Apakah intoleransi dan intimidasi memang benar-benar terjadi? Nahasnya, hal tersebut mudah ditemukan di Indonesia beberapa tahun terakhir. Saya mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi di Surakarta khususnya IAIN Surakarta, kampus tempat saya mengajar. Setidaknya ada tiga peristiwa yang terjadi di IAIN Surakarta yang berkaitan dengan gesekan antar kelompok yang merepresentasikan intoleransi dan intimidasi. Peristiwa pertama, yang cukup populer, adalah kasus pelarangan bedah buku
Islam Tuhan Islam Manusia karya Haidar Bagir pada Mei 2017. Sekelompok orang dari Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) dan Majelis Mujahiddin Indonesia ingin bedah buku tersebut dibatalkan lantaran Haidar Bagir dianggap menyebarkan paham Syiah.
Pada akhirnya acara bedah buku tetap berlangsung sementara demonstrasi ratusan massa di depan gerbang kampus juga terus berjalan. Boleh jadi ini merupakan bedah buku paling wah di IAIN Surakarta karena dijaga seribu personel gabungan dari Polres Sukoharjo, Polresta Solo, Polres Wonogiri, Polres Karanganyar, dan Polda Jawa Tengah, ditambah pula dari pihak TNI.
Menghadapi penolakan Haidar Bagir oleh sekelompok massa, saya kira IAIN Surakarta berhasil lolos dari “lubang jarum”. Andaikan bedah buku gagal terselenggara, maka marwah akademik akan tercoreng. Pihak kampus dan penyelenggara juga menggunakan strategi mengajak para penolak bedah buku untuk menjadi narasumber yang sayangnya ajakan tersebut ditolak. Padahal kampus sebetulnya ingin memberikan pembelajaran penting: perbedaan pendapat mari diselesaikan dalam forum ilmiah, gagasan diadu dengan gagasan, bukan intimidasi.
IAIN Surakarta tidak sekali ini saja “direpotkan” dengan isu Syiah. Sebelumnya, pada tahun 2014, ketika akan didirikan Iranian Corner, kampus mendapat protes dan penolakan. Mereka yang menolak antara lain Laskar Umat Islam Solo (LUIS) bersama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami (HASMI). Kelompok-kelompok itu percaya jika Iranian Corner akan menjadi lembaga yang menyebarkan paham Syiah.
Peristiwa lain, yang tak kalah populer adalah heboh disertasi milk al yamin Abdul Aziz dosen di Fakultas Syariah IAIN Surakarta. Menurut pengakuan Abdul Aziz, ia mendapat intimidasi, caci maki, teror, dan ancaman setelah disertasi itu ramai diperbincangkan. Ia bahkan dituduh telah murtad dan disebut sebagai duta mesum.
Baca: Bagaimana persekusi menimpa Abdul Aziz penulis disertasi Milkul Yamin
Teror bahkan menyasar keluarga Abdul Aziz via medsos, yang membuat anaknya secara psikologis terganggu. Tak berhenti di situ, Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) juga menemui jajaran rektorat IAIN Surakarta dan meminta Abdul Aziz dipecat karena dianggap menyesatkan.
Selain dua peristiwa yang menyita perhatian publik, terdapat peristiwa intimidasi berkedok tabayun terhadap dosen IAIN Surakarta, disebabkan tulisannya di islami.co dianggap menyinggung sekelompok orang pengurus sebuah masjid di Yogyakarta.
Empat orang pengurus masjid masuk begitu saja ke ruang dosen tanpa ada janji sebelumnya. Lalu, mereka mencari dosen penulis esai yang dianggap menyinggung dan menulis sesuatu yang tidak benar tentang masjid mereka. Tuntutan mereka: si dosen meminta maaf dan menarik tulisannya. Dengan intonasi pelan tapi menggunakan kalimat intimidatif mereka menekan dosen itu. Tak cukup itu, pernyataan minta maaf dan kesediaan menarik tulisan pun mereka rekam.
Peristiwa intimidasi kepada dosen itu bagi saya tentu saja adalah sesuatu yang tidak sehat. Bagaimana bisa suatu kelompok bisa dengan mudah menekan dan mengintimidasi kelompok lain hanya karena tidak sepakat dengan sebuah pemikiran. Lebih-lebih semua itu terjadi di kampus. Tradisi tulisan dibalas tulisan tampaknya bukan milik kita. Kebiasaan diskusi dengan pikiran jernih dan terbuka antar dua kelompok beda pendapat sepertinya hanya utopia.
Berkaca pada tiga peristiwa itu dapat kita lihat bahwa intoleransi disertai intimidasi dan bahkan persekusi terjadi tidak hanya terjadi pada kelompok minoritas (Tionghoa misalnya), namun juga pada sesama muslim. Kejadian itu mungkin mengingatkan kita bagaimana Coki-Muslim dipersekusi lantaran video memasak daging babi dengan kuah kurma. Sekelompok orang itu seolah berhak “menegakkan kebenaran” versinya sendiri, tidak hanya secara lisan tapi juga dengan tindakan.[1]
Lantas apa latar persoalan dari peristiwa-peristiwa itu? Mengapa sebagaian orang jadi gemar membangun tembok pembatas yang tinggi untuk memisahkan antara “kelompokku” dan “bukan kelompokku”? Apakah karena pilihan politik yang memecah belah masyarakat kita di tahun politik lalu? Boleh jadi hal itu berpengaruh. Tapi jika melihat peristiwa-peristiwa di IAIN Surakarta itu sebenarnya tidak secara langsung berkaitan dengan politik praktis, pilpres misalnya.
Mungkinkah ini disebabkan oleh segolongan orang di masyarakat kita yang semakin konservatif dan puritan serta menguatnya politik identitas?
Pada konteks IAIN Surakarta, memang mesti dilihat betapa kompleksnya Surakarta. Di kota kelahiran Jokowi itu kita bisa menemukan MTA, NU dan Muhammadiyah, juga Pesantren Al-Mukmin Ngruki dan Pesantren Al-Muayad, sementara PDIP jadi partai pemenang dengan suara besar (Puan Maharani caleg dengan perolehan suara terbanyak). Surakarta dipimpin seorang walikota non muslim (yang didemo DSKS karena dituduh membuat ornamen berbentuk salib di depan balaikota Surakarta). Surakarta juga kental dengan kebudayaan Jawa yang dijaga salah satunya oleh keraton. Di tengah kemajemukan masyarakat, dimungkin munculnya kelompok-kelompok yang menginginkan kemurnian, termasuk dalam hal agama. Direpresentasikan oleh DSKS dkk yang “menolak Syiah” dan disertasi milk al yamin.
Yanwar Pribadi meneliti pengajian di perumahan kelas menengah dan sekolah Islam di Serang, Banten. Di sana ia menemukan adanya kebencian yang terbentuk, ditujukan kepada non Muslim serta kelompok muslim yang berbeda pandangan. Kebencian pada praktik-praktik keagamaan Islam Nusantara misalnya, dengan memberi label bid’ah dan tak berdasar. Juga menganggap pengajian sendiri yang paling benar dan pengajian lain salah.
Oleh karena kenyataan itu, sebagaimana disampaikan Vedi Hadis, Indonesia bisa menjadi contoh bahaya munculnya kekerasan agama dan intoleransi, terutama karena kegiatan kelompok-kelompok main hakim sendiri yang menggunakan agama untuk membenarkan mereka.
Tindakan main hakim sendiri, jika terjadi begitu masif dan dibiarkan saya kira menjadi ancaman serius masa depan demokrasi Indonesia, apalagi jika mengatasnamakan agama. Kasus penolakan Haidar Bagir, Abdul Aziz dan Iranian Corner semestinya tak lagi terjadi. Meskipun secara jumlah kelompok yang intimidatif dan intoleran ini tidak banyak, namun mereka tergolong lebih nekat dan lebih galak dibanding kelompok moderat-toleran. Bagaimanapun negara mesti hadir dalam kasus-kasus seperti ini. Penegakan hukum adalah kunci.
Selain itu, penguatan moderasi agama harus terus dilakukan, bukan sekadar jargon yang diulang-ulang. Terutama kita perlu memberi perhatian lebih kepada lembaga pendidikan. Para pendidik dan pengajar, baik di sekolah maupun di kampus, sudah semestinya menjadi agen moderasi beragama. Agar kelak anak didik mereka tidak menjadi pelaku sweeping yang merusak diskotik di bulan Ramadan, melarang bedah buku, atau mengintimidasi penulis esai yang tidak sepemikiran dengannya.
[1]Berita-berita mengenai heboh penolakan Haidar Bagir dan Abdul Aziz terdokumentasi di web Islam model ini. Seperti dapat terbaca pada:
Buat Disertasi Seks di Luar Nikah, DSKS Minta IAIN Surakarta Pecat Abdul Aziz,
Temui Rektorat IAIN Surakarta, MUI dan DSKS Tolak Kedatangan Haidar Bagir