Pernah dengar cerita Imam al-Ghazali mendapatkan hadisnya melalui mimpi bertemu nabi? Dikisahkan, setiap Imam al-Ghazali kesusahan untuk mencari hadis dan memverifikasinya, ia selalu berdoa agar mimpi bertemu nabi agar bisa bertanya langsung kepadanya SAW.
Mendapatkan hadis melalui mimpi bertemu nabi seperti dalam kasus Imam al-Ghazali ini mendapatkan berbagai reaksi dari para ulama. Imam as-Suyuthi misalnya tidak menganggap mimpi sebagai salah satu tahammul wal ada’, cara mendapatkan hadis dan menyampaikannya, karena mendapatkan hadis melalui mimpi tidak bisa diverifikasi. Tidak ada yang tahu kebenaran sebuah mimpi kecuali orang yang bermimpi itu sendiri. Berbeda dengan periwayatan langsung, para ulama bisa memverifikasi para perawi dalam rangkaian sanadnya, baik melalui sighat tahammul wal ada’-nya, ke-dhabit-an dan keadilannya, tahun lahir dan wafatnya, serta persinggahannya di suatu tempat yang memungkinkan rawi tersebut bertemu dengan gurunya, dan lain sebagainya.
Baca juga: Apakah Kita Bisa Bertemu Nabi Muhammad SAW Saat Ini?
Berdasarkan hal tersebut, para ulama hadis sepakat untuk tidak mengambil hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para ahli mimpi sebagai bagian dari hadis yang ditulis, dibukukan, bahkan dikanonisasi. Oleh karena itu, kita tidak pernah menemukan hadis-hadis yang diriwayatkan melalui mimpi dalam kitab-kitab hadis, terutama kutub as-sittah.
Bagi orang yang menganggap bahwa mimpi bertemu adalah sebuah kebenaran, biasanya bersandar pada sebuah hadis bahwa saat bermimpi bertemu dengan nabi, maka itu lah nabi, bukan setan yang berubah wajah menjadi nabi. Hadis ini memang bisa kita temukan dalam kitab hadis sahih, termasuk hadis al-Bukhari dan Muslim.
من رآني فقد رآني حقاً
Setiap orang yang mimpi bertemu denganku (Rasulullah SAW), maka ia telah benar-benar bertemu denganku. (al-Bukhari)
Apalagi dalam hadis lain juga menjelaskan bahwa setan tak akan bisa menyerupai nabi.
من رآني في المنام فقد رأى الحق، فإن الشيطان لا يتمثل بي
Setiap orang yang mimpi bertemu denganku (Nabi Muhammad) lewat mimpi, maka telah benar-benar melihatku. Karena setan tidak akan mampu menyerupai wajahku.
Dua hadis ini pun, bagi ulama hadis tidak bisa dimaknai sembarangan. Ulama hadis, seperti Ali Mustafa Yaqub mengkritik orang-orang yang memaknai hadis ini dengan letterlijk. Menurutnya dalam “at-Thuruq as-Sahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyah”, hadis di atas harus difahami bersamaan dengan hadis-hadis setema yang lain.
Misalnya, ada hadis lain juga yang menjelaskan bahwa ketika mimpi bertemu nabi, maka seorang bertemu nabi dalam keadaan bangun.
من رآني في المنام فقد فسيرآني في اليقضة
Nah, karena ada hadis ini, maka hadis di atas tidak bisa berdiri sendiri. Bagi Kiai Ali Mustafa Yaqub, hadis ini menjadi penjelas bagi hadis sebelumnya. Imam Ibnu al-Arabi dalam Aridah Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, sebagaimana dikutip Kiai Ali Mustafa Yaqub, menjelaskan setidaknya ada empat redaksi terkait hadis mimpi bertemu nabi: 1) fa qad ra’ani fil yaqdah (maka telah melihatkan dalam keadaan terbangun); 2) fa qaf ra’ani haqqan; 3) fa sayarani fil yaqdah (maka akan melihatku dalam keadaan bangun); 4) la kaanama ra’ani fil yaqdah.
Baca juga: Doa Ketika Mimpi Buruk
Bagi Kiai Ali Mustafa Yaqub, tiga redaksi pertama dianggap isykal. Menurut, Kiai Ali, bagi para sahabat nabi, yang tiap hari bisa bertemu nabi, maka ia pun bisa dipastikan bisa memverifikasi mimpinya. Karena ia sudah bisa melihat langsung bagaimana rupa dan tampang nabi. Namun, bagi orang yang belum pernah bertemu dengan nabi, bagaimana bisa ia memverifikasi bahwa yang ia temui adalah benar-benar nabi? Padahal ia sama sekali tidak pernah bertemu nabi. Bagaimana jika setan berpura-pura menjadi orang tertentu, lalu ia mengaku sebagai nabi. Setan memang tidak bisa menyerupai wajah nabi, namun ia bisa menyerupai wajah orang lain dan mengaku sebagai nabi.
Berapa banyak orang yang murtad hanya karena mimpi bertemu nabi. Padahal Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang dihampiri cahaya yang mengaku Tuhan saja tidak ia terima, karena Tuhan nggak pernah memerintahkan keburukan.
Untuk itu lah, bagi para ulama hadis, mimpi bertemu nabi dan meriwayatkan hadis dari jalur itu tidak bisa diakui dan diverifikasi. Dalam hal hadis ini, memang ulama agak ketat dan cenderung rasional. Karena hadis erat kaitannya dengan istinbath (cara menggali) hukum. Jika hadisnya salah, maka bisa jadi salah juga hasil penggalian hukumnya.
Walaupun demikian, kita tidak bisa menghukumi orang yang mengaku mimpi bertemu nabi sebagai penipu. Kita memang tidak bisa memverifikasi materi mimpinya, namun kita bisa memverifikasi orang yang bermimpi. Jika ia benar-benar orang yang jujur, tidak pernah berbohong, dan tidak salah dalam menghafal, sebagaimana syarat-syarat seorang yang meriwayatkan hadis (adil, dhabit) maka bisa jadi mimpinya benar. Jika ia tidak memiliki kriteria tersebut, apalagi seorang politisi yang gemar berbohong, maka tak perlu didengar dan anggap saja seperti bualan-bualannya yang lain.
Dalam hal mimpi bertemu nabi, bagi sufi adalah sesuatu yang mungkin. Bagi sufi, orang-orang yang dapat mimpi bertemu dengan nabi adalah orang yang hatinya bersih.(AN)