Insecure, sebuah kata dalam Bahasa Inggris yang rupanya akrab di telinga kawula muda kiwari. Ia merujuk pada situasi ketika seseorang merasa dirinya ciut di hapadan orang lain. Apalagi di era serba media, berapa banyak anak muda yang merasa dirinya kalah dengan pancapaian-pencapaian orang lain, baik terhadap mereka yang seolah lebih indah parasnya, lebih pandai bicaranya, atau lebih lebih kaya?
Perasaan merasa kerdil dari orang lain itulah masalahnya. Gangguan mental seperti ini jelas tidak bisa dibiarkan. Soalnya, perasaan itu bisa memicu kecemasan dan stres berlebih yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Dalam kajian psikologi, insecure merupakan suatu perasaan yang muncul ketika seseorang merasa tidak aman, malu, bersalah karena menilai dirinya lebih rendah dari orang lain. Apabila perasaan tersebut secara kuat mengendalikan dirinya, maka akan menurunkan kepercayaan diri dan memengaruhi proses pengembangan dirinya. Selain itu, perasaan insecure yang berlebihan juga dapat memengaruhi interaksi seseorang dengan sekitarnya.
Berbicara soal kekurangan, setiap manusia pasti memilikinya. Meski terkadang hal ini membuat “ngelus dada” ketika menyadari keberadaannya dalam diri. Bersyukur atas apapun yang diberikan Allah adalah termasuk didalamnya menerima diri secara utuh. Tidak hanya menerima kelebihan diri saja, namun kekurangan diri juga mesti diterima. Seperti ajaran untuk memiliki sikap Qanaah, yaitu menerima segala apa yang Allah berikan dengan perasaan ridha dan cukup atasnya.
Orang yang memiliki penerimaan diri (self-acceptance) yang baik akan mampu menerima kekurangan yang dimiliki tanpa melalui penghakiman terhadap diri sendiri. Ketika kekurangan tersebut tersingkap di depan orang banyak, hal itu tidak membuat dirinya down karena benar-benar paham bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Dia juga akan mampu menutup telinga dari mulut yang berbicara seenaknya, berusaha menjatuhkan dan menyakiti dirinya. Kita memang tidak bisa menutup ribuan mulut yang berkata jahat untuk kita, tapi kita punya dua tangan yang bisa menutup kedua telinga untuk mencegahnya mendengar apa yang tidak seharusnya didengar.
Prinsip “tidak ada manusia yang sempurna” berlaku untuk semua manusia ciptaan-Nya. Tidak terkecuali para Nabi, salah satunya Nabi Musa. Didalam Alqur’an, kisah Nabi Musa termasuk yang paling banyak dibicarakan. Nabi Musa yang mengalami berbagai peristiwa yang membuatnya takut, khawatir, atau yang bisa kita sebut sebagai perasaan insecure ketika berdakwah menghadapi Fir’aun dan pengikutnya. Berbagai perasaan tersebut terekam dalam surah Thaha ayat 67, As-Syu’ara ayat 12, dan Al-Qasas ayat 33.
Kekurangan Nabi Musa yang dikisahkan adalah keterbatasannya dalam berbicara. Kekurangan tersebut memang sempat membuat Nabi Musa merasa insecure, namun beliau dapat menanganinya dengan baik dan tidak membiarkan perasaan tersebut berlarut-larut. Nabi Musa akhirnya meminta bantuan Nabi Harun saudaranya untuk mendampinginya ketika menghadapi Fir’aun. Kisah ini terekam dalam Alqur’an surah As-Syu’ara ayat 12-14, yaitu ketika Nabi Musa berkata “Ya Tuhanku, sungguh aku takut mereka akan mendustakan aku, sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku). Sebab aku berdosa terhadap mereka maka aku takut mereka akan membunuhku”.
Indikasi perasaan insecure atau tidak aman yang muncul pada Nabi Musa setidaknya dapat kita lihat dari kalimat “sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar” dan “maka aku takut mereka akan membunuhku”. Nabi Musa dengan segala dukungan yang Allah berikan kepadanya saja masih bisa merasa insecure, apalagi kita manusia biasa yang banyak kekurangan dan masih jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, perasaan insecure merupakan perasaan yang lumrah terjadi pada manusia sehingga kita harus bisa menerima dan mengendalikannya, dengan cara terbaik dalam mencintai diri sendiri.
Dalam upaya mengendalikan diri, Nabi Musa senantiasa berkomunikasi dengan Allah. Menyatakan apa yang sedang dirasakan kepada-Nya, memohon bantuan-Nya, berdoa untuk kebaikan dan keselamatan dirinya. Belajar dari Nabi Musa yang senantiasa menumpahkan perasaannya kepada Allah, kiranya bisa kita jadikan pelajaran berharga agar lebih dekat kepada Allah, apapun yang sedang kita alami. Karena Allah adalah sebaik-baik pendengar dan penolong. Jika curhat kepada manusia seringkali membuat kita harus berhati-hati dan takut kecewa, namun kepada Allah, apapun akan Dia terima karena berdoa atau berkomunikasi dengan Allah pun sudah bernilai ibadah.
Oleh karena itu, satu hal yang dapat kita jadikan pelajaran dalam menghadapi perasaan-perasaan negatif seperti insecure adalah perlunya “curhat” atau mengungkapkan isi hati. Curhat bisa kita lakukan kepada orang yang terpercaya atau langsung kepada Allah. Dikisahkan dalam Alqur’an surah Al-Qasas ayat 25 bahwa Nabi Musa mencurahkan rasa takutnya kepada Nabi Syu’aib sehingga beliau mendoakan tentang keselamatan Nabi Musa. Ketika perasaan insecure terlalu mendominasi mental sehingga tidak menemukan solusi untuk mengendalikannya, maka jangan takut untuk membagi perasaan tersebut kepada orang lain. Dewasa ini sudah tersedia banyak sekali layanan konseling psikologis bersama psikolog, psikiater, atau konselor yang dapat kita manfaatkan untuk curhat apabila tidak menemukan orang terdekat yang pas untuk menjadi pendengar.
Sepanjang jalan dakwahnya, Nabi Musa selalu mendapat perlakuan negatif dari Fir’aun dan kaumnya, berbagai macam hinaan, cacian, tertawaan, hingga ancaman selalu diterima Nabi Musa dengan tenang. Berdasar motivasi dan kekuatan dari Allah, Nabi Musa akhirnya dapat menghadapi rasa insecure dan tetap fokus pada apa yang Allah perintahkan untuk berdakwah menghadapi Fi’aun yang dzalim, tetap dengan cara yang baik. Seringkali rasa insecure yang kita miliki bersumber dari lingkungan atau orang lain yang merendahkan kita. Apabila menanggapinya dengan serius, maka yang terjadi adalah kepercayaan diri dan kemampuan untuk meningkatkan kualitas diri menjadi menurun. Oleh karena itu, tidak perlu bagi kita untuk mendengarkan komentar negatif yang menjatuhkan dan tidak membangun. Cukup fokus pada perbaikan diri tanpa membalas perlakuan negatif tersebut.
Melalui kisah Nabi Musa, beberapa pelajaran yang bisa diambil dalam menghadapi perasaan insecure yang seringkali muncul, yaitu pertama, mau menerima dan mencintai diri secara utuh, termasuk mengakui kekurangan diri dan meningkatkan rasa percaya diri. Kedua, senantiasa bersyukur dan memohon kekuatan kepada Allah semata. Ketiga, jangan sungkan untuk “curhat” kepada orang lain terlebih kepada Allah agar beban masalah insecurity dapat berkurang. Kelilingi diri dengan orang-orang yang suportif. Keempat, tetaplah fokus pada apa yang sedang diusahakan untuk masa depan, tutup telinga dari mendengarkan komentar orang lain yang sifatnya tidak membangun.
Wallahu a’lam.