Mubalig Kondang

Mubalig Kondang

kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan santri sewaktu di Pesantren dan di tengah-tengah masyarakat (masa pengabdian). penasaran juga..?

Mubalig Kondang

KETIKA jauh-jauh hari istriku menginformasikan bahwa di kota kami akan kedatangan seorang dai kondang dari Ibu Kota, aku tak begitu memerhatikan. Waktu itu pikiranku sedang mengembara ke soal-soal lain. Hari ini dia mengingatkan lagi.

"Pak, nanti malam Sampeyan ikut ke kota apa tidak?" katanya sambil mendekati saya yang sedang duduk termenung di lincak*) depan rumah.

 "Ada apa ke kota?" tanyaku malas.

 "Lo, Sampeyan ini bagaimana sih; kan nanti malam ada pengajian akbar?!" dia jatuhkan pantatnya yang tambun ke lincak bambu hingga menimbulkan suara berderak; aku sedikit bergeser sambil berdoa mudah- mudahan lincak kesayanganku tak ambrol.

 "Orang sedesa upyek**) membicarakan dai kondang Ibu Kota yang akan mengisi pengajian nanti malam, kok Sampeyan tenang-tenang saja. Makanya Sampeyan itu jadi orang mbok kumpul-kumpul. Jangan mengurung diri di rumah saja, seperti katak dalam tempurung!" Istriku berhenti sebentar, merogoh dunak di bawah lincak, meraup biji-biji jagung dan menebarkannya ke halaman.

Tak lama ayam-ayam peliharaannya ribut, riuh rendah suaranya, berebut jagung. Disenggolnya pundakku dengan pundaknya sendiri yang gempal hingga aku hampir terjengkang sambil berkata melanjutkan omelannya:

 "Ustaz makin bikin rombongan nyewa colt. Ibu-ibu juga bikin rombongan sendiri. Bu Lurah menyiapkan bus mini dan truk. Tadi saya sudah daftar dua orang. Kalau Sampeyan enggak pergi, biar nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar, mubalignya dari Jakarta. kita mesti datang agak gasik supaya dapat tempat."

Istriku –seperti kebanyakan warga kampong yang lain– mungkin maniak pengajian. Di mana saja ada pengajian –di kota kecamatan atau di desa-desa– dia mesti mendengar dan datang menghadirinya. Saya tak tahu apa saja yang diperolehnya dari pengajian-pengajian yang begitu rajin ia ikuti itu. Nyatanya, kelakuannya –seperti kebanyakan warga kampung yang lain-dari dulu tidak berubah.

Kesukaannya menggunjing orang tidak berkurang. Hobinya bohong juga berlanjut. Senangnya kepada duit malah bertambah-tambah. Seperti juga Haji Mardud yang sering menjadi panitia pengajian itu, sampai sekarang tak juga berhenti merentenkan uang.

Si Salim dan Parman yang rajin mendatangi pengajian juga masih terus rajin merekap togel. Imron itu malah sambil ngaji sambil nggodain cewek-cewek. Lalu apa gunanya pengajian- pengajian itu jika tak mengubah apa-apa dari perilaku masyarakat pengajian? Mubalig kondang dari Ibu Kota? Apa istimewanya?

Mubalig di mana-mana ya begitu itu. Tidak sedikit dari mereka yang Cuma pinter ngomong; ngompor-ngompori; menakut-nakuti; melawak. Ngapusi masyarakat yang awam. Kalau hanya tidak konsekuen –mengajak baik tapi diri sendiri tak bisa melakukannya– masih lumayan. Ini tidak,mengajak baik tapi diri sendiri justru melakukan yang sebaliknya.Menganjurkan hidup sederhana, diri sendiri bermewah-mewah. Menganjurkan kerukunan, diri sendiri provokator.

Bahkan ada yang keterlaluan.Dengan berani menggunakan ayat-ayat Quran dan hadis Nabi untuk kepentingan politik praktis dan menyebar kebencian. Bangga jika agitasinya melecehkan pihak lain –sering kali malah pribadi– ditepuki.

"Hei, Kang!" aku kaget, kembali istriku menyenggolkan pundak-gempalnya ke pundakku, sekali lagi aku hamper terjengkang, "diajak ngomong, malah bengong! Piye? Berangkat apa enggak?"

"Sudahlah kau berangkat saja dengan simbok!" kataku biar dia tidak terus ngomel. Kalau enggak malas nanti aku berangkat sendiri, nyepeda."

"Ya sudah!" katanya agak ketus. Diambilnya lagi segenggam jagung dan disebarkannya ke arah ayam-ayam yang memang seperti menunggu. Lalu bangkit dari lincak, meninggalkanku sendirian lagi.

Alhamdulillah, aku bisa melamun lagi.

***

Menjelang isyak rupanya istriku dan simbok sudah berdandan. Begitu selesai sembahyang langsung rukuh mereka copot dan memperbaiki sebentar dandanan mereka.

"Mau mengaji kok seperti mau mendatangi ngantenan," kataku begitu datang dari surau dan melihat mereka sibuk membedaki muka mereka.

"Cerewet!" kata mereka hampir serempak.

"Kalau makan, ambil sendiri di grobok!" teriak istriku begitu melewati pintu rumah. Dan, ditinggalkannya aku sendirian.

Kudengar keriuhan dari kelurahan yang tak jauh dari rumahku. Pastilah itu ibu- ibu sedang rebutan naik bus mini dan anak-anak-anak muda rebutan naik truk. Dari arah surau juga kudengar kesibukan rombongan mau berangkat ke kota. Mereka yang akan mendengarkan –atau melihat atau sekadar kepingin tahu– mubalig kondang dari Ibu Kota. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi.

Rombongan-rombongan sudahberangkat. Setelah makan, aku rebahkan badanku di balai-balai, berharap bisa tertidur, tapi mata tak mau terpejamjuga. Aku menyesal juga tadi tidak ikut, ketimbang bengong sendirian begini. Kalau bosan dengan pengajiannya, aku kan bisa jalan-jalan, cuci mata. Terpikir begitu, akhirnya aku pun bangkit. Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku, dan kututup pintu rumahku. Kukayuh sepedaku pelan-pelan menuju kota. Aku toh tidak sedang mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai manusia dan yang kudengar hanya sesekali lenguh sapi dan suara jengkerik.

Untunglah listrik sudah masuk desaku. Meskipun lampu-lampu yang terpasang di pinggir jalan hanya jarang-jarang dan tidak begitu terang, cukup membantu juga.

Apalagi lampu berko sepedaku nyalanya byarpet. Bersepeda malam-malam begini, aku jadi teringat Sudin, kawanku di pesantren dulu yang suka mengajakku balapan mengayuh sepeda bila ngluyur bersama. Dia sering dimarahi Pak Sahlan yang menyewakan sepeda kepada santri-santri, karena sering merusakkan sepedanya. Di manakira-kira anak badung itu sekarang? Sudin anak orang kaya kota yang konon sudah putus asa melihat kelakuan anaknya dan terpaksa 'membuangnya' ke pesantren. Sering kali dulu aku ditraktir Sudin nonton bioskop dan makan-makan di restoran. Dan, tidak jarang pulangnya ke pesantren sudah larut malam. Karena sudah berkali-kali ditakzir, dihukum, sebab nonton, aku pun lalu menolak jika Sudin mengajak nonton. Aku malu dengan kawan-kawan santri yang lain. Sudin sendiri sepertinya berpedoman sudah telanjur basah. Karena sudah terkenal sebagai langganan takzir, dia pun cuek. Menganggap takzir sebagai perkara biasa yang tidak perlu ditakuti. Dia tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi juga karena melanggar banyak larangan dan menyalahi banyak peraturan pesantren; seperti berkelahi dengan kawan, membolos, mengintip santri putri, dlsb. Berbagai macam bentuk takzir sudah dicobanya, mulai dari membersihkan kakus; membayar denda; mengisi kulah masjid;dlsb. Rambutnya tak sempat tumbuh, karena sering kena hukuman gundul. Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan mencuri kas pesantren.

 "Eit!" hampir saja aku terjatuh. Akar pohon asam di tepi jalan membuat sepedaku oleng. Untung aku segera bisa menguasainya. Lamunanku buyar. Tapi aku bersyukur, tak terasa kota sudah kelihatan dekat. Di pinggir jalan menuju alun-alun yang kulalui, berderet-deret mobil diparkir. Ada colt, ada bus, dan terbanyak truk.

Rupanya –melihat nomor-nomor polisi berbagai kendaraan itu–mereka yang datang menghadiri pengajian, tidak hanya dari dalam kota. Dari luar kota juga banyak. Dari suara pengeras suara yang sudah terdengar, aku tahu ceramah mubalig kondang sudah mulai. Dua orang anak muda gondrong tiba-tiba menghadangku dan menyeret sepedaku ke sebuah halaman yang di depannya ada papan tulis bertuliskan 'TITIPAN SEPEDA Rp1000'. Untung di kantongku ada persis seribu rupiah. Kuulurkan satu-satunya lembaran uang yang kumiliki itu kepada salah seorang anak muda yang kelihatan tidak sabar.

Aku terus ngeloyor menyibak kerumunan orang di mana-mana. Termasuk mereka yang mengerumuni pedagang-pedagang yang mremo menjual berbagai macam makanan dan mainan anak-anak. Luar biasa. Lautan manusia meluber ke mana-mana. Suara pengeras suarabergaung-gaung ke berbagai penjuru,melantunkan pidato mubalig yang berkobar-kobar dan sesekali menyanyi atau menyampaikan lelucon- lelucon.

Setiap kali disusul dengan gemuruh teriakan dan tepuk tangan hadirin. Dari kejauhan mubalig itu sudah kelihatan, karena panggung yang tinggi dan lampu yang luar biasa terangnya. Entah berapa watt saja.

Hanya beberapa puluh pengunjung di bagian depan, di kanan-kiri panggung, yang duduk di kursi; lainnya lesehan di rerumputan alun-alun. Banyak ibu-ibu yang menggelar selendangnya untuk tidur anaknya yang masih kecil, bahkan bayi. Tapi, aku tak melihat istriku dan simbok. Entah di mana mereka duduk. Aku terus menerobos pelan-pelan dan kadang harus melingkar-lingkar dan berjalan miring di antara pengunjung, agar bisa lebih dekat ke panggung. Semakin dekat, semakin jelas sosok mubalig kondang yang dari kejauhan suaranya menggelegar itu. Ternyata tubuhnya sedang-sedang saja. Yang membuat tampak gagah justru pakaiannya. Dia mengenakan setelan baju koko, tapi tidak seperti yang biasa dikenakan orang di kampungku.

Baju kokonya mengilap, mungkin dari sutra. Di bagian leher dan dadanya ada bordiran kembang-kembang dari benang emas. Sorban yang disampirkan di pundaknya juga tidak seperti umumnya sorban. Warna dan coraknya serasi benar dengan setelan bajunya. Ada dua cincin bermata zamrud dan pirus, besar-besar, di jari-jari manisnya. Penampilan mubalig kondang memang lain dengan mubalig lokal yang biasa kami saksikan. Bicaranya mantap. Gerakan tubuh dan tangannya benar-benar sejiwa dengan isi ceramahnya.

Dan, wajahnya…. Dan, wajahnya…. Nanti dulu. Wajah itu seperti sudah aku kenal. Tapi tak mungkin. Tak mungkin!Masa dia? Tapi persis sekali. Dahinya yang sempit itu, matanya yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu, hidungnya yang bulat itu, mulutnya yang lebar dan seperti terus mengejek itu, dagunya yang terlalu panjang itu, dan telinganya yang lebar sebelah itu, ah tak mungkin lain. Aku tak salah lagi, pastilah itu dia. Sudin! Aku tiba-tiba kepingin mendengarkannya.

"Jadi sekali lagi, Saudara-saudara, maksiat yang sudah merajalela itu harus kita perangi! Juga kenakalan remaja sekarang ini sudah sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi kita yang akan datang bila kenakalan remaja itu tidak segera kita tanggulangi sekarang juga. Kalau di waktu muda malas, apa jadinya bila sudah tua? Kere, saudara-saudara! Kere! 'Tul enggak?!"

"Betuuul!! Kereee!!" teriak hadirin serempak.

"Kalau di waktu muda sudah suka jambret, apa jadinya bila sudah tua. Apa, saudara-saudara? Ko… ko…!"

"Korupsiii!!!" sekali lagi hadirin berteriak menyambutnya, disusul tempuk-sorak gegap gempita.

"Ya, korupsi!" ulangnya berwibawa.

Ah, Sudin, kau masih belum juga bisa fasih melafalkan huruf 'r' sampai sekarang. Memang ajaib. Sudin kawan di pesantren yang tadi baru saja datang di lamunanku, kini –meski juga seperti tidak nyata-berdiri di depanku. Apa tadi itu firasat? Baru dilamun, tiba-tiba ketemu! Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantren langganan takzir. Sudin yang diusir karena mencuri uang kas pesantren.

Ah, siapa mengira kini jadi mubalig kondang seperti itu. Bagaimana ceritanya Sudin sampai memunyai karamah begitu besar? Bagiku itu sungguh musykil. Kalau ini nanti kuceritakan kepada orang-orang kampung –kalau kukatakan bahwa Almukarram KH Drs Samsuddin, mubalig kondang yang baru saja berceramah di alun-alun itu adalah Sudin, kawan nakal saya di pesantren– pasti tak ada yang percaya. Istriku sendiri pun pasti akan menertawakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu saja.

***

*)semacam balai-balai sederhana

**) ribut; sibuk membicarakan