Ada anakku yang usai i’tikaf bicaranya seperti baru tiba dari Perguruan Kebatinan. “Mudik adalah perjalanan menuju diri sejati”, katanya, “sejatining roso, sejatining jiwo, sejatining sukmo. Itulah sebabnya Kanjeng Sunan Kalijaga menyambung kembali kepala dengan badan Orong-orong, hewan kecil, sesudah terputus tak sengaja oleh pedang beliau. Menyambungnya dengan serpihan kecil kayu jati…”
Aku senang, tapi campur khawatir. “Kok pakai jatining jatining…”, kataku.
“Bahasa Indonesianya Idul fitri adalah kembali ke kesejatian. Jawanya ya jatining jatining itu. Makanya pohon yang paling kokoh, awet, lestari, bertahan lama seakan-akan abadi: dinamakan Kayu Jati. Kayu yang paling ‘sejati’, pohon yang paling dekat ke keabadian. Keabadian itulah yang sejati. Sementara di dunia, dengan Agama Globalisasi, kita menjalani kesementaraan, budaya instan, fast food, segala sesuatu yang serba pendek, sempit dan dangkal. Kita tidak terbiasa mencakrawalai keabadian dan kesejatian, karena hobi kita adalah ketidak-sejatian. Alias kepalsuan”
“Hubungannya sama Orong-orong, apa?”
“Isi utama kepala adalah akal. Isi utama badan adalah hati. Kanjeng Sunan mengajari satu semesteran mudik. Salah satu jalan yang harus ditempuh agar berada di jalan mudik sampai kelak ke Allah, adalah menyambung kepala dengan badan. Mensilaturahmikan Tafakkur dengan Tadzakkur. Harus ada aturan main di dalam diri kita agar pikiran dan hati berjalan harmonis. Perlu ada manajemen agar liarnya hati dan batasan regulasi pikiran bekerjasama membangun harmoni. Harmonis tidaknya bangunan psikologis dalam diri kita berbanding lurus dengan mutu pembelajaran Idul fitri yang kita tempuh”
Segala puji bagi Tuhan, kupikir anak ini tadi klenik-klenik atau syirik-syirik. Ternyata oke semua. Gembira hatiku ternyata 10 hari terakhir Ramadlan terasa benar maknanya.
Seorang anak yang lain bahkan menambahkan: “Yang diungkapkan teman saya itu sedang kami pelajari di Surat An-Nur 35, melalui pemetaan Misykah, Mishbah, Zujajah, Kaukab, sampai La Syarqiyah wa la Ghorbiyah, dan puncaknya Yakaadu zaituha yudli’u walau lam tamsashu naar”
Gawat. Agak minder juga aku di hadapan anak-anak generasi millennial ini. Spektrum berpikir mereka lebih luas, lebih utuh, komprehensif tapi juga detail. Aku generasi jadul harus meluaskan hati untuk mensyukuri kemajuan mereka. Terutama harus buang rasa dengki yang selama ini dipakai untuk mengganjal laju kreativitas dan kemajuan berpikir generasi muda.
“Kapan-kapan saja ya kalian uraikan yang zujajah-zujajah kaukab-kaukab itu”, kataku, “hari-hari ini jajan-jajan dan ikan kakap saja. Sekarang apakah ada tahap-tahap Mudik atau Idul fitri yang lebih sederhana dan sehari-hari, yang orang mendengar saja sudah paham, tanpa perlu mendengarkan…”
Yang menjawab justru si kaukab: “Tahap paling awal dari Mudik adalah belajar kembali menjadi manusia, manusia saja, atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita Menteri, mudik adalah belajar tidak menjadi Menteri. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut Ibu di kampung harus dengan terlebih dulu melepas baju penguasa. Jabatan, pangkat, reputasi, prestasi, status dan macam-macam lagi, adalah pakaian, jas, jaket, dasi, emblem, bahkan banyak yang fitri-nya sekadar bedak, pupur, gincu, kosmetika…”
“Apakah Agama termasuk kosmetika juga?”, aku sengaja menggoda.
“Agama adalah penyempurnaan bahan untuk digunakan agar manusia menjadi semakin manusia. Firman Tuhan dan nilai-nilai yang ditransfer oleh Rasul dan Nabi sangat mendewasakan, mematangkan bahkan memperindah kemanusiaan manusia”
“Tapi banyak kenyataan di mana orang yang jadi manusia saja belum bisa, malah berpakaian Agama untuk menyombongi orang lain…”, aku sengaja mengejar.
“Itu contoh dari Agama sebagai kosmetika, sebagai kostum eksistensi, alat pencitraan, bahkan aset kapitalisasi…”, jawab si kaukab.
Anak ini memang cocok berteman dengan sebelumnya yang jatining-jatining tadi. Mudah-mudahan mereka kelak punya gelar sarjana, syukur S3, Profesor Doktor. Supaya dipercaya kasih ceramah di Masjid Kampus. Lebih sempurna kalau mereka juga Kiai Haji atau Habib, minimal Ustadz, sekurangkurangnya Gus, pakai gamis dan surban, minimal sarung dan peci. Sebab tanpa itu, pemikiran mereka tak akan dipercaya dan diakui oleh ummat dan masyarakat pada umumnya.
“Di hadapan Ibu, Bapak, atau Nenek Kakek dan semua keluarga, kita bukan Menteri dan Penguasa –tak masalah mereka membanggakan jabatan dan kekayaan kita. Tapi kita adalah komponen dari suatu lingkaran cinta yang fitrinya diciptakan oleh Allah. Kita hanya sebuah instrumen dari orkestra kemesraan keluarga. Zaman dulu dalam tradisi budaya dan mentalitas keluarga-keluarga tradisional, salah satu pantangan hidup adalah mencari status. Yang harus diutamakan adalah manfaat. Tetapi sekarang kita mencari status setiap hari, bahkan bisa lima sampai sepuluh kali sehari”
Temannya, si jatining-jatining, rupanya memang partneran sama si kaukab-kaukab ini. “Yang dimaksud Idul fitri atau Mudik atau kembali ke kampung asli, mungkin adalah mengelupas secara bertahap kulit-kulit palsu kita. Manusia hari ini susah dicari, dan ia sendiri susah menemukan dirinya sendiri, karena seluruh eksistensi mereka disembunyikan di dalam casing…”
“Bisa pakai Bahasa yang lebih bersahaja, anak-anak?”, aku menawar.
“Saya coba. Misalnya, kalau diurut dari awal. Tuhan > makhluk Tuhan > hamba atau buruh Tuhan > khalifah atau delegasi Tuhan. Pelaksanaan pendelegasiannya: aku warga negara > aku Boss diriku sendiri, aku pegawai Negara, atau karyawan Perusahaan, aku alat industri, aku sparepart pabrik, dst. Kalau balik ke belakang, alias Mudik: aku anak Bapak Ibu > aku keluarga Arumbinang > aku turunan Adam > aku makhluk Tuhan dst sebagaimana di atas, sampai ke > Tuhan, ilaihi roji’un > tinggal Tuhan sendiri, karena Ia Maha Sejati, sedangkan kita hologram, gelembung animasi”
Aku coba protes setengah iseng: “Ah ya jangan pakai istilah hologram, gelembung animasi, khayal… nanti pejabat pada korupsi, alasannya ‘Aku hanya hologram, korupsi bukanlah sejatinya kenyataan’….”
Kali ini si jatining yang menyahut, dengan tertawa: “Si koruptor itu belum paham hologram. Juga mainstream manusia. Mereka pikir uang, harta benda, gedung-gedung, dan semua yang tampak mata –itulah kenyataan. Koruptor mencuri uang karena menyangka uang itu fakta. Padahal yang fakta adalah keputusan seseorang untuk mencuri atau menahan diri”
Si kaukab melengkapi: “Tema kita ini fitri. Kesejatian. Itulah view-nya Tuhan. Kalau menjalani Idul fitri dan mudik ke Tuhan, satu-satunya jalan ya memakai cara pandang Tuhan. Materi, kekayaan, tumpukan modal, citra, hamparan uang, pangkat, jabatan dua periode, semua yang tampak mata, adalah mata uang yang tidak laku di dalam pola berpikir Idulfitri, yakni di hadapan Allah. Kita ini hidup di hadapan Allah: emang ada tempat selain itu untuk hidup?”. ***
Yogya, 23 Juni 2017
Artikel ini muncul pertama kali di situs caknun.com