Dalam sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, konon, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad sangat mencintai bangsa Indonesia.
Ceritanya begini. Satu waktu Sayyid al-Maliki berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Tiba-tiba, di tengah rapalan kalimah thayyibah para peziarah, Sayyid al-Maliki mengalami konsisi spiritual yang tidak biasa terjadi bagi manusia biasa. Bahasa teknis agama menyebutnya dengan istilah mukasyafah. Sayyid al-Maliki melihat Rasulullah SAW berikut jubelan manusia di belakangnya.
“Siapakah gerangan—orang-orang di belakang Anda tersebut—, ya Rasulullah?” tegurnya.
“Mereka adalah orang-orang dari sebuah bangsa yang sangat mencintaiku, dan begitu sebaliknya,” jawab Sang Rasul dengan sumringah.
Makin penasaran, Sayyid al-Maliki melanjutkan, “Dari bangsa manakah mereka, ya Rasulullah?”
“Indonesia,” tukas Nabi Muhammad.
Tersadar dari kondisi kasyaf-nya, Sayyid Muhammad segera melempar pertanyaan kepada segenap rombongan peziarah yang mengikutinya. “Adakah dari kalian di sini yang berasal dari Indonesia? Aku sangat mencintai Indonesia karena Rasulullah mencintai mereka,” tuturnya.
Ini tentu saja kabar baik. Cerita ini masyhur di kalangan pesantren. Meski begitu, bukan tanpa alasan bagi Sang Nabi mencintai bangsa Indonesia. Sehubungan dengan ekspresi cinta terhadap Rasulullah, orang-orang Indonesia memang tidak ada duanya. Ketulusannya tercermin dari menjamurnya forum-forum peringatan maulid Nabi Muhammad.
Di Indonesia, perayaan maulid Nabi bahkan bisa digelar tidak hanya pada bulan Rabi’ul Awwal, tetapi juga sepekan sekali sepajang tahun. Yang terakhir itu biasanya kita dapati di pesantren-pesantren, di mana tradisi membaca maulid Nabi begitu masif saban malam Jumat oleh para santri.
Di level sosial yang lebih luas, masyarakat umum misal, gebyarnya bisa sangat luar biasa. Di Yogyakarta, umpamanya, ada tradisi bernama Sekaten, sebuah even tahunan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Atau, majelis-majelis shalawat lainnya yang secara sporadis maupun rutin menggelar pembacaan maulid Nabi.
Menariknya, tradisi pembacaan maulid Nabi ini tidak eksklusif. Siapa saja berhak dan boleh. Hal ini dapat dibaca tidak saja sebagai upaya untuk meneladani risalah Nabi Muhammad, tradisi maulid Nabi juga merupakan sarana dakwah yang signifikan.
Ringkasnya, dengan tidak adanya batasan pada kelas sosial, kadar ketakwaan, atau jenis gender seseorang, tradisi pembacaan maulid Nabi memungkinkan siapa saja mengenal lebih dalam sosok Nabi Muhammad.
Ironisnya, tradisi ini seringkali disalahpahami oleh sebagian umat Islam. Dipikirnya, pembacaan maulid Nabi adalah ritual bid’ah (mengada-ada karena tidak dilakukan pada masa Rasul), bahkan tidak jarang dituduh sebagai penyelewengan atas ajaran Islam.
Padahal, kalau kita telaah lebih dalam isinya sungguh brilian. Pasalnya, ia tidak saja sarana untuk mendapat pahala sebagaimana telah digaransi oleh Allah dalam Q.S. al-Ahzab: 56, pembacaan maulid Nabi juga bisa dibilang sebagai salah satu medium umat Islam untuk belajar sejarah.
Seperti tertuang dalam kitab al-Barzanji, misalnya, ada begitu banyak pelajaran yang akan kita dapat. Dalam kitab yang digubah Sayyid Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad al-Barzanji ini sekurang-kurangnya ada sebelah “mata pelajaran” yang menarik untuk dintinjau.
Beberapa di antaranya meliputi sejarah kelahiran, nasab Nabi, mula-mula menerima risalah, peristiwa Isra’ Mi’raj, perjuangan dan etika berdakwah Nabi, dan sebagainya.
Itu baru satu kitab tentang maulid Nabi. Sementara, masih ada banyak lagi kitab-kitab yang digubah para ulama dengan topik yang sama.
Di Indonesia, selain kitab al-Barzanji masih ada kitab maulid bertajuk Mukhtasar fi Sirah Nabawiyah atau lebih masyhur dikenal Maulid ad-Diba’i, kemudian Simtud Durar, Burdah, dan masih banyak lagi yang digandrungi masyarakat atau komunitas pengamal shalawat.
Sadar betapa meriahnya puja-puji terhadap Nabi Muhammad di seantero Indonesia, tidak heran manakala Sang Rasul membalas cinta bangsa Indonesia. Atau dengan kata lain, tidak ada istilah bertepuk sebelah tangan untuk cinta kita kepada Nabi.
Dan di atas itu semua, tidak ada yang keliru dengan tradisi maulid Nabi atau shalawatan. Yang kadang jadi soal hanyalah kita yang seringkali terpapar prasangka atas apa yang kita tidak tahu muatan lokalnya. (AN)