Kajian hadis tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, para orientalis pun juga turut meramaikan kajian hadis. Sebagaimana diketahui bahwa kodifikasi hadis dalam skala yang besar dimulai pada abad ke-2 hijriyah. Adanya rentan waktu yang cukup panjang dengan masa hidup Nabi dan sahabat, diklaim membuka peluang terjadi banyak pemalsuan hadis.
Bagi umat islam, motivasi mengkaji hadis adalah karena hadis merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bagi para orientalis, motivasi mengkaji hadis adalah untuk membuktikan keontetikan hadis dengan menggunakan pendekatan historis.
Salah satu orientalis yang turut serta dalam mengkaji hadis adalah Nabia Abbot. Ia merupakan seseorang yang ahli dalam bidang manuskrip timur tengah yang berargumen untuk menjawab keraguan para skeptism terhadap keontetikan hadis.
Nabia Abbot lahir di Turki pada tahun 1897. Semasa mudanya ia telah mengelilingi timur tengah sampai India, yang akhirnya Nabia mengenyam pendidikan di sekolah Inggris yang terdapat di India dan menetap di sana, hingga perang dunia pertama. Selain itu, Nabia adalah menjadi wanita pertama yang mendalami pendidikan di Universitas Chicago dan telah mendapatkan gelar profesor pada tahun 1965.
Jika dilihat dari kacamata dunia intelektual, nama Nabia patut diperhitungkan karena keseriusannya mempelajari studi perkembangan manuskrip-manuskrip Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa karyanya dan mampu menjadikannya sarjana yang cukup antusias terhadap hadis. Bahkan, Dr. Muhsin mahdi, salah satu profesor Arab sekaligus rektor Universitas kebahasaan mengakui keilmuan yang dimilikinya.
Lebih lanjut, Nabia adalah salah satu tokoh orientalis perempuan yang sangat produktif dalam berkarya. Beberapa karyanya, secara khusus membahas seputar perkembangan literatur Arab, dan paleografi (tulisan dan budanya arab kuno). Melalui pemaparan beberapa bukti sejarah yang berupa papiri (lembaran) tentang adanya penulisan hadis, cukup membuktikan keberhasilan otentitas pemikiran yang ia usung.
Adapun karya-karyanya dalam bentuk tulisan, di antaranya: The Rise of The North Arabic Script and Its Quranic Development with A Full Description of The Quran Manuscripts in The Oriental Institut (1939), Studies in Arabic Literary Papiry (1957), Aishah; The Beloved Muhammad (1942), Studies in Arabic Literary Papiry (1967), The Monasteries of The Fayyum (1937), The Kurrah Papyri from Aphrodito in The Oriental Institute (1938), Two Queens of Baghdad (1946), Women and The State in Early Islam (1942), Women (1956), dan Hadith Literature: Collection and Transmission of Hadith (1983).
Dalam khazanah ilmu hadis, pembahasan istilah hadis seringkali memiliki relevansi dengan istilah sunnah. Walaupun pada dasarnya kedua istilah ini dipandang memiliki beberapa perbedaan. Di antara perbedaannya, hadis lebih umum daripada sunnah karena mencakup segala perbuatan, ucapan dan ketetapan Nabi. Sedangkan sunnah lebih khusus yang menggambarkan perbuatan-perbuatan atau kebiasaan Nabi. Menurut para ahli hadis, hal ini tidak menjadi persoalan yang mendasar karena keduanya dalam perspektif yang lebih luas tetap saja dimaknai sebagai sesuatu yang bersumber dari dan dinisbatkan kepada Nabi.
Secara eksplisit, Nabia tidak menyebutkan tentang pengertian hadis. Penelitiannya ini berangkat dari kegelisahan tentang keontetikan dokumen-dokumen hadis yang bermunculan sejak masa Nabi sampai masa pemerintahan Umayah. Ketika periode Umar bin Khattab (w. 644) peredaran dokumen-dokumen hadis ini dilarang dan bagi siapa saja yang berkecimpung di dalamnya maka akan dihukum. Hal ini terjadi karena kurang adanya perhatian kaum Muslim terhadap studi hadis pada waktu itu.
Permasalahannya bagi Nabia adalah bagaimana usaha untuk melakukan standarisasi beberapa laporan-laporan tentang Nabi Muhammad yang pada periode tersebut belum berkembang. Menurut Nabia, hal ini menjadi tanggung jawab Umar karena ia melihat kurangnya perkembangan studi Al-Quran pada saat penakhlukkan wilayah luar Arab.
Umar khawatir jika nantinya perkembangan dunia keislaman akan tergantung dengan budaya Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu, Umar akhirnya memusnahkan sejumlah manuskrip hadis dan memberikan sanksi bagi siapa saja yang berkecimpung di dalamnya.
Terkait pengertian sunnah, Nabia berpendapat bahwa kata sunnah yang kadang menggunakan bentuk plural (sunnan), tidaklah hanya terbatas pada perilaku (teladan) dari Nabi saja, melainkan juga berlaku dan digunakan untuk para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang sekaligus memiliki kedudukan tertinggi dalam pemerintahan.
Jika dilihat dari segi fungsi dan kedudukannya, Nabia berpandangan bahwa sunnah secara spesifik lebih diartikan hanya sebagai sebuah praktik hukum atau legalitas terhadap suatu bidang, dibandingkan sebagai jawaban atau solusi beberapa aktifitas kehidupan. Sebagaimana pemaparannya:
“…Definisi sunnah yang dalam bentuk jamaknya sunan, tidaklah hanya sebatas contoh atau perilaku Nabi Muhammad saja, namun juga digunakan untuk khalifah Abu Bakar dan Umar dan untuk sejumlah tokoh terkemuka yang duduk di pemerintahan. Sunnah bukan hanya merupakan solusi dari beragam aktifitas dalam kehidupan, namun secara spesifik merupakan bagian dari bidang administrasi dan sebuah praktek hukum.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa pada dasarnya Nabia mengakui keberadaan hadis sebagai sumber hukum. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah ketika ia meragukan keotentikan dokumen-dokumen hadis yang bermunculan. Namun, pada akhirnya hal tersebut dapat terjawab dengan hasil penelitiannya sendiri tentang keberadaan dan keotentikan dokumen-dokumen hadis yang sebagian besar menurutnya muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriah, seperti: Wujuh wa al-Nazair karya Muqatil ibn Sulaiman, Muwatta karya Malik ibn Anas, dokumen karya Qutaibah ibn Said, dokumen karya Fadl ibn Ghanim dan dokumen karya Abu Salih Abd al-Ghaffar ibn Daud al-Harrani.
Wallahu A’lam