Dalam Perang Uhud yang terjadi pada 3 H atau 625 M Nabi Muhammad meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi Bani Nadlîr. Sebelumnya, ketika Nabi baru saja pindah dari Makkah ke Madinah (hijrah) Nabi mengadakan perjanjian damai dengan beberapa suku Yahudi, salah satunya Yahudi Bani Nadlîr yang nenek moyangnya menetap di Madinah sejak 70 M.
Dalam perjanjian itu salah satu poinnya, Yahudi Bani Nadlîr harus membantu Nabi Muhammad dalam berperang melawan musuh-musuhnya (orang-orang Quraisy). Ketika tiba rencana perang di bukit Uhud, Nabi menagih janji Yahudi Bani Nadlîr, namun salah satu suku Yahudi terbesar di Madinah itu enggan memenuhinya, alasannya karena bertepatan dengan Hari Sabat, hari besar Yahudi.
Kendati mayoritas Yahudi Bani Nadlîr menolak, namun Mukhairîq, salah satu tokoh Yahudi Bani Tsa’labah yang kaya raya justru membantunya, bahkan berwasiat semua harta kekayaannya akan diberikan kepada Nabi Muhammad apabila ia gugur di medan perang.
Sebelum berangkat perang, Mukhairîq mengajak kaumnya, orang-orang Yahudi, untuk membantu Nabi Muhammad dalam berperang melawan orang-orang Quraisy Makkah. Mukhairîq mengatakan:
يَا مَعْشَرَ يَهُوْدَ، وَاللهِ إِنَّكُمْ لَتَعْلَمُوْنَ أَنَّ نَصْرَ مُحَمَّدٍ عَلَيْكُمْ لَحَقٌّ
“Wahai orang-orang Yahudi, demi Allah sesungguhnya kalian tahu bahwa menolong Muhammad bagi kalian suatu kewajiban.”
Orang-orang Yahudi menjawab: “Hari ini Hari Sabat (Inna al-yaum yaumu as-sabt)”. Kepada orang-orang Yahudi, Mukhairîq menegaskan bahwa Hari Sabat ditiadakan. “Tidak ada Hari Sabat bagi kalian (Lâ sabta lakum),” kata Mukhairîq. Lalu Mukhairîq mengambil pedang dan berangkat bersama orang-orang Yahudi lainnya yang ikut menuju bukit Uhud. Kepada pengikutnya, Mukhairîq berpesan:
إِنْ قُتِلْتُ هَذَا الْيَوْمَ، فَأَمْوَالِيْ لِمُحَمَّدٍ يَصْنَعُ فِيْهَا مَا أَرَاهُ اللهُ
“Apabila pada hari ini aku terbunuh, maka semua hartaku diberikan kepada Muhammad untuk digunakan sesuai dengan izin Allah.”
Di medan perang, Mukhairîq mati terbunuh. Menyaksikan kejadian itu, Nabi Muhammad bersabda: “Mukhairîq adalah sebaik-baik orang Yahudi (Muhairîq khairu yahûd).” (Ibnu Hisyâm, 1955: I, 518, Wolfensohn, 1927: 131-132).
Setelah Mukhairîq wafat, semua harta kekayaannya diterima Nabi Muhammad sebagaimana amanat Mukhairîq sendiri kepada pengikutnya. Harta kekayaan ini kemudian digunakan Nabi untuk membiayai para pengikutnya di Madinah. Bahkan sebagian besar biaya kehidupan pengikut Nabi di wilayah yang nama lainnya Yatsrib ini diambil dari harta pemberian Mukhairîq.
Apa yang dilakukan Mukhairîq bagian dari komitmennya dalam memenuhi janji kesepakatan hidup bersama dengan Nabi Muhammad yang tidak lain menjaga “Negara Madinah” supaya tetap aman. Demi kepentingan Madînah, Mukhairîq memilih membela Nabi Muhammad untuk berperang melawan orang-orang musyrik Quraisy daripada ritual di Hari Sabat.
Kisah di atas, selain menunjukkan patriotisme seorang Yahudi dalam membela Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, juga mengantarkan pada pemahaman yang utuh bahwa perang yang dilakukan Nabi bukan karena perbedaan agama, melainkan karena mempertahankan diri dari kezaliman orang-orang Quraisy.
Dalam Islam, perang bukan untuk menyebarkan agama, tapi bagian dari upaya defensif dalam menghadapi serangan orang-orang yang zalim.