Berdasar catatan sejarawan, sebelum kemunculan Muhammad, Arab adalah bangsa yang sangat gemar berseteru. Baik perang dingin dalam wujud persaingan produk sastra, hingga perang yang sesungguhnya. Beberapa di antara perang tersebut lahir karena hal sepele. Perang yg dikenal dengan sebutan Perang Basus, sebabnya hanya soal ternak yang mati. Lalu berlangsung bertahun-tahun secara turun temurun.
Karena itu, Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta. Rahmat itu artinya kasih. Lawan kata perang, harusnya. Urutan pertama mestinya adalah rahmat bagi masyarakat Arab kala itu. Tempat di mana Nabi turun.
Sayangnya, sejarawan juga mencatat peristiwa-peristiwa perang (ghazwah) dalam perjalanan dakwah Nabi. Perang Badar, Uhud, Khandak, dan lain-lain. Rupanya untuk mewujudkan rahmat, tetap ada peperangan. Bedanya, sepanjang hayat Nabi, perang bersifat pertahanan diri. Bukan untuk menguasai wilayah lain.
Namun itu tak berjalan lama. Sepeninggal Nabi, bahkan masih masa sahabat, perang ofensif kembali berkobar. Banyak diantaranya sesama umat Islam sendiri. Perang Jamal, contohnya.
Sekarang, 14 abad setelahnya, perang juga kian akrab dengan dunia Arab. Rangkaian Arab spring beberapa waktu lalu tak benar-benar berhasil di negara-negara Arab. Berbeda dengan revolusi atau reformasi di belahan dunia lain.
Perang antar kelompok masyarakat di sebuah negara Arab pasca Arab Spring bahkan disebabkan hal sesepele perang Basus. Disebabkan monyet yang usil. Lalu bunuh-bunuhan terjadi. Berkembang jadi perang antar kelompok masyarakat.
Sesama negara Arab juga perang. Saudi, misalnya, telah menempatkan Yaman dalam bencana kelaparan karena perang yang mereka gelorakan. Hal di atas belum ditambah persoalan Palestina.
Lalu siapa yang sejatinya kebagian rahmat dari diutusnya Nabi?
Saya kira, bangsa Indonesia termasuk di antaranya. Persebaran Islam di Indonesia (nusantara) selalu dibangga-banggakan oleh dosen-dosen dakwah saya dulu selama kuliah di Libya. Tanpa pedang, katanya. Juga sering menjadi bukti bahwa Islam memang bisa disebar lewat jalur perdagangan.
Lalu, sebagaimana kita tahu, bangsa kita menjadi negara di Timur Jauh dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal bangsa kita, disebut oleh Nabi-pun rasa-rasanya tidak. Yang populer di pepatah-pepatah Arab itu Tiongkok, bukan Indonesia.
Maka, sungguh wajar jika bangsa Indonesia sangat bersyukur dengan kelahiran Nabi. Melebihi bangsa-bangsa Arab sendiri. Mungkin ada rasa psikologis kecipratan rahmat paling banyak dari kehadiran Nabi. Perayaan Maulid yang marak jadi salah satu buktinya. Mungkin negara Arab yang levelnya sama dalam perayaan maulid dengan negara kita adalah Libya era Qaddadi dulu.
Kita syukuri ini sebagai wujud kecintaan kita pada Muhammad SAW. Bonusnya, tanggal merah. Allahumma sholli wasallim alaih