Setelah menjadi viral karena diprotes jutaan netizen di medsos dan menjadi diskursus publik, akhirnya pihak terkait hingga Mendikbud memberi klarifikasi atas video anak TK bercadar dan “bersenjata” itu. Menurut Mendikbud yang datang langsung ke Probilinggo, tema barisan anak-anak bercadar dan “bersenjata” dalam karnaval TK di Probolinggo itu adalah perjuangan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.
Dalam video lengkapnya, menurut Mendikbud, ada bendera Merah Putih, replika Ka’bah, kemudian ada “pasukan” bercadar dan “bersenjata” itu.
Penjelasan Mendikbud tersebut kesannya dipaksakan. Kalau temanya seperti itu, kenapa ada replika Ka’bah dan kemudian diikuti pasukan bercadar “bersenjata” AK 47?
Kenapa tidak memakai replika masjid Demak yang bercirikhas Indonesia. Pejuang yang berpakaian khas Muslim di Nusantara seperti bersarung, bersongkok atau ikat kepala khas Nusantara.
Kalau untuk pejuang perempuan, kenapa tidak berpakaian seperti Cut Nyak Dien yang berkerudung biasa bukan cadar. Bahkan dalam beberapa foto, rambut Cut Nyak tidak berjilbab.
Pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1800an hingga 1940an atau pada masa sebelum itu, tidak ada pejuang kemerdekaan muslim-muslimah di Nusantara yang memakai cadar. Sampai mumet “jungkir malik” dan “njengking” hingga “ndlosor” tidak akan ketemu dokumen bukti pejuang perempuan Indonesia bercadar.
Pejuang Indonesia sudah pasti tidak memakai senapan serbu AK 47 yang diproduksi tahun 1947. Apalagi senjata itu resmi dipakai pasukan Rusia tahun 1949. Pejuang waktu itu lebih banyak memakai senjata-senjata tradisional seperti rencong, golok, kujang, bambu runcing, dll. Kalau pakai senjata api, umumnya produk Belanda, Jerman, dan Inggris yang dirampas dari pasukan Belanda.
Pakaian “pasukan” bercadar dan “bersenjata” AK 47 dalam karnaval itu mirip dan identik dengan ciri-ciri pasukan asing teroris ISIS era modern yang dilarang di banyak negara termasuk Indonesia. Jelas bukan ciri pasukan pejuang kemerdekaan Muslim Nusantara waktu itu.
Sekali lagi, pernyataan Mendikbud yang mencoba menetralisir kritik publik tersebut kurang tepat. Namun penjelasan lainnya sudah bagus, dengan mengingatkan agar para guru hati-hati dalam “memberikan” sesuatu kepada murid. Meski sebenarnya pernyatan ini terlalu lembek.
Selain itu, banyak publik yang kaget dan kecewa, alih-alih Mendikbud memberi sangsi atau peringatan keras terhadap sekolah tersebut, beliau malah memberi bantuan 25 juta rupiah.
Dalam hal ini, Mendikbud sebaiknya memperhatikan banyak informasi akademis dan ilmiah dari berbagai lembaga studi dan research tentang penyebaran ajaran radikal di sekolah negeri dan swasta. Banyak temuan mereka menjelaskan tidak sedikit guru, staf dan siswa sekolah negeri dan swasta yang telah terpapar ajaran radikal dan intoleran.
Sebaiknya Kemendikbud sesegera mungkin bekerja sama dengan BNPT dan BPIP untuk mengatasinya.