Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan imbauan mengenai ucapan salam antar agama yang biasa disampaikan para pejabat. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua, shalom, om swastiastu. Namo buddhaya, salam kebajikan.”
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menyatakan bahwa muslim sepatutnya mengucap salam dan doa sebagaimana yang telah diajarkan pendahulunya. Abbas mengamini imbauan yang dikeluarkan MUI Jawa Timur.
MUI Jatim menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan sesuatu yang bidah, mengandung nilai syuhbat, dan patut dihindari oleh umat Islam, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia.
Membantah hal tersebut, Muchlis Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, tidak sependapat dengan imbauan tersebut. Menurutnya, ulama berbeda pendapat mengenai pemberian salam kepada kafir non-harbi (tidak memerangi). Menurut Muchlis, Tafsir al-Qurthubi dan Tafsir al-Thabari menyebutkan kebolehan memberikan salam pada kafir non-harbi. Ini merupakan bagian dari sikap berlaku baik dan adil kepada mereka. Hal ini berdasarkan QS. Al-Mumtahanah: 8, dan QS Maryam: 47. (Baca: Hukum Mengucapkan Salam kepada non-Muslim)
Menurut alumni Al-Azhar ini, Al-Qurthubi berpendapat bahwa jika terdapat maslahat mendesak karena hubungan pertemanan, pertetanggaan, dan sesama warga negara dan warga bangsa yang berjanji hidup damai bersama, itu dipersilakan. Hadis yang melarang memulai bersalam itu konteksnya dalam situasi perang atau bermusuhan.
Menurut pria yang pernah menjadi penerjemah Presiden saat dikunjungi Raja Salman ini, mengucapkan salam kepada non-Muslim itu bukan hal yang bidah. Ulama salaf ada yang pernah melakukan hal tersebut. Bahkan para sahabat pun melakukan hal tersebut. Muchlis menyebutkan nama sahabat Nabi Ibnu Masu’ud yang biasa melakukan hal tersebut. Sahabat Nabi yang lain, Abu Umamah menyalami siapa saja yang ditemuinya, muslim atau kafir. Sahabat Abu Umamah pernah mengatakan, “Bukankah Agama mengajarkan kita untuk menebar salam kedamaian?”
Selain itu Muchlis juga menengahi kedua perbedaan pendapat tersebut dengan mengutip pendapat Imam al-Auzai, “Anda bersalam pada non-Muslim itu mengikuti ulama salaf. Anda tidak bersalam juga mengikuti ulama salaf.” Oleh karena itu, Muchlis mengimbau agar yang ingin mengucapkan salam campur agama atau yang tidak ingin itu saling menghormati satu sama lain. Yang tidak berkenan mengucapkan salam tersebut hendaknya tidak menganggap orang lain melakukan perbuatan bidah, syubhat, dan dianggap sesat.
Selengkapnya, klik di sini