Banyak anggapan bahwa memiliki istri lebih dari satu (poligini) adalah dalam rangka mengikuti jejak Rasulullah Saw. Beberapa kemudian melabeli status hukum poligini sebagai sunnah. Sejauh ini sunnah dipahami sebagai sesuatu yang disarankan, diupayakan, atau ditekankan untuk dilaksanakan dan mendapat pahala di kemudian hari. Benarkah anggapan semacam itu? Tulisan berikut, dengan segala kekurangannya, dimaksudkan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Jika kita buka buku-buku tafsir (atau jika malas cukup sekali googling) dengan mudah akan ditemukan bahwa ayat yang selama ini dijadikan dasar hukum poligini (An-Nisa: 3), sejatinya tidak memiliki substansi perintah pelaksanaan amalan tersebut. Rangkaian ayat menyoroti potensi-potensi ketidakadilan dalam pernikahan. Ada kasus seorang wali dari yatimah (perempuan yatim), hendak menikahi yatimah tersebut. Dikhawatirkan akan muncul ketidakadilan mengenai mahar dan penghidupan untuk sang yatimah mengingat pihak laki-laki merasa sudah merawatnya sejak kecil.
Maka muncullah “wanti-wanti” dari Al-Qur’an bahwa jika tidak mampu berbuat adil, nikahilah perempuan non-yatimah dengan jumlah 2,3, atau 4 (poligini). Sampai di sini ternyata potensi ketidakadilan masih disorot. Bahkan diulang kembali di ayat 129 di surat yang sama. Maka, jika tidak mampu berbuat adil (dalam poligini) maka satu saja. Jadi sekali lagi, rangkaian ayat tidak dimaksudkan mendorong orang untuk poligini, melainkan menyoroti potensi ketidakadilan dalam urusan pernikahan.
Mencontoh Poligini Nabi
Muhammad Saw menikah dengan Khadijah belasan tahun sebelum diangkat sebagai rasul. Muhammad Saw menjalani masa monogami selama 28 tahun. Dari sebelum hingga sesudah risalah. Dari usia Khadijah 40 tahun hingga wafat. Setelahnya, Rasulullah memilih menduda selama dua tahun.
Baru setelah itu datanglah rangkaian pernikahan Nabi. Ada berbagai macam motif dari pernikahan-pernikahan tersebut. Kecuali dengan Aisyah, semuanya berstatus sebagai janda. Masa poligini ini dilakukan Nabi Saw selama kurang lebih 8 (delapan) tahun.
Mari kita renungkan sejenak. @Hampir 3 dekade Nabi setia dengan satu istri. Hanya delapan tahun menjalani masa-masa poligini dengan berbagai motif. Jika poligini adalah sunnah, mengapa tidak dilakukan Nabi sedari awal? Sedari Nabi muda, atau setidaknya sedari diangkat menjadi Rasul? Jika mengacu pada durasi masa monogini dibanding poligini, tidak patutkah kita jika berujar bahwa sebenarnya Nabi prioritaskan satu istri daripada banyak istri? Ini persoalan nalar. Silakan dipertimbangkan dan keluar dengan kesimpulan masing-masing.
Ketidaksetujuan Nabi Saw akan Pernikahan Kedua Ali R.A
Ketidaksetujuan Nabi Saw akan poliginitergambar saat Ali R.A berniat mempersunting putri Abi Jahal. Fatimah yang mengetahui hal tersebut mengadu kepada Nabi Saw. Saat itu Nabi berujar:
“Apa yang menyakiti Fatimah, juga menyakitiku. Karena itu, Demi Allah, Tidak akan berkumpul putri Rasulullah Saw dan putri musuh Allah dalam naungan satu lelaki selamanya” (H.R Bukhori dan Muslim)
Ulama kemudian menafsirkan hadis tersebut dengan berbagai alternatif penafsiran:
Pertama, adalah kedudukan Fatimah yang merupakan putri Rasulullah Saw. Tidak layak putri seorang Rasul menjadi korban poligini. Kedua, karena poligini dapat menyakitkan hati Fatimah. Sedangkan menyakiti Fatimah sama dengan menyakiti Rasulullah Saw (sebagai teks hadis). Menyakiti Rasulullah Saw merupakan perbuatan yang diharamkan. Ketiga, faktor calon mempelai Ali yang merupakan putri Abi Jahal, musuh Allah.
Kita mulai dari penafsiran ketiga. Apakah benar larangan poligini terhadap Ali adalah karena faktor calon mempelai? Perlu dirunut sebelumnya bahwa Rasulullah Saw sendiri menikahi putri dari Abu Sufyan yang bernama Ummu Habibah. Pernikahan tersebut terjadi saat Abu Sufyan masih berstatus musuh Islam dan disinyalir tanpa sepengetahuannya. Ini dibuktikan saat Fathu Makkah, Abu Sufyan negosiasi dengan Rasulullah Saw. Isinya Abu Sufyan berkenan masuk Islam dan tidak menghalangi jalannya Fathu Makkahdengan dua syarat: putranya, Muawiyah diangkat sebagai komite penulis wahyu; dan putrinya, Ummu Habibah diperistri oleh Rasulullah Saw. Abi Sufyan tidak menyadari bahwa syarat keduanya sudah terkabul jauh-jauh hari. Berkenaan dengan pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah inilah turun ayat ketujuh dari Surat Al-Mumtahanah yang artinya:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Singkatnya, jika alasan larangan poligini Ali adalah karena calon mempelai merupakan anak musuh Allah, bukankah Nabi Saw sebelumnya juga menikahi putri musuh Allah (waktu itu) yang bahkan diabadikan oleh Al-Qur’an? Apakah alasan tersebut masih bisa diterima? Saya memilih untuk mengambil alternatif pertama dan kedua. Bahwa menjadi korban poligini itu menyakitkan. Juga tidak sesuai dengan kedudukan Fatimah sebagai putri Rasulullah Saw.
Jika itu menyakitkan perempuan, mengapa kita sebagai pengikut Rasulullah Saw, justru glorifikasi poligini? Saya kira, rangkaian fakta sejarah ini cukup untuk menarik kesimpulan bahwa sebenarnya Nabi memprioritaskan pernikahan dengan satu istri (monogini) dan bukan sebaliknya. Wallahu A’lam.