, “Saya siap dan sanggup, wahai Amirul Mukminin”. Dengan diangkat menjadi panglima pasukan, tentu beban yang dipikul oleh Salamah bin Qais sangat berat, karena daerah Ahwaz merupakan daerah yang sangat sulit ditempuh. Penduduknya mempunyai kubu-kubu pertahanan yang kokoh dan tidak mudah untuk ditembus. Penduduknya juga mempunyai watak yang keras.
Namun Salamah bin Qais tidak mundur hanya dengan rintangan tersebut, beliau selalu memberikan semangat kepada prajuritnya agar bisa melalui kesulitan-kesulitan selama menempuh perjalanan tersebut. Bahkan untuk melupakan berbagai rintangan yang sulit, Salamah bin Qais dan pasukannya selalu membaca Al-Qur’an dan bermunajat kepada Allah SWT di setiap malam yang penuh dengan kegelapan.
Pada akhirnya, Salamah bin Qais dan pasukannya pun tiba di kota Ahwaz. Salamah bin Qais lalu menyeru kepada penduduk Ahwaz untuk memeluk Islam, namun mereka menolak. Karena mereka menolak, kemudian Salamah bin Qais menawarkan opsi kedua yaitu membayar pajak. Akan tetapi ketika mereka diminta untuk membayar pajak, mereka menolak dan bahkan menunjukkan sikap arogan. Pada akhirnya Salamah bin Qais menggunakan opsi ketiga, sebagaimana perintah yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab yaitu memerangi mereka.
Pertempuranpun akhirnya tidak terhindarkan, kalah dan menang silih berganti hingga pada akhirnya pada pertempuran puncak, Salamah bin Qais dan pasukannya menang. Pertempuran ini sendiri bertujuan untuk membuka jalan dakwah Islam, karena ajakan dengan lembut ditolak oleh kelompok tersebut maka opsi terakhir adalah berperang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mendakwahkan Islam, tidak tiba-tiba langsung memerangi mereka yang masih kafir. Tetapi pertama mengajak dengan ajakan yang lembut. Adapun perang adalah opsi terakhir, ketika semua cara sudah tidak bisa digunakan untuk mengajak mereka masuk Islam atau membangkang aturan yang ada. Dalam hal ini, tidak bersedia membayar pajak.
Apa yang dilakukan oleh Salamah bin Qais atas perintah Khalifah Umar bin Khattab menunjukkan bahwa dalam mendakwahkan Islam, tidak langsung dan tiba-tiba menggruduk atau memerangi mereka yang masih kafir supaya masuk Islam. Namun dengan ajakan-ajakan yang lembut, menyeru mereka untuk masuk Islam. Kemudian jika tidak mau masuk Islam, mereka juga tidak diperangi namun diberi kewajiban membayar pajak dan tetap diberi kebebasan untuk menganut kepercayaannya, bahkan akan diberikan perlindungan. Namun, jika mereka tidak bersedia membayar pajak barulah memeranginya.
Hal ini menunjukkan bahwa dakwah Islam penuh dengan kelembutan, cara-cara kasar adalah cara yang paling akhir. Akan tetapi, akhir-akhir ini justru cara-cara kasar yaitu kekerasan digunakan sebagai cara utama untuk mendakwahkan ajaran Islam atas nama amar ma’ruf nahi munkar. Padahal seharusnya, dakwah amar ma’ruf nahi munkar harus dengan cara-cara yang ma’ruf, bukan dengan cara-cara yang munkar, yaitu berupa kekerasan, menghujat, intimidasi. Karena dakwah Islam sejatinya adalah mengajak, merangkul bukan mengejek, memukul apalagi memusuhi, sampai menghalalkan darah sesama muslim.