Kata “ibu” selalu punya konotasi yang baik. Ia lekat dengan istilah-istilah positif seperti kasih sayang, sumber kehidupan, tempat berlindung, dan sebagainya. Konotasi itu hampir sama di mana pun. Di Indonesia kita biasa menggunakannya sebagai personifikasi. Katakanlah, “ibu pertiwi” untuk menyebut bangsa Indonesia atau “ibu bumi” untuk menyebut bumi yang merawat kehidupan.
Dalam tradisi Islam, ibu adalah sosok yang harus diprioritaskan oleh seorang anak. Tiga kali lipat lebih prioritas dibanding sosok ayah. Ibu juga perwakilan Tuhan di muka bumi. Restu ibu untuk anak setara dengan restu Tuhan untuk manusia. Ia adalah orang yang tak boleh disakiti hatinya, entah disanggah, atau bahkan hanya berucap “ck” padanya.
Tapi bagaimana kalau sosok ibu tidak menunaikan tugasnya dengan baik? Lebih ironis lagi, ia malah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Lalu, bagaimana si anak harus bersikap?
Fenomena inilah yang coba dipotret oleh Tatsushi Ōmori dalam filmnya, Mother (2020). Film ini bercerita tentang seorang ibu yang membesarkan anak laki-lakinya seorang diri. Sang ibu, Akiko (Masami Nagasawa) telah bercerai dengan suaminya. Meski begitu, suaminya tak pernah telat memberi tunjangan pada anaknya setiap bulan.
Masalahnya, Akiko tak bekerja. Hidupnya berantakan. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk berjudi dan minum bir. Ia juga suka meminta uang secara paksa pada orangtuanya yang sudah tua. Anaknya, Shuhei (Sho Gunji) harus putus sekolah karena mengikuti gaya hidup sang ibu.
Pada dasarnya Mother atau Mazā (マザー) adalah film Jepang bergenre drama keluarga. Namun harus diakui balutan unsur kriminal dan horor-psikologis di dalamnya sangat kental. Film ini nyaris tak memberi jeda emosi bagi penontonnya.
Sebagai film yang lahir dari rahim budaya Timur yang kuat, Mother cukup berani menciptakan tesis bahwa ibu, orangtua, leluhur, atau ikatan keluarga apa pun tidak niscaya berdiri di atas segalanya. Manusia selalu mempunyai pilihan dan kompromi jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Idealnya begitu. Tapi tidak bagi Shuhei.
Shuhei telah menganggap ibunya sebagai satu-satunya dunia. Ia tak mengerti soal benar dan salah. Satu-satunya yang ia mengerti adalah mengikuti perintah ibunya. Bocah pendiam itu mengira bahwa apa yang menjadi kehendak atau ucapan sang ibu adalah kebenaran mutlak berlandaskan cinta.
Akiko sendiri adalah ibu yang penyayang sekaligus beracun. Di satu sisi, ia rela menjilat darah dan luka di kaki anaknya, tapi sisi lain juga tak segan menyuruh anaknya meminta uang kepada siapa saja untuk makan dan berjudi. Di satu sisi, ia tak pernah memakai kekerasan pada putranya sekali pun, tapi di sisi lain juga tak segan mengerang keras saat bercinta dengan lelaki yang dibawanya pulang tanpa peduli kondisi anaknya. Akiko punya kebenarannya sendiri soal hidup.
Konflik di film ini makin menarik ketika Akiko melabuhkan hatinya pada seorang lelaki yang tak kalah beracun. Berbekal cinta penuh hasrat, dua sejoli itu menjalani hidup dengan banyak manipulasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan lari dari satu masalah ke masalah lain. Muaranya sama: sang anak menjadi korban.
Secara teknis, Mother tak memiliki kendala yang berarti. Film ini saya kira telah matang sejak dari naskah. Transisi adegan yang ditampilkan terasa rapi dan tidak buru-buru. Plotnya mengalir tenang, berpadu dengan komposisi ketegangan yang sesuai porsi. Akting jajaran pemain utamanya juga tak mengecewakan. Meski akting Sho Gunji sebagai anak masih terlampau minim ekspresi, tapi cukup terselamatkan oleh performa Masami Nagasawa yang luar biasa.
Saya kira, film-film seperti Mother perlu hadir di tengah perbincangan budaya kita. Selain untuk memberi perspektif baru tentang dunia yang selama ini telah mapan, media film juga bisa menjadi juru bicara bagi fakta-fakta di lapangan yang dianggap tabu. Masalahnya, seringkali tabu di masyarakat menyimpan banyak borok di belakangnya. Sama halnya kita yang selesai menyapu dan membuang kotoran di bawah karpet, lalu dengan enteng mengatakan rumah sudah bersih.
Selama ini, saya pikir film-film Lebanon dan (garapan para diaspora) Iran adalah sentra kritik pada hal-hal yang dianggap tabu di masyarakat Timur, seperti membincang ikatan keluarga, agama, norma, hingga politik. Ternyata Jepang juga tak kalah berani untuk hal ini.
Selain Mother, setidaknya Lebanon juga punya Capernaum (2018). Film karya Nadine Labaki itu mengambil premis seorang anak 12 tahun yang menuntut orangtuanya di pengadilan karena telah menelantarkannya sejak kecil. Para diaspora Iran yang diasingkan ke Eropa juga membuat karya-karya “mengusik” yang tak kalah kritis. Ali Soozandeh menciptakan Tehran Taboo (2017), drama-animasi yang mengkritik habis standar ganda sebuah negara Islam. Dan masih banyak lagi.
Dalam beberapa adegan di film Mother, Akiko sering melontarkan kalimat, “Mereka adalah anak-anakku. Aku bebas melakukan apa pun yang kumau!” Kalimat tersebut seakan ditampilkan secara radikal untuk membantah tesis Kahlil Gibran hampir seabad lalu. ”Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putera-puteri Kehidupan yang rindu kehidupan itu sendiri,” kata Gibran dalam prosa-liriknya, The Prophet (1923).
Dua sudut pandang dalam menentukan sikap orangtua pada anak ini memang tak pernah ada habisnya dibahas. Melihat banyak kasus yang terjadi, sepertinya orang Indonesia lebih akrab dengan tesis pertama, alih-alih mengamini pernyataan Kahlil Gibran. Kita masih akrab dengan pemikiran-pemikiran seperti: anak adalah aset orangtua di masa tua, masa depan anak bisa dibentuk sesuai cita-cita orangtua, orangtua punya kehendak absolut menentukan mana yang bisa dipilih anak dan mana yang tidak, serta pemikiran-pemikiran lain semacamnya.
Hadirnya film ini bisa berguna sebagai refleksi untuk memikirkan kembali batas relasi kuasa antara orangtua dan anak. Khususnya ibu sebagai pihak yang seringkali dekat dengan anak harus cermat memilah antara egoisme dan hak anak. Selain itu, perlu diketahui pula apa yang perlu dilakukan masyarakat ketika menjumpai seorang ibu yang sama sekali tidak memberi dampak baik pada anaknya, baik secara fisik maupun psikologis.