
Mudik Ramadan dan Idul Fitri menjadi sebuah katarsis bagi masyarakat Indonesia. Keduanya memiliki hubungan lebih dari sekadar perjalanan religius, tetapi juga jadi momentum sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Kita tahu pada 17 Agustus 1945, bangsa ini sedang menjalani ibadah puasa Ramadan.
Itulah sebabnya, mudik Ramadan dan Idul Fitri senantiasa disambut dengan gemuruh dan gegap gempita yang melahirkan tradisi khas. Kekhasan di sini adalah sebuah nuansa religi yang menjadi simbol spiritual bagi lahirnya sebuah bangsa yang adil dan kuat, serta mampu mengakomodasi kerukunan, kesejahteraan dan keunikannya sendiri di masyarakat.
Saya menyebut “keunikan” mengacu pada catatan sejarah.
Siapa sangka dalam sejarah mudik Ramadan, pemerintah Indonesia pernah membikin peraturan unik.
Pasalnya, pada 1996, ketika masyarakat hendak mudik ke kampung halaman masing-masing, negara berpesan agar masyarakat selalu membawa kondom. Sebuah alat kontrasepsi yang digunakan laki-laki untuk mencegah kehamilan dan penularan penyakit menular seksual (PMS).
Saat itu, Menteri Negara Kependudukan/Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional Haryono Suyoni, mewanti-wanti masyarakat agar mematuhi peraturan atau pesan dari pemerintah, yakni membawa kondom. “Kalau mudik jangan lupa bawak pil dan kondom,” sebut Menteri Haryono (Historia, 2025).
Pesan ini barangkali terdengar “nyeleneh” dalam ukuran publik hari ini. Tapi dulu, pesan itu dianggap suatu hal yang sangat penting dan tidak menjurus ke hal-hal asusila. Ini karena, pada saat itu, negara Indonesia sedang menggodok program unggulan Keluarga Berencana.
Bahkan apabila pemudik saat itu lupa membawa kondom, Menteri Haryono telah menyediakan di pos-pos emergensi di tempat strategis di jalan-jalan.
Menteri Haryono, sebagai orang yang bertugas mengawal demokrafi Indonesia sejak 1983 melakukan tugasnya secara cermat bertenaga. Dia mengklaim bahwa program KB telah berhasil mengajak sekitar 15,3 juta pasangan usia subur menjadi peserta KB. Dia bahkan secara rutin mengkampanyekan pemakaian kondom kepada para suami-suami di seluruh Indonesia. Karena inilah Menteri Haryono dijuluki sebagai “Menteri Kondom.”
Kekhasan Yang Lain
Kekhasan lain juga terjadi pada mudik Ramadan dan Idul Fitri 2025 ini. Hal ini ditandai dengan persoalan kebangsaan dan negara yang tak terjalin harmonis. Jika Ramadan 1996, aktivis kemerdekaan Republik Indonesia bertarung dengan penjajah supaya merdeka dan akhirnya merdeka. Kini rakyat Indonesia bertarung dengan negara Indonesia sendiri untuk menuntut keadilan agar tidak saling tumpang tindih dalam kehidupan berbangsa dan negara.
Sayangnya tak berhenti di situ saja. Pada Ramadan kali ini kita masih dibanjiri tangis kesedihan oleh masyarakat yang terkena dampak program efisiensi dari negara. Mereka ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal, tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya luntang-lantung. Sekadar pesangon dan THR (Tunjangan Hari Raya) saja mereka tidak mendapatkannya.
Mereka harus memutar otak agar keluarga tetap hidup. Mereka harus mencari cara agar Ramadan, mudik, dan Idul Fitri bisa terlaksana. Banyak dari mereka “berhutang ke sanak saudara, teman, dan bahkan ke pinjol (pinjaman online). Dalam antropologi masyarakat Indonesia, mudik Ramadan dan Idul Fitri di kampung halaman adalah kewajiban, bukan sekadar kemewahan.
Selama Ramadan ini masyarakat tampak lesu. Harapan masyarakat untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan lebaran memudar. Di tengah lonjakan efisiensi anggaran, kebutuhan dapur dan konsumsi masyarakat pada Ramadan ini tidak seperti biasanya.
Sektor ritel, tokoh dan pasar yang biasanya dipenuhi dengan keramaian menjelang Idul Fitri, kini menghadapi kenyataan pahit. Pengusaha ritel, tokoh, dan pasar mengeluhkan penurunan transaksi barang konsumsi yang tidak setinggi edisi Lebaran sebelumnya. Ini karena sepi pengunjung dan rendahnya penghasilan rakyat. Banyak konsumen yang mulai menahan belanja mereka, lebih memilih untuk mengutamakan kebutuhan pokok daripada membeli barang non-esensial.
Fakta ini mencerminkan ketimpangan yang menganga di masyarakat bawah. Data Mandiri Spending Index (MSI), memperlihatkan bahwa pada nilai belanja masyarakat terjadi perlambatan menjelang Ramadan yakni ke 236,2. Belum lagi merosotnya impor barang konsumsi yang turun 10,61% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar US$1,64 miliar pada Februari 2025 (Badan Pusat Statistik, 2025).
Inilah yang menjadikan Ramadan, mudik, dan Idul Fitri sangat jauh dari sebelumnya. Bahkan hasil riset dari Kementerian Perhubungan yang menyebutkan bahwa jumlah pemudik pada Idul Fitri 2025 turun menjadi 146,48 juta jiwa, setara dengan 52% dari populasi Indonesia. Jumlah itu anjlok 24% jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 193,6 juta orang, atau sekitar 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia.
Indikator-indikator di atas menjelaskan bahwa kondisi ekonomi rakyat Indonesia tidak baik-baik saja. Bahkan dalam ukuran masyarakat kelas atas, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk (18/3). Kondisi ini menjadikan Ramadan yang berbeda dan bisa dipersepsikan sebagai lesunya ekonomi masyarakat dan lemahnya sense of crisis pemerintah. Minim respons dan solusi dari pemerintah, justru rakyat diberi tontonan kebijakan “anti rakyat”. Inilah yang menambah rasa ketidakpastian di tengah krisis ekonomi dan kemanusiaan pada Ramadan 2025.
Ramadan Tak Senikmat Tahun Lalu
Apa yang tersisa dari Ramadan kali ini? Ramadan tak senikmat tahun lalu.
Saya melihat, para pemudik tak ramai seperti dulu. Cerita-cerita pemudik (orang kerja di kota besar) bahkan lebih mengenaskan dari orang yang berproses hidup di kampung. Para pemudik ini bukan memberikan kegembiraan yang fantastis buat keluarga di kampung, tetapi justru kesunyatan.
Tentu saja, ramai dan tidaknya pemudik tidak pasti karena faktor ekonomi sedang/tidak lancar. Sebagaimana orang mau suntuk bermaaf-maafan tidak pasti karena merasa jumlah dosa kita besar. Tapi setidaknya, orang mau bermaafan di tengah jumlah dosa nasional, tekanan derita validasi, kesepian sosial atau bahkan keramaian penyakit psikologis yang didapat dari ukuran-ukuran media dan kompleksnya hidup.
Untungnya, mudik dan maaf menjadi penawarnya. Denyut situasi dialektis dan ekstrinsik masyarakat sebegitu muramnya bisa dilampaui dengan kewaskitaan dan makrifat sosiologis Ramadan. Inilah keunikan Ramadan.
Bagi masyarakat Indonesia, mudik Ramadan dan Idul Fitri selalu menjadi alasan perjalanan pulang bukan hanya ke kampung halaman, tetapi juga ke kenangan dan harapan yang tersisa untuk bertahan hidup di tengah gempuran masalah dan berbagai tantangan.
Jika dulu Ramadan dihiasi keunikan dan kelucuan tingkah para pejabat seperti menteri kondom. Kini keunikan itu hanyalah tersisa ketragisan sunyi di antara kebijakan yang kian menjauh dari masyarakat. Dan rakyat harus mencari cara bagaimana mengatasi persoalan-persoalan itu dengan keteguhan dan kebijaksanaan mereka sendiri.
Namun, seperti jalan panjang yang ditempuh pemudik, rakyat selalu menemukan kewaskitaan mengatasi problem itu semua dengan cara pulang: pulang ke pelukan keluarga, pulang ke kehangatan yang tak bisa dibeli, pulang ke kebersamaan yang tetap bertahan, pulang ke ratapan dan evaluasi diri, meski dunia kian tak berpihak. Di tengah lelah dan luka, mereka tetap melangkah, sebab di ujung perjalanan, ada rumah dan keluarga yang selalu menanti.
Selamat Merayakan Idul Fitri!