Senin malam (05/06), Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Fatwa ini tentu sangat dinanti-nanti oleh umat Islam yang aktif bermedia sosial. Setidaknya, dengan fatwa MUI ini, umat Islam punya pijakan yang jelas untuk melakukan apa-apa yang dianjurkan dan apa-apa yang diharamkan.
Pengguna internet di Indonesia merupakan salah satu yang terbanyak di dunia. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) melansir data pada 2016 jumlah pengguna internet di negara ini mencapai 132 juta jiwa. Jumlah yang sedemikian banyak ini adalah ladang subur untuk menyemai gagasan-gagasan, baik yang positif atau pun negatif.
Sebelum fatwa ini dikeluarkan, penulis cukup gerah melihat banyaknya berita-berita hoax dan caci maki yang menghiasi berbagai platform media sosial, mulai facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tentu saja membuat resah, apalagi saat ini kita tengah berada di bulan yang mulia, Ramadan. Keberadaan konten negatif tentu mencederai kesucian bulan agung umat Islam ini.
Ada lima poin yang diharamkan MUI dalam bermedia sosial. Antara lain mencakup larangan untuk melakukan ghibah, adu domba, fitnah dan penyebaran permusuhan, hingga larangan menyebar konten yang benar tapi tidak sesuai dengan konteksnya. Dengan fatwa ini, umat bisa lebih berhati-hati dalam menyebar konten di media sosial, khususnya di bulan puasa, bulan yang penuh kebaikan.
Gerakan Literasi Al-Hujurat : 6
Memfilter informasi di media sosial tidak cukup dengan mengandalkan fatwa dari MUI saja. Kesuksesan membumikan fatwa ini membutuhkan bantuan dari berbagai elemen, mulai pemerintah (umara), organisasi massa Islam, hingga umat di akar rumput.
Kita bisa belajar dengan adanya suatu gerakan pengawal fatwa MUI yang menyebut dirinya GNPF-MUI beberapa waktu lalu. Gerakan ini tidak hanya bergerak secara masif di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Jika dulu yang dikawal adalah pandangan tentang pemimpin, saat ini kita dorong agar seluruh umat turut terlibat mengawal fatwa bermedia sosial ini.
Jika seluruh umat bisa terlibat, maka akan membuat suatu gerakan literasi yang luar biasa. Hal ini sekaligus mengamalkan firman Allah SWT surat Al-Hujurat ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat di atas secara gamblang memerintahkan kepada kita agar melakukan verifikasi terhadap berita-berita yang dibawa oleh orang fasik. Siapa orang fasik? Dalam pengertian fikih klasik, fasik diartikan sebagai orang yang dengan sadar melanggar perintah Allah SWT. Dalam konteks media sosial, fasik bisa dialamatkan kepada akun-akun yang tidak diketahui secara jelas identitasnya alias anonim.
Sepanjang pengamatan penulis, konten bermuatan hoax, fitnah, adu domba, dan penebar kebencian disebar pertama kali melalui akun-akun yang tidak jelas pemiliknya. Kebanyakan mereka berafiliasi dengan kelompok politik tertentu dan menyebar sebuah konten dengan tujuan politis. Yang jadi korban adalah masyarakat awam, sehingga karena kepentingan segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab itu, masyarakat terbelah menjadi beberapa kubu yang saling bercekcok.
Untuk itulah, fatwa MUI tentang bermedia sosial ini semoga bisa membimbing kita menjadi pengguna media sosial yang cerdas, yang tidak asal tekan tombol share jika suatu informasi belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Benar pun jika tidak sesuai konteksnya bisa dihukumi haram. Jangan sampai niat baik justru membawa petaka dan menyeret kita dalam kubangan dosa. Wallahhu a’lam.
Sarjoko, penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.