Rukun iman yang wajib diketahui bagi setiap muslim yaitu ada enam. Di antara keenam rukun iman tersebut, nomor empat yaitu iman atau percaya kepada para rasul atau utusan Allah SWT. Dalam paham Ahlus Sunnah wal Jamaah, para rasul mempunyai sifat wajib, sifat muhal dan sifat jaiz.
Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) telah menjelaskan mengenai definisi dari sifat jaiz dalam kitab nurudz dzalam,
يجب على كل مكلف أن يعتقد أن الجائز فى حق الرسل والأنبياء عليهم الصلاة والسلام وقوع الأعراض البشرية التى لا تؤدى إلى نقص فى مراتبهم العلية كالمرض الخفيف ونحوه كالأكل والشرب والبيع والشراء والسفر والقتل والجروح والتزوج ودخول الأسواق والنوم لكن بأعينهم فقط دون قلو بهم
“Diwajibkan bagi setiap mukallaf untuk meyakini bahwa sifat jaiz (boleh) bagi para rasul dan nabi adalah a’rodhul basyariah atau sifat-sifat yang umum dimiliki oleh manusia biasa, sekiranya sifat-sifat tersebut tidak mengurangi derajat mereka yang luhur, seperti sakit ringan, makan, minum, menjual dan membeli, berpergian, berperang, terluka, menikah, masuk ke pasar, dan tidur yang mana bukan tidur hati”.
Di antara para nabi dan rasul yang wajib diketahui yaitu Nabi Ayyub AS. Dengan status beliau sebagai nabi dan rasul, tentunya Nabi Ayyub AS memiliki sifat jaiz seperti yang dijelaskan di atas. Namun terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Ayyub AS pernah mendapatkan ujian dari Allah SWT berupa penyakit kulit yang parah. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa daging dari tubuh Nabi Ayyub AS digerogoti oleh belatung dan beliau membiarkannya saja.
Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitabnya Rowai’ul Bayan juz 2 muhadloroh 19 menyebutkan bahwa cerita tentang Nabi Ayyub AS terkena penyakit parah dan di tubuhnya terdapat belatung merupakan cerita yang batil atau tidak benar.
Menurut beliau cerita tersebut merupakan hikayah makdzubah (cerita bohong) yang didapat dari qashasul israiliyyah (kisah-kisah bangsa israil) yang mana tidak kuat sanadnya dan penisbatannya untuk para nabi. Lalu, cerita tersebut dikutip dalam beberapa kitab tafsir, yang cerita tersebut akan menafikan ‘ishmatul anbiya’ (terjaganya para nabi dari sesuatu yang buruk). As-Shabuni kemudian melarang setiap muslim untuk menyimpulkannya seperti itu,
والذي ينبغي أن يقتصر عليه المسلم أنّ ما أصاب (أيوب) من ضر إنما كان مرضا من الأمراض المستعصية التي ينوء بحملها الناس عادة
“Sebaiknya seorang muslim membatasi diri untuk menyimpulkan bahwa apa yang telah terjadi pada Nabi Ayyub A.S merupakan penyakit yang sulit disembuhkan yang mana bagi keumuman seorang manusia berat untuk menanggunya.”
Selain itu, Ahmad bin Muhammad as-Shawi (w.1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah As Showi ‘alal Jalalain setuju dengan apa yang dikemukakan oleh as-Shabuni bahwa apa yang menimpa pada Nabi Ayyub AS bukan penyakit parah yang sampai mengeluarkan belatung pada kulitnya. Pengarang kitab Hasyiyah As Showi tersebut menyebutkan dalam tafsir surat al-Anbiya ayat 83 bahwa Nabi Ayyub AS hanya menderita penyakit panas dan gatal,
إن قلت إن الأنبياء يستحيل عليهم المنفر من الأمراض. أجيب, بأنما نزل به ليس من المنفرات في شيء, وإنما هو حرارة وحكة
“ Jika Saya (Syaikh Ahmad bin Muhammad as-Showi) mengatakan bahwa para nabi mustahil terkena penyakit menjijikkan yang membuat dijauhi orang banyak, Saya akan menjawab bahwa apa yang terjadi pada Nabi Ayyub AS bukan sesuatu yang menjijikkan, akan tetapi itu hanya berupa penyakit panas dan gatal biasa.” (AN)
Wallahu a’lam.