“Nakba” yang berarti “bencana” dalam bahasa Arab ternyata punya cerita panjang tentang pengusiran warga Palestina dari tanah air mereka. Ini bermula dari awal abad ke-20.
Pada masa itu, banyak orang Yahudi, bil khusus dari Rusia dan Eropa, bermigrasi ke Palestina untuk mencari perlindungan dari ideologi anti-semitisme yang kala itu sangat populer. Tapi, kedatangan klan Yahudi (korban agitasi rezim fasis) ini bukan sekadar pindahan biasa.
Dalam perkembangannya mereka punya impian besar: mendirikan kedaulatan Yahudi di tanah yang sudah lama dihuni oleh komunitas Muslim, Kristen, dan bahkan Yahudi setempat.
Pemukiman Zionis dan Konflik Awal
Gerakan Zionis, yang muncul pada akhir abad ke-19, didasarkan pada ideologi nasionalis yang ingin mendirikan negara Yahudi di tanah leluhur mereka, yaitu Palestina.
Theodor Herzl, salah satu tokoh utama gerakan Zionis, berargumen bahwa solusi untuk mengatasi gerakan anti-semitisme di Eropa adalah dengan membentuk negara kedaulatan Yahudi.
Hanya saja, kedatangan para pemukim Zionis di tanah Palestina ini pada akhirnya juga membuat ribuan warga sipil dan para petani setempat terpaksa meninggalkan tanah yang sudah mereka huni turun-temurun.
Perlawanan dari warga Arab-Palestina tentu saja ada, terutama pada tahun 1920-an dan 1930-an. Namun, perlawanan ini pupus oleh kekerasan pasukan kolonial Inggris yang saat itu berkuasa di wilayah Palestina. Mereka harus tunduk pada kekuatan militer yang lebih besar.
Perang Dunia II dan Simpati Internasional
Setelah Perang Dunia II, warga global melihat dengan jelas kengerian tragedi Holocaust dengan Nazi sebagai dedengkot utamanya. Di titik ini, simpati internasional terhadap penderitaan kelompok Yahudi terus meningkat.
Namun di tengah simpati publik itu, milisi Zionis justru memperagakan kekejaman lainnya. Ia melancarkan serangan mematikan yang menewaskan ratusan warga Palestina dan bahkan kombatan Inggris.
Inggris kemudian menyerahkan nasib Palestina melalui dokumen The Question of Palestine kepada PBB yang saat itu baru dibentuk.
Pada 29 November 1947, PBB mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab. Rencana ini memberikan sebagian besar wilayah subur dan strategis kepada negara Yahudi, meskipun orang Yahudi saat itu hanya sepertiga dari populasi.
Rencana tersebut juga pada gilirannya memaksa setengah juta orang Arab Palestina untuk membuat pilihan sulit: hidup sebagai minoritas di negara mereka sendiri atau pergi.
Penolakan Palestina dan Awal Nakba
Orang Palestina jelas menolak perencanaan tersebut. Maka pecahlah pertempuran. Milisi Zionis yang terlatih dengan baik menyerang warga Palestina di daerah yang telah ditetapkan sebagai bagian dari negara Yahudi yang diusulkan.
Warga Palestina lainnya melarikan diri karena ketakutan setelah pasukan Zionis membantai penduduk desa di Deir Yassin.
Pada 14 Mei 1948, ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, antara 250.000 hingga 350.000 warga Palestina telah dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka.
Hari Nakba dan Pengusiran Lebih Lanjut
Sehari setelah deklarasi tersebut, 15 Mei dikenal sebagai Hari Nakba. Ketika warga Palestina melarikan diri ke negara-negara tetangga, tentara dari lima negara Arab dikerahkan untuk mencoba menghentikan arus pengungsi dan mencegah terbentuknya negara Yahudi.
Namun, militer Israel yang bersenjata lengkap berhasil menaklukkan wilayah yang sebelumnya ditetapkan PBB sebagai bagian dari negara Arab.
Pada akhir perang Arab-Israel tahun 1949, sekitar 750.000 warga Palestina telah melarikan diri atau diusir dari rumah dan desa mereka. Banyak yang melarikan diri dengan berjalan kaki, membawa apa pun yang mereka bisa di punggung mereka.
Perang Narasi
Di sini lalu mulai muncul perdebatan. Warga Palestina dan pihak Israel menggambarkan kejadian ini dengan cara yang sangat kontras.
Warga Palestina menegaskan hak mereka untuk kembali ke rumah dan tanah air mereka. Mengutip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, warga palestina menuntut pasal “setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, dan untuk kembali ke negaranya.”
Namun di sisi lain, pihak Israel berpendapat bahwa warga Palestina pergi atas perintah pemimpin mereka dan harus ditempatkan kembali di negara-negara Arab sekitar.
Selama beberapa dekade selanjutnya, Amerika disebut lebih bersimpati pada posisi Israel, sebagian besar karena pengaruh novel laris tahun 1958 “Exodus” dan film blockbuster tahun 1960 dengan judul yang sama.
Narasi ini mengandalkan stereotip rasis anti-Arab yang membebaskan pasukan Zionis dan Israel dari peran mereka dalam menciptakan krisis pengungsi Palestina.
Memperingati Nakba dan Perjuangan Palestina
Sejak tahun 1960-an, warga Palestina mulai memperingati Hari Nakba secara terbuka, mengadakan acara pada 15 Mei untuk mendidik masyarakat luas tentang ikatan mereka dengan tanah mereka dan untuk memperjuangkan hak mereka untuk kembali.
Upaya ini mendapatkan dukungan dari banyak negara di Global South dan beberapa kelompok Afrika Amerika di AS, meskipun di sebagian besar Barat, Nakba tetap tidak dikenal luas.
Pengakuan dan Penolakan
Pada tahun 1998, ketika warga Palestina menandai 50 tahun pengasingan, mereka mulai memperingati Nakba secara resmi. Namun, pemerintah Israel dan beberapa sekutu Barat masih menentang pengakuan Nakba.
Pada tahun 2009, menteri pendidikan Israel melarang penggunaan istilah tersebut dalam buku teks Israel. Dan pada tahun 2011, parlemen Israel mengesahkan “Undang-Undang Nakba,” yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menarik pendanaan dari kelompok masyarakat sipil yang memperingati Nakba.
Meskipun ada penentangan, warga Palestina terus memperingati Hari Nakba. Itu karena, selama mereka tetap berada di bawah pendudukan Israel dan diasingkan dari tanah mereka, kelompok pendukung Palestina merdeka akan mengatakan, “Nakba terus berlanjut.” Banyak yang juga melihat 15 Mei sebagai hari untuk menegaskan perjuangan warga Palestina, walaupun harus menghadapi penindasan yang entah sampai kapan.