Beberapa waktu lalu saya tak sengaja melihat postingan seorang kawan di Guinea yang sedang menghadiri training tentang penyakit dan sebab musabab malaria. Kebetulan ia sendiri yang menjadi trainer, dalam posisinya sebagai agamawan lulusan Al Azhar Mesir. Pelatihan ini, sejauh yang saya baca, adalah kerjasama kementrian agama dan kesehatan setempat. Disana ia memberikan training kepada beberapa pemuka agama untuk bersama-sama memerangi malaria.
Bagi saya pribadi, hal ini sangat menarik. Bagaimana para pemimpin agama diajak untuk bekerjasama dan juga diedukasi dalam hal memberantas malaria yg merupakan isu utama kesehatan di Guinea. Seketika, saya jadi ingat ketika beberapa penceramah menyikapi terjadinya bencana alam akhir-akhir ini. Terutama terkait gempa dan tsunami, baik di Aceh, Palu, dan yang terbaru Banten. Narasi yang dikemukakan diulang-ulang. Begitu terus. Dampaknya, tak merubah apapun. Berkaca dari rentetan bencana beberapa waktu lalu, sepertinya kita memang tidak atau enggan belajar untuk mengatasi, atau paling tidak meminimalisir korban sejauh yang kita (manusia) bisa lakukan.
Alih-alih mendamaikan, berempati dan mulai introspeksi diri atas hubungan yang terjalin antara manusia, Tuhan dan alam semesta, narasi yang kerapkali dipakai selalu saja perihal adzab. Ya, adzab. Adzab yang dipercayai terjadi sebagai balasan Allah dari kemaksiatan yang terjadi di tempat-tempat terjadinya bencana.
Hal ini tidaklah melulu salah, juga tidak selalu benar. Namun, belajar untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan lain adalah suatu keharusan. Gempa, tsunami, dan bencana lain di negeri ini bisa dikatakan sebagai sunnatullah, atau hukum alam yang akan terus terjadi, mengingat letak geografis Indonesia yang berada dalam jalur Ring of Fire. Potensi gempa, dan tsunami di negri kita menjadi keniscayaan.
Benar, bahwasanya Allah dalam Al-Qur’an berfirman akan mendatangkan adzab terhadap bentuk-bentuk kemaksiatan yang berkaca dari sejarah nabi nabi terdahulu. Di lain hal, Al-Qur’an juga memberikan statemen berbeda terkait bencana. Bisa jadi hal tersebut adalah hukum alam, atau dalam bahasa agama disebut sunnatullah, seperti halnya ketika Allah menciptakan musim hujan dan kemarau. Siang dan malam. Tidak ada satupun dari kita yang tahu, tentu saja.
Bisa jadi, bencana yang terjadi juga erat kaitannya dengan prilaku manusia sendiri terhadap alam sekitar yang dinilai semena-mena, maruk dan rakus. Maka ada baiknya, segala kemungkinan itu perlu diakomodir dan menjadi renungan bersama untuk diatasi. Dicarikan solusi. Bukan malah memberikan pernyataan yang tidak memberikan manfaat apapun selain kecaman dan prasangka buruk terhadap sesama.
Saya jadi ingat suatu ketika sewaktu ngobrol dengan suami. Ia baru saja bertemu dengan kolega nya yang merupakan seorang pakar dalam bidang Geoscience. Koleganya ini sungguhlah prihatin terkait kebiasaan masyarakat kita yang terlalu percaya penceramah agama tanpa turut mempertimbangkan data-data penelitian perihal kondisi kegempaan Indonesia.
Banyaknya rumor, hoax dan broadcast keagamaan tentang bencana gempa dan tsunami tanpa dasar ilmiah menyebabkan energi masyarakat terkuras tanpa menghasilkan solusi apapun. Dari sini, saya turut membayangkan jika saja para pakar kebencanaan atau pihak terkait melakukan kerjasama dengan para pemuka agama dalam memahamkan masyarakat. Bagaimana sesungguhnya suatu bencana itu bekerja, dan bagaimana solusi terbaik yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi dan meminimalisir terjadinya bencana, serta kemungkinan meminimalisir korban jiwa.
Dari pada melulu berputar pada narasi adzab dan kemaksiatan, ada baiknya jamaah juga diberikan pencerahan baru, sekaligus informasi membangun terkait bencana yang akan selalu mengintai bumi Indonesia. Saling bersinergi antar jajaran masyarakat dan pemerintah adalah salah satu bentuk ikhtiar yang mampu kita lakukan bersama sebagai wujud syukur atas akal dan usaha sebagai makhluk Tuhan. Toh, Gusti Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan ragam bentuk ikhtiar manusia. Tujuannya, bersama-sama mengedukasi masyarakat akan bencana alam sejauh yang kita bisa kerjakan.