Setelah melangsungkan upacara pernikahan, saya sempat tinggal sementara di kampung isteri. Ringkas cerita, suatu ketika di saat menjelang ibadah shalat Jumat, saya bergegas mandi, berpakaian rapi dan menyiapkan diri hendak ke masjid, yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah mertua.
Tapi begitu mau keluar rumah, mendadak langkah kaki saya berhenti, dan terkejut dengan teguran dari ibu mertua, “Mau ke masjid, Mas? Yuk saya tunjukkan jalan ke masjid.”
Saya menjadi terheran, “Bukankah mesjid hanya berjarak empat rumah dari kediaman mertua? Tak perlu lah pakai diantar segala?” batinku.
Tanpa bertanya, saya pun mengikuti saja langkah mertua yang berjalan di depanku.
Rupanya, begitu melewati dua rumah, ibu mertua mengajak jalan ke arah belokan gang ke kanan, dan setelah sekira seratusan meter melangkah, dia menunjuk sebuah masjid yang lain, terletak seratusan meter di depan.
“Itu masjidnya, mas. Besok-besok kalau jumatan di sana,” kata ibu mertua yang kemudian berbalik arah pulang kembali ke rumah.
Hari demi hari kulalui, saya pun akhirnya paham bahwa di kampung ini, terdapat dua masjid. Satu masjid dikelola oleh Muhammadiyah, yang jaraknya lebih dekat dari rumah, dan satunya lagi masjid yang saya jadikan tempat Jumatan, yang dikelola oleh jamaah NU (Nahdliyin).
Sebagai pendatang baru, saya berusaha menyesuaikan diri. Tidak lantas sok-sokan merasa paling benar dalam menyikapi perbedaan. Padahal sebelum menikah, ketika masih kuliah di Yogya, saya juga pernah menjalani pengalaman hidup beragama di tengah perbedaan mazhab.
Saat itu, saya yang NU biasa melakukan shalat di masjid Muhammadiyah. Bahkan di kampus, jamaah NU dan Muhammadiyah bisa menjalani ibadah bersama, dan terkadang dengan imam yang bergantian. Ini praktik yang belum bisa dilakukan di kampung isteri saya.
Sekali lagi, hari demi hari, saya makin bisa merasakan persaingan antar dua organisasi NU dan Muhammadiyah ini di kampung. Termasuk kerap mendengar celotehan dan sikap orang-orang dari dua kelompok organisasi ini yang bernada sinis. Meskipun sejauh ini hubungan satu sama lain tekesan rukun-rukun saja. Tapi fakta adanya “perseteruan dingin” dua organisasi tak bisa dibantah.
Setelah beberapa bulan tinggal di rumah mertua, saya kemudian memutuskan berangkat bersama isteri untuk tinggal di Jakarta. Hingga suatu saat, lima tahun setelah saya menikah, datanglah kabar suatu peristiwa spektakuler dari kampung. Tanpa mengetahui asal muasalnya, kedua tokoh agama yang disegani dan dihormati dari NU dan Muhammadiyah di kampung tersebut menjalin hubungan besanan.Anaknya Haji Zainal tokoh NU dinikahkan dengan anaknya Haji Zakir yang tokoh Muhammadiyah.
Perseteruan bertahun-tahun seolah reda seketika. Nada-nada sindiran antar tetangga tak terdengar lagi. Adakah hubungan yang lebih dekat secara sosial dari sebuah hubungan keluarga?
Pengaruh yang ditimbulkan dari pernikahan itu mulai terasa. Meskipun jamaah tetap shalat di masjidnya masing-masing, dalam kesempatan saat idul adha tiba mereka sudah bisa bekerjasama dan menunjukkan hubungan yang hangat dengan senyum lebih merekah dan tawa ceria. Memotong hewan bersama, dan membagikannya bersama dalam sebuah tim kepanitiaan bersama. Sungguh hubungan NU-Muhammadiyah yang kompak setelah pernikahan NU-Muhammadiyah itu.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita di atas, bahwa sikap dan tindakan para pemimpin atau tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang efektif untuk menciptakan kohesivitas sosial. Hubungan yang akrab antar tokoh dari berbagai kelompok, akan diikuti oleh para pengikutnya, dengan efek timbulnya keceriaan dan canda-tawa masyarakat kita.
Pelajaran serupa bisa diambil dari kabar gembira pekan lalu, yang datang dari pimpinan Muhammadiyah, Haedar Nasir yang mengeluarkan surat resmi ucapan selamat hari ulang tahun (Harlah) kepada Nahdlatul Ulama yang ke-94.
“Selamat hari lahir kepada Nahdlotul Ulama ke 94, semoga istiqomah merekat ukhuwah dan mengemban misi dakwah Islam untuk kemajuan umat dan bangsa, Nasruminallah wa fathun qarib,” demikian bunyi surat ucapan selamat yang sempat beredar di lini masa sosial media pekan lalu.
Bahkan, secara khusus Haedar menyampaikan harapan khusus kalangan Muhammadiyah kepada NU:
“Semoga Nahdlatul Ulama dengan spirit Islam Nusantara tetap istiqomah di jalan dakwah dalam merekat ukhuwah, mengembangkan moderasi, merawat kebhinekaan dan membangun kemajuan umat dan bangsa. Kami, Muhammadiyah, juga berharap bahwa jalinan kebersamaan antara NU dan Muhammadiyah yang telah berlangsung lama, sebagaimana telah dicontohkan oleh Hadlratus Syeikh KH. Hasyim Ay’ari dan KH. Ahmad Dahlan terus dijalin semakin erat sehingga Muhammadiyah dan NU tetap menjadi pilar strategis umat dan bangsa. Kami percaya dengan spirit meneguhkan kemandirian NU untuk perdamaiaan dunia sebagaimana tema milad tahun ini, Nahdlatul Ulama semakin maju, dan bersama seluruh kekuatan bangsa menjaga Indonesia dan memajukan semesta. Selamat Harlah ke-94, semoga Allah melimpahkan berkah rahmt daaan karunianya untuk kita semua.”
Sungguh teladan yang telah ditunjukkan oleh piminan Muhammadiyah tersebut membawa dampak posisitf yang langsung dirasakaan terutama oleh umat Islam kedua organisasi tersebut. Hubungan yang selama ini sering diselimuti prasangka, dengan ucapan seorang pimpinan bisa membuka kran dialog dan kerjasama dua kelompok di akar rumput.
Sontak, saya membayangkan, betapa ucapan yang disampaikan oleh Profesor Haedar di atas akan semakin menambah kehangatan hubungan antara NU dan Muhammadiyah di kampung yang saya ceritakan itu.