Para sejarawan banyak yang mencatat satu peristiwa di masa awal Islam yang memunculkan nama Afif al-Kindi. Seorang usahawan sukses trans-negeri. Saat musim haji, ia menginjakkan kakinya di tanah Makkah. Dan disana ia berjumpa dengan al-Abbas (paman Nabi).
Di tempat al-Abbas ini, Afif al-Kindi sempat menyaksikan Nabi Muhammad SAW sedang sholat menghadap kiblat. Hingga kemudian ia bertanya kepada al-Abbas, agama apa yang memiliki ritualitas seperti itu. a-Abbas menjawab, itu adalah agama Muhammad ibn Abdullah (saudara laki-lakinya) yang mengklaim dirinya sebagai seorang utusan Tuhan dan berobsesi menggulingkan Persia dan Romawi. (Kitab al-Kamil fil al-Tarikh)
Pada keadaan ini, Nabi menggunakan pendekatan politis dengan perlunya mengklaim diri sebagai pemimpin. Ini merupakan realitas peradaban Islam yang tidak bisa lepas dari konstruksi budaya politik. Bukan semata-mata beliau ingin menyombongkan diri. Hal ini dilakukan -menurut Said Aqil Sirodj- sebagai terapi “Herohisme dan Optimisme” kepada masyarakat muslim saat itu. Mengingat kondisi masyarakat tercerai berai dan hidup di tengah ketidakpastian politik akibat peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti.
Langkah Nabi dalam menyebarkan Islam dengan memanfaatkan isu-isu politik diatas terbukti sangat efektif. Beliau mampu membaca ‘arus’ angin untuk menggaungkan semangat ajaran kedamaian (Islam). Namun tetap memperhatikan unsur demografis. Pemahamannya memahami sosio-kultural masyarakat setempat rupanya menjadikan semangat bagi para sahabat. Terbukti, Ketika tak lama Rasul wafat, kekaisaran Persia tidak mampu membendung arus deras dakwah Islam. Dan sebagian besar daerah kekuasaan Persia pun ada dalam genggaman Islam ketika masa Umar bin Khattab. Bahkan setelah (masa Ustman bin Affan) Romawi pun juga mendapat ‘perhatian’.
Salam untukmu wahai Rasul, dari kami ummatmu yang sedang terus berusaha mengenalmu..