Mudik telah menjadi rutinitas tahunan. Lebaran dan mudik seolah merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Terasa ada sesuatu yang kurang (atau hilang) jika melewatkan lebaran tanpa mudik. Setelah sepanjang tahun bekerja di luar kota/luar pulau/luar negeri, mudik menjadi pelepas dahaga.
Ingatan tentang kampung halaman menyeruak dan jadi magnet penarik yang kuat. Mengajak orang-orang untuk sejenak kembali ke asal.Meski hanya setahun sekali dan hanya berlangsung beberapa hari, mudik selalu sarat makna.
Ritual mudik kadang penuh drama dan terasa sentimentil. Mulai dari beburu tiket yang sering kali tak mudah sampai terjebak kemacetan berjam-jam di jalan. Manusia Indonesia rasanya sudah terlatih dalam menghadapi kondisi itu. Perjalanan Jakarta-Solo, misalnya, ditempuh dalam waktu hampir 24 jam dengan bis rasanya tak jadi soal. Demi sebuah perjumpaan dengan sanak saudara di hari lebaran. Demi dapat berkumpul dengan keluarga yang mungkin hanya bisa terwujud setahun sekali. Nahasnya, permasalahan seputar mudik hampir selalu berulang tiap tahun dan mereka seperti tak jera-jera.
Tentu kita berharap mudik tahun ini hal-hal buruk dapat dihindarkan. Semoga kemacetan panjang mengular tidak terjadi lagi, apalagi sampai jatuh korban. Tampaknya pemerintah telah bergerak cepat membuat persiapan. Kita boleh optimis dan menyimpan harapan.
Membicarakan mudik dan macet, saya teringat cerpen Danarto yang berjudul Lailatul Qadar (dimuat dalam kumpulan cerpen Kacapiring terbitan Banana, 2008). Cerpen Danarto itu saya baca beberapa tahun silam, namun ceritanya yang “ajaib” masih melekat di ingatan hingga sekarang. Cerpen Lailatul Qadar sebetulnya adalah cerpen sederhana: “hanya” cerita tentang satu keluarga yang mau mudik dari Jakarta ke Yogya. Tapi bukan Danarto namanya jika tidak bisa mengolah hal-hal biasa menjadi istimewa.
Di cerpen itu, Danarto menggambarkan ritual mudik dengan deskripsi sebagai berikut:
Bagi para pemudik yang punya kendaraan sendiri, seperti Toto dan keluarganya, pulang kampung tidak terlalu mendatangkan masalah. Kalaupun ada kemacetan, mereka bisa mengatasinya dengan mengambil jalur selatan.
Lain halnya dengan mereka yang harus naik kereta api. Mereka mau tak mau mesti antre panjang berhari-hari untuk mendapatkan karcis di stasiun Gambir, Pusat Karcis Jalan Juanda, Stasiun Senen, atau Stasiun Tanah Abang. Mereka tak menghiraukan lagi hikmah puasa. Lapar dan haus telah tersingkir oleh ketegangan perburuan karcis.
Potret mudik seperti yang ditunjukkan Danarto memang sangat khas. Pada suatu masa, antri membeli tiket kereta api lebaran memang menjadi sesuatu yang mengerikan. Antrian bisa sangat panjang dan kita tidak pernah tahu masih tersisa tiket untuk antrian paling belakang atau tidak. Bukan hanya itu, dulu sebelum manajemen pekeretaapian kita diperbaiki, masih dijual “Tiket Tanpa Tempat Duduk”, tiket itu masih dijual sampai kereta berangkat. Walhasil, berdesakan dalam kereta merupakan hal lumrah. Bahkan jika sudah dekat lebaran, untuk duduk di lantai kereta saja susah. Banyak yang sepanjang perjalanan terpaksa harus berdiri. Mengenaskan.
Tokoh Toto di cerpen Danarto beruntung. Karena meski terjebak kemacetan, mereka mendapat “pertolongan” karena mereka tiba-tiba menemukan sebatang jalan panjang yang longgar yang terlihat jelas sekalipun malam gelap gulita. Berkat pertolongan itu mereka bisa sampai kampung halaman meski dengan raut wajah kebingungan. Cerpen diakhiri (dan diawali) dengan gambaran puitis tentang siapa “si penolong” itu: Berkelebat dengan kecepatan cahaya, merangkum ruang panjang. Seluruh jejak diteranginya, tak mengenal bayangan, tak mengenal gelap. Terang benderang wajahnya, merangkai kembang di alur dadanya. Ia mengintai siapa saja yang disayanginya.
Para pemudik mungkin berharap mendapat keajaiban seperti yang keluarga Toto dapat. Dalam beberapa kedip mata mampu melewati jalan panjang dan sampai kampung halaman dengan selamat. Sebetulnya, hari ini pemerintah yang mesti menghadirkan “keajaiban” itu. Mengontrol harga tiket bis agar tidak melambung, merekayasa jalur mudik supaya macet terurai, memastikan jalan yang dilalui pemudik sudah layak dan seterusnya, dan seterusnya.
Sebab, bagi sebagian orang, tidak ada kebahagiaan di penghujung Ramadan melebihi kebahagiaan mudik dan dapat berkumpul dengan keluarga.
Akhirul kalam, selamat mudik. Semoga selamat sampai tujuan. Salam untuk keluarga di rumah.