Mohammad Adnan lahir pada hari Kamis Kliwon, 1306 H, yang bertepatan tanggal 16 Mei 1889 Masehi, di kampung Kauman di tengah-tengah kota Surakarta, Jawa Tengah. Pada masa kecilnya ia memiliki nama lain, yaitu Mohammad Shauman. Memasuki pendidikan pertamanya, Mohammad Adnan mengenal huruf-huruf Al-Qur’an (huruf Arab) bersama ayahnya sendiri.
Pada waktu itu belum banyak sekolah yang mengajarkan baca tulis dan huruf Al-Qur’an. Sehingga Mohammad Adnan mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah. Ketika ia mendirikan sebuah Sekolah Bawaleksana (khusus putri), Madrasah Tarbiyatul Islam (pendidikan anak yatim) dan Madrasah Syar’ah (khusus putra) ia aktif menekuni karir pendidikannya dalam menularkan ilmu-ilmu agama.
Selain aktif berkecimpung di lembaga pendidikan, Mohammad Adnan juga aktif di lembaga hukum dan menjadi Hakim Agama di Peradilan Agama Islam Surakarta. Saat itu, Mohammad Adnan menjabat sebagai anggota Pengadilan Agama di Surakarta pada tahun 1919–1921. Setelah itu, beliau menjabat sebagai seorang penghulu di Pengadilan Negeri Surakarta.
Karirnya terus meningkat, selanjutnya pada tahun 1941–1951 beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi. Sehingga beliau menjabat sebagai Ketua Fakultas Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta tahun 1951.
Ketika Mohammad Adnan diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Fiqih, ia menyampaikan pidato pengukuhannya berjudul ’Ilmu Fiqih dan Ushulnya’. Judul pidato ini kemudian diterbitkan oleh PTAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta pada tanggal 26 September 1956. Selain itu, Muhammad adnan juga menulis banyak buku, salah satu buku yang popular dikalangan akademik yaitu berjudul “Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi”
Perkembangan dunia penafsiran Al-Qur’an di wilayah Jawa tentu sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial dan budaya Jawa. Bahasa-bahasa lokal, seperti Jawa, Sunda, dan Melayu, yang dibalut dengan aksara Arab. Hal ini menjadi salah satu ciri khas tersendiri bagi pembelajaran dunia pesantren yang ada di Jawa.
Hal tersebut bisa kita lihat dari karya-karya tafsir yang ditulis menggunakan aksara Jawi maupun Pegon, secara umum lahir dalam latar dan audien pesantren tersebut. KH. Soleh Darat, KH. Ahmad Sanusi, KH. Bisri Mustafa, dan KH. Misbah Zainul Mustafa adalah para penulis tafsir Al-Quran berbahasa Jawa yang hidup dalam tradisi masyarakat pesisir pesantren dan mengabdikan dirinya di dunia pesantren.
Tafsir Al-Quran Suci Basa Jawi Karya Mohammad Adnan merupakan sebuah tafsir Al-Quran yang menggunakan bahasa lokal Jawa. Jadi kitab Tafsir Al-Quran Suci Basa Jawi Karya Mohammad Adnan, pertama kali awal terbit di tahun 1924 dengan tulisan huruf Arab Pegon. Ketika itu beliau berumur 40 tahun. Kemudian di tahun 1953, beliau menulis kembali terjemahan berbahasa jawa. Akan tetapi, tidak sampai selesai dan masih berupa naskah-naskah yang tersebar hingga pada akhirnya dikumpulkan kembali kemudian dibukukan dengan model penulisan yang sama, tanpa mengurangi sedikitpun kata dan kalimatnya.
Di dalam tafsirnya, Mohammad Adnan menjelaskan arti dan judul surat Al-Qur’an, tempat diturunkannya surat, dan menyebutkan berapa jumlah ayat dalam setiap surat. Setelah itu beliau sampaikan juga surat tersebut turun setelah surat apa. Seperti contoh: Surat Ar-Rad (Bledheg), Tinurunake ana ing Madinah.
Dalam penulisan Tafsir Al-Qur’an Suci Bahasa Jawi , Mohammad Adnan menggunakan beberapa sumber, seperti Tafsir Jamal, Kitab I’anatul Thalibin, Wasilatut Thalab, Kitab Makhalli, Kitab Taqrib, Kitab Fathul Qariib, Kitab Khozin-Jamal, Kitab Fathul Bayan, dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Al Itqan fi’ulumil Qur’an.
Adapun corak penafsiran dalam Tafsir Al-Quran Suci Basa Jawi ini salah satunya adalah fikih. Hal tersebut bisa kita lihat didalam salah satu tafsiranya tentang kata Ruku’a. Dalam penafsiran ini beliau menerangkan kata ruku’ dengan “Ruku’a karepe shalata, awit shalat iku nganggo ruku’ yang artinya, ruku’lah, maksudnya sholatlah karena sholat itu memakai ruku’. Penjelasannya adalah di dalam sholat itu ada salah satu gerakan yaitu ruku’ jadi ketika diperintah untuk ruku’ maka otomatis kita juga diperintah untuk mengerjakan sholat.
Sampai sekarang karya Muhammad Adnan masih dapat kita baca dan telaah berkat ketekunan ilmu yang diajarkan. Seandainya para tokoh intelektual muslim Indonesia tidak meninggalkan sebuah karya, melainkan hanya belajar saja, maka yakinlah bahwa satu atau dua abad setelahnya, tidak akan banyak karya-karya lokal yang bertahan dan sedikit sekali yang dapat kita mengerti.
Wallahu A’lam.