Setiap kali Idul Adha datang menyapa, maka sosok Nabi Ibrahim selalu menjadi tema utama. Hal ini tidak lepas dari peran Nabi Ibrahim yang begitu sentral dalam perayaan Idul Adha. Pada diri Nabi Ibrahim, ada berbagai cerita yang menjadi cermin bagi generasi setelahnya. Salah satu kisah yang tidak pernah usang dan kontekstual pada masa sekarang yakni dialognya dengan ayahnya, Adzar. Kisah tersebut abadi dalam Al Quran Surat Maryam ayat 41-48.
Dikisahkan, Nabi Ibrahim mengajak ayahnya berdiskusi tentang Tuhan. Nabi Ibrahim bertanya mengapa ayahnya menyembah berhala yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa menolong? Untuk meyakinkan ayahnya, Nabi Ibrahim mengatakan bahwa ia memiliki ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki ayahnya dan berharap ayahnya mau mendengar dan mengikuti jalan akidah Nabi Ibrahim.
Lantas, apa jawaban ayah Nabi Ibrahim? Adzar berkata pada Nabi Ibrahim, apakah kamu benci dengan tuhan-tuhanku itu wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti berdakwah, maka ayahnya akan merajam Nabi Ibrahim dan meminta anaknya untuk meninggalkannya.
Apakah Nabi Ibrahim marah? Atau apakah Nabi Ibrahim minta bantuan malaikat untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi? Tidak. Nabi Ibrahim memilih mendoakan agar ayahnya diberi keselamatan dan mendapat ampunan dari Allah Ta’ala.
Tidak hanya menghadapi ayahnya, dakwah Nabi Ibrahim juga dihadang oleh penguasa otoriter sekelas Namrudz dan para pendukungnya yang terus menerus menebarkan ujaran kebencian kepada Nabi Ibrahim. Puncaknya, seruan Nabi Ibrahim dibalas dengan hasutan untuk membunuh dan membakarnya hidup-hidup. Nabi Ibrahim akhirnya dibakar hidup-hidup tetapi Allah menunjukkan kebesaran-Nya dengan menyelematkan Nabi Ibrahim.
Dakwah Santun
Kisah di atas mengajarkan pentingnya tata krama dan kesabaran dalam berdakwah. Sikap keras hati yang ditunjukkan ayah Nabi Ibrahim dibalas dengan doa keselamatan dan permohonan ampunan kepada Allah. Perbedaan keyakinan yang terjadi antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya tidak membuat putus ikatan silaturahmi.
Tidak hanya tetap menjaga ikatan ayah-anak. Nabi Ibrahim juga mendoakan yang terbaik untuk ayahnya. Hal ini memberi teladan bahwa walaupun antara anak dan ayah berbeda akidah, kewajiban anak untuk mendoakan orang tua tetap berjalan. Dan doa yang diajarkan Nabi Ibrahim adalah permohonan ampunan dan keselamatan kepada Allah. Tentu saja, apakah doa tersebut terkabul atau tidak adalah kehendak Allah.
Tindakan yang dilakukan Nabi Ibrahim ini jelas menjadi cermin bagi kita di era dimana orang mudah mengkafirkan orang lain. Perbedaan akidah bukan penghalang bagi kita untuk bersikap santun dan ramah terhadap siapa saja. Nabi Ibrahim telah menunjukkan kepada kita betapa sikap ramah dan berdakwah dengan hikmah harus dipelihara karena hal itulah yang bisa dilakukan manusia. Soal apakah orang yang kita dakwahi akan mengikuti atau tidak maka Allah yang akan menentukan.
Kita pun harus bisa menjadikan Nabi Ibrahim sebagai cermin dalam bertindak. Kesabaran dan prilaku yang santun adalah soft da’wa yang akan menjadikan Islam menjadi lebih indah dipandang orang. Alangkah malunya kita yang masih sering bertindak kasar dan menebar kebencian bahkan pada sesama saudara seiman.
Nabi Ibrahim telah memberi contoh bagaimana berinteraksi dengan orang yang tidak seiman. Berbeda akidah tidak menjadi penghalang untuk mengikat tali silaturahmi. Kita patut heran dengan orang-orang yang menganjurkan untuk tidak berkomunikasi kepada orang yang tidak seagama. Jika demikian yang dilakukannya, maka sepatutnya ia mendalami lagi kisah Nabi Ibrahim.
Pada kisah Nabi Ibrahim, kita belajar tentang dakwah yang ramah dan toleran serta penuh welas asih. Dengan kata lain, jika ajakan kebaikan kita ditolak, maka jalan terakhir yang bisa kita tempuh adalah berdoa agar yang bersangkutan diberi petunjuk Allah. Nabi Ibrahim saja masih mau mendoakan ayahnya yang jelas-jelas menyembah berhala agar diberi ampunan dan keselamatan.