Tangannya terentang dan wajahnya menatap lurus ke arah tribun suporter Liverpool. Sejurus kemudian rekan-rekan satu timnya memeluknya erat sambil berteriak sekencangnya. Ederson hanya bisa menatap nanar. Gol yang dilesakkan ke gawang Manchester City itu menghantarkan Liverpool maju ke semifinal Liga Champion Eropa untuk pertamakalinya sejak puluhan tahun silam. Sesaat kemudian ia bersujud. Mungkin sambil berbisik lirih: Maha Suci Engkau yang mengizinkanku mencetak gol demi gol. Sujud itu ditingkahi suara gemuruh dari tribun. Mereka bersorak-sorai kegirangan sambil meneriakkan namanya: Mo Salah.
Muhammad Sholah Ghali, demikian nama lengkapnya. Pemain Liverpool asal Mesir itu kini dipuja bukan hanya oleh penggemarnya tapi juga oleh penggemar sepakbola di seluruh dunia. Ia menjadi pemain Liga Inggris paling subur musim ini. Bahkan bisa jadi di seluruh Eropa. Bahkan Mo Salah menjadi pemain terbaik Afrika 2017 dan baru saja dinobatkan menjadi pemain terbaik musim ini di liga paling komersil di seluruh jagad itu. Di Liverpool ia disanjung setinggi langit lapis ketujuh karena menjadi pemain tercepat kedua dalam sejarah Liverpool untuk hal mencapai gol ke-30.
Mo Salah memang bukan satu-satunya muslim yang bermain di liga Inggris. Manchester United punya Paul Pogba, Riyad Mahrez di Leicester City, N’Golo Kanté di Chelsea, Mesut Özil di Arsenal, di Manchester City ada Yaya Touré, Mamadou Sakho di Crystal Palace, Islam Slimani di Newcastle dan masih banyak lagi. Apa yang membedakannya dengan para pemain muslim lainnya—selain banyaknya gol—adalah cara dia merayakan kegemberaan sesaat setelah melesakkan gol. Mo Salah selalu bersujud, mirip yang dilakukan para pemain timnas Indonesia setelah membuat gol—yang sangat jarang terjadi itu.
Bukan itu saja. Beberapa bulan lalu, tepatnya setelah ia bermain gilang-gemilang dan membawa Liverpool— yang jarang menang itu— bisa mengalahkan Porto 5-0 di laga Liga Champions Eropa, dunia (maksudnya dunia penggemar Liverpool sih..) seperti meledak. Para supporter Liverpool di salah satu tribun tiba-tiba menyanyikan lagu lawas 90an (mungkin karena penggemar Liverpool kebanyakan adalah orang-orang tua angkatan 90an), Good Enough, dengan lirik yang telah diubah menjadi begini:
Mo Sa-la-la-la-la.., Mo Sa-la-la-la-la…
If he’s good enough for you he’s good enough for me.
If he scores another few then I’ll be Muslim too.
If he’s good enough for you he’s good enough for me.
He’s sitting in the mosque that’s where I wanna be.
Sontak dunia kaget. Lagu itu menggema di mana-mana. Internet membawa kabar secepat buraq. Videonya tidak berhenti di youtube tapi merangsek ke ponsel melalui pesan teks. Twitter dan media sosial meleleh. Tentu saja para penggemar liverpool yang paling banyak membagikannya. Kantor-kantor berita seperti BBC dan Al-Jazeera memujinya sebagai ungkapan keterbukaan dan persaudaraan. Tidak kurang dari Aid al-Qarni, penulis buku La Tahzan yang laris manis tanjung kimpul itu, turut memberi pujian dan menaruh harapan agar Mo Salah menjadi “representasi Islam yang baik di Inggris.”
Mumin Khan, CEO Abdullah Quilliam Society Mosque di Kota Liverpool, mengatakan bahwa nyanyian para supporter itu telah memberi sumbangan besar untuk menghancurkan kebencian dan ketakutan, “dan menunjukkan bahwa kita semua adalah satu bangsa.”
Mo Salah mendadak menjadi wakil wajah Arab dan Muslim di Eropa yang bisa mengubah cara pandang orang Barat pada Islam.
Berlebihan? Bisa jadi. Kita sudah sering mendengar tentang kesuksesan olahragawan atau individu tertenu di suatu bidang sebagai duta islam di mata dunia, sebut saja Muhammad Ali di dunia tinju atau Kareem Abdel Jabbar di cabang basket. Mereka juga kerap disebut-sebut bisa mewakili Islam dan menjadi wajah Islam yang baik di mata dunia. Mo Salah ini juga membawa cerita serupa.
Wajah Arab (atau Islam secara lebih luas) di Inggris memang tidak terlalu menyenangkan. Terlebih akhir-akhir ini ketika gelombang kelompok ultra-kanan yang kian menguat. Eropa, terutama Inggris, bukan tempat yang ramah bagi pendatang muslim. Atmosfir politik di Inggris menyumbang cukup besar pada insiden kekerasan terhadap muslim. Demikian pula di wajah sepakbola yang seringkali memang merefleksikan apa yang tengah menjadi suasana kebatinan masyarakat.
Kick It Out, organisasi yang punya perhatian khusus pada diskriminasi dalam sepakbola, menemukan bahwa pada 2018 saja telah terjadi peningkatan diskriminasi sebesar 38% yang mencakup perilaku rasis dan homofobik di Liga Primer Inggris.
Musim lalu, 54% laporan mengenai perilaku supporter adalah terkait rasisme dan 21% terkait insiden berbasis keyakinan. Studi FARE Network (Football Against Racism in Europe) mengenai rasisme yang dilakukan pada kurun musim 2015-2016 dan 2016-2017 menunjukkan bahwa dari 193 insiden rasisme di dunia sepakbola, 34 kasus terjadi di Inggris. Atmosfer kebencian berdasar ras dan agama dalam sepakbola Inggris dengan demikian adalah yang tertinggi di banding negara-negara lain.
Di sinilah Mo Salah menemukan konteksnya. Sujud syukur yang ia lakukan setelah mencetak gol itu diharapkan akan membuat orang tidak membenci Islam. Setidaknya ia bisa menjadi representasi muslim dengan wajah yang baik. Orang—terutama penggemar Liverpool—tentu saja tidak akan membencinya. Ia akan dipeluk hangat. Disanjung dan dipuja.
Mo Salah di sini mewakili “good moslem” atau “good immigrant” di Inggris atau di Eropa secara lebih luas. Muslim yang baik adalah yang memenuhi aspirasi mayoritas, mereka yang tidak merepotkan, tidak bawel, dan selaras dengan cara hidup orang Eropa sebelumnya. Dengan kata lain, muslim yang baik adalah mereka yang menenangkan masyarakat mayoritas dengan menerima nilai dan kebiasaan mayoritas, sementara bad moslem atau muslim yang buruk adalah mereka yang menyebal, yang rewel, yang membawa kebiasaan sendiri, memisah secara budaya dan politik.
Kategori semacam itu bukan barang baru. Sejak abad kolonial para sarjana Barat dengan canggih telah menggambarkan masyarakan muslim di koloni mereka secara hitam-putih semacam itu. Muslim yang “baik” adalah yang mau bekerja sama dengan perusahaan kolonial atau menerima kebiasaan kolonial, sementara muslim yang “buruk” adalah mereka yang menyangkal, memberontak, membuat onar, sehingga mereka harus disingkirkan, dilenyapkan, atau setidaknya dipinggirkan.
Maka nyanyian para supporter Liverpool itu sejatinya menyisakan tanda tanya besar atau bahkan tanda seru. Di dalamnya masih mengidap sejenis kecemasan pada liyan. Betapa penerimaan terhadap liyan, keterbukaan, dan lenyapnya stereotype di dunia sepakbola Inggris atau di tengah masyarakat Eropa masih jauh panggang dari api. Perhatikan saja lirik ini: If he’s good enough for you he’s good enough for me. If he scores another few then I’ll be Muslim too. If he’s good enough for you he’s good enough for me.
Semua diawali dengan “If”, jika. Jika Mo Salah mencetak gol lagi, jika ia bermain bagus lagi. Ia adalah teman kami. Tapi kalau tidak? Bagaimana jika ia tak mencetak gol lagi? Bisa jadi ia akan menjadi bagian dari mereka yang tidak diterima, yang bawel dan rewel, yang harus disingkirkan dan didiskriminasi.
Dalam tarikan nafas yang sama, puja-puji orang Barat kepada negara-negara di Asia yang telah mengembangkan sejenis Islam yang baik dan demokratis tidak selamanya bisa ditelan mentah-mentah, karena barangkali itu serupa saja dengan sorak-sorai dari cara pandang yang salah tadi: engkau baik manakala mampu memenuhi hasrat kami, kamu baik bukan karena demokratis atau menghormati HAM tapi karena kalian bisa menjadi pasar yang gurih, yang menerima dikte, tidak banyak menuntut, dan seterusnya.
Lalu bagaimana dengan gol-gol Mo Salah tadi? Mungkin bisa berguna, setidaknya orang Eropa bisa memahami liyan dengan lebih baik. Tapi berharap Mo Salah seorang bisa menendang Islamophobia dan rasisme dari sepakbola tentu saja itu seperti berharap timnas Indonesia menggondol Piala Dunia. Hil yang mustahal.
Apa yang bisa dicatat dari cerita ini barangkali adalah kenyataan bahwa islamophobia dan ektremisme sejatinya punya dua hal serupa: kebencian pada liyan dan militansi untuk melakukan tindak diskriminasi, termasuk kekerasan. Karena itu sikap beragama yang perlu dikembangkan adalah yang selaras dengan sikap yang menolak segala bentuk dominasi, eksploitasi, diskriminasi, kebencian, dan penindasan.
Sudah begitu saja. Saya tidak ingin berkhotbah. Mari nikmati saja gol-gol Muhammad Sholah…