Adalah Mu’adzah al-Adawiyah, seorang perempuan sufi yang sangat tinggi tingkat syauq pada tuhannya. Secara nasab, ia merupakan putri dari Abdullah al-Adawi yang memiliki banyak pengagum di Basrah.
Kabarnya, Mu’adzah al-Adawiyah tidak pernah mendongakkan kepalanya ke atas langit dan tidak pernah makan sesuatu pun pada malam hari, serta tidak pernah tidur pada malam hari. Dengan kata lain, ia selalu berpuasa di siang hari, dan ketika malam hari selalu bermunajat kepada sang ilahi.
Demikian keterangan Margaret Smith dalam buku berjudul “Rabiah the Mystic and Her Fellow-Saint in Islam” yang diterjemah oleh Jamilah Barja menjadi “Rab’iah Pergulatan Spiritual Perempuan”. Buku ini merupakan karya disertasinya di Universitas London, yang subyek utamanya membahas tentang spiritual perempuan sufi khususnya Rabi’ah al-Adawiyah.
Namun selain Rabiah, disebutkan pula beberapa perempuan sufi yang terkenal dengan konsep mahabbah yakni Sya’wanah dan Muadzah al-Adawiyah itu tadi.
Menurut kabar yang beredar, Muadzah hidup sendiri, kendati sebelumnya beliau telah memiliki anak laki-laki dan suami yang meninggal dalam sebuah peperangan. Setelah suami dan anaknya meninggal, Muadzah hidup sendiri dengan perasaan malu pada dirinya sendiri, hingga tidak pernah merebahkan kepalanya.
Banyak sekali orang, khususnya kaum perempuan, yang mengunjungi untuk menghibur. Kepada mereka yang datang, Muadzah mengatakan, “selamat datang, jika kalian datang untuk menghiburku, dan apabila datang untuk tujuan lain, maka pergilah.”
Artinya, jika ingin menghibur kesedihannya maka dipersilahkan. Sebaliknya, jika untuk hal lain, semisal, melamarnya ataupun untuk urusan yang lain, ia segera menyuruh pergi orang tersebut.
Lalu, kegetiran hidup itu membuat Muadzah mengerti tentang gambaran kecintaan pada Dzat yang satu, yakni Allah Swt. Bahkan, diceritakan bilamana Muadzah menjadi terbiasa melakukan salat sebanyak 600 rakaat sehari semalam, dan mengakatan “Aku heran dengan mata yang tertidur, akankah ia tahu berapa lama ia akan terpejam saat di kubur nanti?”
Kemudian salah seorang temannya mengatakan, “tidakkah engkau menyakiti dirimu dengan keadaaan seperti ini?”
“Tidak ada yang sakit pada tubuhku,” balas Muadzah.
Hal itu dipertegas oleh kesaksian seorang bernama Muhammad bin Fudayl: “apabila matahari terbit, Muadzah biasa mengatakan “inilah hari dimana aku akan meninggal,” lalu ia tidak akan memejamkan matanya hingga sore hari. Dan, apabila matahari tenggelam, ia tidak tidur hingga matahari terbit di pagi hari.”
Di titik kesadaran inilah, perlu diketahui bahwa selain para sufi laki-laki yang Allah beri keistimewaan emanasi untuk dekat dengan rab-nya, ternyata kaum sufi perempuan juga memiliki keistimewaan serupa.
Bagi seorang seperti Muadzah, misalnya, waktu adalah emas, yang saking berharganya ia tak ingin ketinggalan sedetikpun untuk bercengkrama dengan Tuhannya.
Dari kisah Muadzah di atas, kita setidaknya jadi mengerti bahwa shalat menjadi tolak-ukur cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Karena salat adalah amal yang di tanyakan pertama kelak di alam kubur. Semoga kita termasuk hamba yang tergolong dalam khusnul khatimah.
Wallahu Wallahu a’lamu bish-shawab.