Manuver Trump, presiden Amerika Serikat mengundang kontroversi. Trump mengungkapkan kebijakan mendukung Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel. Benjamin Netanyahu, petinggi politik Israel tersenyum. Warga Palestina menangis, dunia Islam gempar. Beberapa pemimpin negara, membalas Trump dengan kecaman.
Menariknya, pemerintah Saudi Arabia, mendukung langkah Presiden Donald Trump. Arab Saudi dikabarkan mengajukan prakarsa perdamaian Israel-Palestina dengan menawarkan Abu Dis—sebuah kota dekat Jerussalem Timur—menjadi Ibu Kota Palestina. Usulan ini ditawarkan pihak Arab Saudi, pada sebuah pertemuan diplomatik, akhir November 2017 lalu. Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman mengajukan proposal tersebut, ketika Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, berkunjung ke Riyadh (CNNIndonesia, 07/12/2017).
Presiden Joko Widodo bergerak cepat dengan mengutus Menteri Luar Negeri, Retno L Marsudi untuk melakukan lawatan diplomatik. Jokowi juga mendorong negara-negara OKI untuk serius memikirkan nasib Israel. Langkah Jokowi ini penting dianalisa, mengingat kritikan tajam kepada Presiden selama ini dianggap tidak memihak kelompok Islam. Dengan langkah diplomatik yang cepat dan taktis, Jokowi memperbaiki citranya di kalangan islamis negeri ini.
Namun, ada yang menarik. Ketika semua kelompok Yahudi dianggap mendukung kebijakan untuk menjadikan Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel, ternyata ada narasi lain dari kalangan generasi muda. Milenial Yahudi di Amerika, mengungkapkan betapa narasi konflik Israel-Palestina sudah terlalu menjemukan.
Riset Steven Cohen (Universitas Uni Ibrani) dan Ari Kelman (Universitas Bintang Daud California) tentang persepsi orang Yahudi terhadap Palestina, cukup mengagetkan. Ternyata, meski mayoritas Yahudi di Amerika mengidentifikasi diri sebagai pro-Israel, namun lebih 40 persen yang berusia di bawah 35 tahun, percaya bahwa Israel telah mencaplok Palestina. Sedangkan, lebih 35 persen mengaku malu dengan tindakan Israel.
Benjamin Resnick, mengungkap narasi yang berbeda, di tengah gerakan Yahudi masa kini. Resnick merupakan generasi milenial Yahudi, yang tumbuh besar di Amerika. Resnick tercatat sebagai murid sekolah Rabbi di Seminari Teologi Yahudi Amerika, di New York. Ibunya, mendapatkan master sejarah Yahudi, yang saat taat dengan teologi. Sejak kecil, Resnick mendapat asupan pengetahuan, sekaligus doktrin, tentang teologi Yahudi.
“Saya katakan pada ibu, jika tengah membuat survey membedakan reaksi orang muda dan tua. Keduanya, bereaksi berbeda pada permohonan Palestina, agar diakui sebagai negara berdaulat di Perserikatan Bangsa-Bangsa,” ungkap Resnick, yang dilansir TIME (29/9/2011).
Sebagai anak muda Yahudi di Amerika, dengan interaksi media sosial dan informasi digital yang berkembang, Resnick punya cara pandang tersendiri. Ia mencoba memahami bagaimana penderitaan rakyat Palestina, di bawah tekanan Israel dan Amerika. Saat Palestina mengajukan usulan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), agar menjadi negara merdeka, Resnick dan beberapa anak muda Yahudi mendukung penuh.
Perbedaan pendapat dengan ibunya, membuat Resnick dilema, ia tahu kondisi psikologis keluarganya sekaligus berusaha menangkap perasaan rakyat Palestina. Ibu Resnick marah besar. “Ini membuat ibuku sangat marah. Dia mendukung kebijakan Amerika, dan akan terus membela Israel,” ungkap Resnick. Dalam nilai-nilai yang dianut keluarganya, membela Israel merupakan warisan pengetahuan dan tradisi yang tidak boleh dilanggar.
Dalam artikelnya, ‘Can One Be an American Zionist Rabbi?’ (Forwad, 12/07/2011) Benjamin Renick mengungkapkan betapa anak muda Yahudi di Amerika sudah muak dengan konflik. Ia menggambarkan bagaimana isu-isu tentang konflik Israel-Palestina sering diwariskan sebagai doktrin, padahal zaman sudah berubah. Lebih lanjut, ia tetap mendukung dialog antara Yahudi Israel dan Yahudi Amerika, meski ia lebih memikirkan secara hati-hati bagaimana nilai-nilai yang bertentangan dengan leluhurnya, dapat dikembangkan. Pada intinya, milenial Yahudi di Amerika, berusaha mengamplifikasi suara alternatif, yakni upaya perdamaian.
Hanna King, mahasiswa akhir di Swarthmore College, mengkritik kebijakan Benjamin Netayahu yang mengkampanyekan slogan okupasi di Israel. “Netanyahu mengulang klaim bahwa dirinya merupakan representative dari semua kelompok Yahudi,” ungkap King, sebagaimana dilansir TIME (Dana Goldstein, 29/09/2011). Ia tidak setuju dengan ungkapan Netanyahu, yang secara semena-mena mengklaim suara orang Yahudi, atas kebijakannya di Israel.
Di balik narasi panjang tentang bagaimana orang-orang Yahudi di tengah isu Jerussalem, ada narasi-narasi lain, tentang perdamaian. Sebagian generasi milenial Yahudi, sudah muak dengan konflik Israel-Palestina. Mereka mendambakan perdamaian, mereka membangun narasi yang lebih adem [Munawir Aziz].