Adalah Nafisah, salah satu perempuan sufi, buyut dari Hasan putra Khalifah Ali. Ia lahir di Mekah pada tahun 145 H dan tumbuh dewasa di Madinah. Nafisah menikah dengan Ja’far ash-Shadiq dan dikaruniai dua orang anak yaitu al-Qasim dan Ummu Kultsum.
Kabarnya, Nafisah sangat terkenal dengan pengetahuannya dalam bidang al-Qur’an dan tafsir serta syair-syair. Setelah pernikahannya itu, ia pergi ke Mesir bersama sepupunya, Sakinah al-Madfunah, dan berdiam tidak jauh dari istana khalifah di Kairo. Siang sampai malam ia habiskan umurnya untuk puasa dan beribadah pada Allah.
Itu tadi merupakan keterangan Margaret Smith dalam buku berjudul “Rabiah the Mystic and Her Fellow-Saint in Islam” yang diterjemah oleh Jamilah Barja menjadi “Rab’iah Pergulatan Spiritual Perempuan”. Buku ini merupakan karya disertasinya di Universitas London, yang subyek utamanya membahas tentang spiritual perempuan sufi khususnya Rabi’ah al-Adawiyah.
Nafisah menjadi tokoh asyhur di dataran Mesir lantaran tirakat-tirakatnya dalam ibadah seperti, puasa dan shalat malam. Konon selama hidupnya, ia menggali kuburannya sendiri dengan menggunakan tangan dan setelah itu ia membaca al-Qur’an enam ribu kali.
Tidak hanya itu, banyak karamah yang dimiliki oleh perempuan sufi tersebut. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa satu waktu sungai Nil mengalami kekeringan. Semua penduduk di tempat tersebut sangat gelisah mengingat air adalah kebutuhan pokok, dan petani setempat sangat cemas sebab mereka akan mengalami masa paceklik dan kesulitan bahan makanan.
Kemudian, penduduk itu mengunjungi Nafisah untuk meminta pertolongan memohon doa. Ia lalu memberikan kerudungnya dan mengatakan kepada para penduduk untuk melemparkan ke dalam sungai yang kering itu.
Sesuai arahan, mereka pun pergi ke sungai dan melemparkan ke dalam sungai itu. Lalu, apa yang terjadi? Tiba-tiba air sungai itu meluap, bahkan hingga menyebabkan banjir. Apa yang menjadi kegelisahan penduduk pada saat itu tidak sempat terjadi. Sungai yang menjadi sumber penghidupan mereka telah mengalirkan airnya kembali.
Karamah lain yang dimiliki Nafisah yakni dikisahkan bahwa salah seorang putri tetangganya adalah gadis seorang Yahudi yang menderita sakit lumpuh. Pada suatu hari, orang tuanya menitipkannya untuk ditinggal pergi ke pasar. Nafisah pun datang ke rumahnya dan duduk disamping gadis memelas itu lantas mendoakannya. Setelah ia mendoakan gadis itu, atas izin Allah gadis itu sembuh dari penyakitnya. Seketika itu, orang tua dan gadis itu memeluk agama Islam.
Selama hidupnya, ia menggali kuburannya sendiri dengan tangannya dan turun ke liang lahat serta membacakan ayat-ayat al-Qur’an sebanyak enam ribu kali. Menjelang wafat, ia dalam keadaan berpuasa namun ia tidak mau membatalkannya ketika menjelang sakaratul maut.
Nafisah mengatakan, “aneh sekali bahwa aku selama tiga puluh tahun lamanya, aku memohon kepada Allah bahwa di saat berjumpa dengannya aku ingin dalam keadaan berpuasa, dan sekarang disaat menjelang pertemuanku dengan-Nya, kamu mendesakku untuk membatalkan puasa. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi!”
Lalu, ia mengulang membaca surah al-An’am dan ketika ia sampai pada ayat “Mereka akan mendapatkan kedamaian bersama tuhan mereka” maka, wafatlah ia.
Ketika Nafisah wafat, seluruh penduduk di kota itu berkumpul untuk takziyah dan seluruh penduduk di kota itu menyalakan lilin. Tangis sedih diiringi doa-doa mewarnai kepergiannya. Penduduk kota itu mengatakan bahwa tidak akan dijumpai penggantinya. Sewaktu suami Nafisah hendak menguburkannya di kota Madinah, namun seluruh penduduk Kairo melarang dan meminta suaminya untuk menguburkan jasadnya di tengah-tengah mereka. Kepergiannya di dengar diseluruh penjuru negeri.
Demikianlah, sebagai sosok perempuan sufi yang tawaddhu’, Nafisah diberi karamah oleh Allah lantaran saking cintanya kepada tuhannya, ibadah-ibadah yang ia lakukan semua ikhlas karena Allah, sampai-sampai ketika wafat ia masih dalam keadaann berpuasa, menandakan ia begitu mengharap berjumpa dengan Tuhannya.
Sama seperti tokoh sufi perempuan lainnya, tampilnya Nafisah dalam sejarah tasawwuf Islam memberikan citra tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam. Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga mempunyai kedudukan yang setara dalam berbagai ruang termsauk dalam hal spiritual.