Di penghujung akhir 2015, di sebuah gereja mungil di salah satu wilayah dataran tinggi di Jawa Timur, saya diminta untuk mengisi satu sesi di sebuah forum persiapan para calon pendeta. Tidak untuk berbicara tetang masalah teologi tentunya. Saya diminta untuk berbicara tentang agama dan tanggung jawab kemanusiaan. Kurang lebih seperti itulah topiknya, redaksi kalimatnya saya sudah lupa.
Suasana dingin malam itu tidak membuat diskusi membeku. Di salah satu bagian diskusi yang penuh keakraban, hangat dan blak-blakan malam itu, saya melontarkan pertanyaan: “Apakah Anda percaya bahwa doa yang kita kirimkan kepada orang yang sudah meninggal sampai kepada si mayat dan memberi dampak kepadanya dalam menempuh perjalanan setelah kematian?”
Pertanyaan ini sebetulnya seperti debat kuno antara warga NU dan Muhammadiyah tentang apakah kiriman surat al-Fatihah atau Yasin atau doa secara umum kepada si mayat sampai ataukah tidak.
Seperti yang sudah saya duga, mereka serentak menjawab: “TIDAK”. Mereka adalah sekelompok calon pendeta dari sebuah denominasi gereja yang ajaran teologinya meyakini bahwa doa kepada si mayat tidak memberi efek apapun. Seseorang akan sepenuhnya menanggungn apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia. Saat kematian tiba, tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat.
Kematian adalah gerbang di mana penghakiman Tuhan sepenuhnya akan dijalankan seadil-adilnya. Di mana, keadilan di sini berarti Tuhan akan memberi balasan, siksa atau pahala, sesuai dengan amal perbuatannya selama di dunia.
Tidak ada upaya yang bisa mengubah rumus ini, termasuk doa kerabat atau sahabat. Karena itu, bagi gereja ini, doa kematian sebetulnya bukan mendoakan si mayat, tapi doa penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Saya kemudian bertanya lagi: “Karena doa kepada si mayat tidak memberi dampak apapun, apa yang kamu rasakan jika suatu hari anggota keluargamu atau orang yang kamu sayangi meninggal dunia, dan saya mendoakan si mayat di depanmu, ‘semoga dia celaka dan dibakar api neraka’?” Seperti yang juga sudah saya duga, semuanya terdiam. Di titik ini mereka menyadari bahwa ada yang lebih penting dari klaim kebenaran teologis, bahkan sekalipun itu diyakini menempati posisi tertinggi dan absolut dalam jenjang kebenaran, yaitu keadaban dalam kehidupan bersama.
Klaim kebenaran teologis, apapun agamanya, pada akhirnya kembali kepada keyakinan masing-masing. Secanggih apapun rumusan teologis yang disusun manusia, ia sebenarnya adalah hasil kerja rasio dalam menafsir pesan Tuhan. Tuhan sendiri karena kemutlakan-Nya tidak mungkin bisa dikurung dalam rumusan-rumusan teologis yang dihasilkan oleh rasio manusia yang nisbi.
Kebenaran teologis hanya memberi kita dua pilihan: percaya atau tidak percaya. Ia tidak menyediakan alat untuk menverifikasinya. Hanya Tuhan yang tahu apakah doa kepada si mayat akan sampai atau tidak. Kelompok yang pro maupun kontra, keduanya tidak memiliki alat untuk membuktikan klaimnya, kecuali kembali kepada pilihan keyakinan masing-masing.
Di sinilah titik batas klaim kebenaran teologis. Biarlah itu menjadi kewenangan Tuhan. Tak perlu kita bersaing dengan Tuhan untuk urusan ini. Seyakin apapun kita terhadap satu pemikiran teologi tertentu, kita harus menyadari bahwa hanya Tuhan sajalah pemilik kebenaran sejati. Karena itulah, saya menaruh hormat sepenuh hati kepada kiai-kiai NU yang selalu mengakhiri uraian-uraian keagamaannya dengan kalimat: wa-Allahu a’lam bi al-shawab (Allah sajalah yang Maha Mengetahui kebenarannya).
Bagi mereka yang meletakkan keyakinan teologinya sebagai kebenaran absolut sebagaimana kebenaran Tuhan itu sendiri, mereka mudah tergelincir untuk bersikap eksklusif dan intoleran dalam beragama.
Mereka merasa bahwa merekalah pemegang kebenaran satu-satunya. Karena sikap seperti ini, mudah sekali mereka mengkafirkan kelompok lain yang berbeda. Inilah jalan pikiran kelompok takfiri (mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda). Dari cara berpikir seperti ini jugalah lahir berbagai kekerasan agama, bahkan tindakan-tindakan teror.
Mereka tidak menyadari bahwa beragama tidak sebatas teologi, tapi juga akhlak. Bahkan Nabi Muhammad bersabda bahwa dia diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Untuk apa beragama jika buahnya adalah kebencian dan kedengkian?
Untuk apa mengklaim memiliki kebenaran sejati yang akan menggaransinya masuk surga jika hal itu hanya melahirkan permusuhan dan kekerasan?
Mengapa kita tak mungkin berdoa buruk kepada mayat di depan keluarganya sekalipun keluarga tersebut meyakini doa tidak memberi dampak apapun kepada si mayat, adalah karena doa buruk itu akan menyakiti hati keluarganya. Tidak mungkin melepaskan agama dari keadaban hidup karena justru di sinilah jantung hati agama dalam kehidupan manusia.
Agama duturunkan Tuhan bukan untuk menambah keagungan-Nya, tapi untuk memberi terang hidup manusia. Jika cara kita beragama hanya menumbuhkan kebencian, pasti ada yang salah dalam cara kita menghayatinya.
Sampai di sini, jika Anda bertanya, mengapa ada orang yang melakukan bom bunuh diri dengan motif agama, jawabanya adalah karena orang itu memisahkan teologi dari etika; melepaskan agama dari keadaban hidup bersama. Anda juga tidak perlu heran jika ada sekelompok orang yang meributkan salam semua agama, karena begitulah cara mereka beragama.
Bagi mereka, beragama semata-mata tentang kavlingan surga, tidak peduli apakah perkataan dan sikapnya menyakiti sesama.[]