Ilmu adalah cahaya penerangan guna menunjukkan jalan yang dilalui manusia untuk mencapai keselamatan hidup. Islam sangat menekankan umatnya agar senantiasa mencari ilmu, karena ilmu adalah kebutuhan primer setiap manusia. Ulama salaf menyebutkan, “Tuntutlah ilmu dari buaian (sejak lahir) sampai liang lahat (akhir hayat)”. Perlu diketahui bahwa kalimat ini bukanlah hadis Nabi Muhammad SAW.
Banyak tata cara yang diajarkan salafunash shalihun dalam proses mencari ilmu. Di antaranya yang diajarkan oleh Sufyan al-Tsauri (w. 161 H), Beliau adalah seorang Ulama yang ahli hadis, fikih, hikmah dan lain sebagainya. Sebenarnya Beliau memiliki mazhab dalam bidang fikih, namun karena tidak ada murid yang meriwayatkannya sehingga mazhab fikihnya tidak berkembang dan terkenal. Ulama yang pernah belajar diantaranya ialah Imam Malik (w. 179 H), Imam Auza’i (w.157 H) dan Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H).
Sufyan al-Tsauri berkata :
أول العلم الصمت و الثاني الإستماع و الثالث الحفظ و الرابع العمل به و الخامس نشره
Artinya : Ilmu itu, pertama diam (memperhatikan), kedua mendengarkan (menyimak), ketiga mengingat, keempat mengamalkan, kelima Menyampaikkannya (menyebarkannya).
Pertama, Diam. Seorang mencari ilmu hendaknya diam ketika seorang pengajar menyampaikan ilmu. Termasuk adab dari seorang murid ialah tidak berbicara atau tidak membuat kegaduhan ketika guru memberikan pelajaran. Dalam Shahih Al Bukhari diriwayatakan dari Abdurrahman bin Sakhr Ra. – Abu Hurairah – (w. 59 H) bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya : Apabila kamu berkata pada sahabatmu pada hari jum’at “diamlah”, padahal imam sedang memberikan khutbah, maka sesungguhnya kamu telah lalai (sia-sia).
Khutbah Jum’at adalah sarana untuk mendapatkan ilmu yang telah diwajibkan secara syariat. Dapat kita ambil pelajaran dari hadis di atas, betapa pentingnya seorang muslim untuk diam dan memperhatikan khatib yang sedang menyampaikan nasehat dan ilmu. Maksud dari “kamu telah lalai” ialah bahwa orang yang berbicara, walaupun mengingatkan orang lain untuk diam – maka pahala shalat jum’atnya gugur, dan tetap sah shalat jum’atnya.
Kedua, Mendengarkan. Mendengarkan ilmu maksudnya ialah memperhatikan atau fokus dengan apa yang disampaikan seorang guru, sehingga seorang murid bukan hanya diam – dalam artian melamun (termenung sambil pikiran melayang kemana-mana) –, otak dan daya pikir difokuskan dengan ilmu yang disampaikan. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al A’raf ayat 204 :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Ketiga, Menghafal. Menghafal ilmu adalah salah satu awal untuk memahami dan mengartikan serta menafsirkan ilmu sebelum diajarkan kepada orang lain. Maka sangat penting untuk seorang pencari ilmu untuk menghafal ilmu. Imam Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H) berkata dalam syairnya “Bukanlah (dikatakan) ilmu itu apa yang tersimpan di lemari kitab, tetapi ilmu ialah apa yang tersimpan di dalam dada.”
Disamping, menghafal seorang pencari ilmu harus pula mencatat ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Ikatlah ilmu dengan menulis.” Imam Syafi’i (w. 204 H) bersyair “Ilmu bagaikan hewan buruan, dan tulisan ibarat tali pengikatnya. Oleh itu ikatlah hewan buruan dengan ikatan tali yang kuat.” Dengan menulis ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat pula untuk orang yang hidup setelahnya.
Keempat, Mengamalkan. Mengamalkan ilmu adalah tujuan daripada mencari ilmu. Ilmu tidaklah mendatangkan kemanfaatan yang maksimal, jika ilmu tersebut tidak diamalkan. Sayyidina Abu Darda (w. 30 H) berkata “Seseorang tidak dapat menjadi alim (orang yang berilmu) kecuali harus dengan belajar, dan tidak menjadi alim kecuali jika orang tersebut mengamalkan ilmunya. Maksudnya seorang belum disebut alim, jika ia hanya hafal ilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya.
Fudhail bin Iyadh, berkata “Seorang alim (orang yang berimu) tetaplah dikatakan bodoh, sebelum ia mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Apabila ia telah mengamalkan ilmunya, maka ia dapat dikatakan alim.”
Kelima, Menyampaikkannya. Menyampaikkan ilmu merupakan bagian dari mengamalkan ilmu. Jika seorang yang berilmu dan ilmunya itu adalah ilmu yang wajib disampaikan untuk umat, maka ia wajib menyampaikan ilmu tersebut. Imam al-Thabrani (w. 360 H) meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah Ra. (w .59 H), Rasulullah Muhammad SAW bersabda :
مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ ، ثُمَّ لا يُحَدِّثُ بِهِ ، كَمَثَلِ الَّذِي يَكْنِزُ الْكَنْزَ ، فَلا يُنْفِقُ مِنْهُ
Artinya : “Perumpamaan seorang yang mencari ilmu, kemudian ia tidak menyampaikan ilmunya, seperti orang yang menumpuk-numpuk harta, tetapi ia tidak menginfakkan sebagian dari hartanya”
Imam Hasan Al Bashri (w. 110 H) berkata : “Sesungguhnya aku memperlajari satu perkara ilmu lantas aku mengajarkannya kepada umat muslim dijalan Allah lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.”
Penting untuk diketahui. Seorang yang hendak menyampaikan atau mengajarkan ilmu haruslah atas persetujuan atau seizin gurunya dan ia haruslah mengamalkan (mengerjakan) ilmunya. Karena gurunya lah yang mengetahui kapasitas keilmuan dari muridnya, dan mengamalkan ilmu sebelum mengajarkannya supaya orang tersebut terhindar dari sifat nifak.
Kelima nasehat yang disampaikan Sayyidinaa Sufyan al-Tsauri hendaknya seorang pencari ilmu mengejarkannya. Kelima nasehat di atas adalah asas memperoleh keberkahan dan kemanfaat ilmu yang diajarkan oleh seorang yang alim dalam berbagai disipilin ilmu – yang sudah pasti Beliau amalkan terlebih dahulu .