Manuver Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mendukung penetapan Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel, mengguncang dunia. Dunia politik seakan terbakar dengan pernyataan Trump, stabilitas geo-politik di kawasan Timur Tengah menjadi goncang. Beberapa negara mengutuk keras pernyataan Trump, dan berharap Presiden Amerika itu menganulir keputusannya.
Di Indonesia, pimpinan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, hingga Presiden Joko Widodo sepakat untuk mengecam kebijakan Presiden Trump. Pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah melakukan Konferensi Pers yang menyatakan langkah Presiden Trump merupakan langkah ugal-ugalan, sewenang-wenang dan mengancam keamanan internasional. KH. Yahya C Staquf, Katib ‘Am Syuriah PBNU, mengungkapkan betapa langkah Donald Trump dapat mengganggu stabilitas kawasan, dan memungkinkan percepatan Perang Dunia III.
Manuver Trump tentu saja merupakan bagian dari skenario politiknya, untuk mencipta isu baru dalam lanskap politik internasional. Trump memang dikenal sebagai politisi yang sering membuat manuver, yang berisik di dalam sekaligus gaduh di luar. Namun, di balik kebijakan ini, Trump sukses mendulang simpati dari orang-orang Yahudi di seluruh dunia.
Dari analisa media yang penulis kerjakan, orang-orang Yahudi, baik di Jerussalem, Eropa dan Amerika berterima kasih kepada Trump. Sebagian bahkan menganggap Trump sebagai ‘pemimpin yang diutus Tuhan’. Namun, sebagian lain khawatir dengan langkah Presiden Trump yang akan memicu konflik lebih luas.
Lalu, bagaimana dengan reaksi muslim Indonesia? Pada esai ini, saya lebih fokus untuk melihat manuver Donald Trump, pada dukungan penetapan Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel, sebagai rangkain isu Anti-Yahudi yang sering berkibar di Indonesia. Kampanye anti-semitisme semakin menggelora, dengan kampanye dari kelompok-kelompok yang selama ini menggemakan isu kemerdekaan Palestina, untuk mengamplifikasi gerakan, maupun program filantropi kelembagaan.
Dari riset James Siegel, terungkap bahwa anti-semitisme di Indonesia telah muncul sejak lama, yang terus meningkat pada masa pemerintahan Orde Baru. Riset Siegel, ‘Kiblat and the Mediatic Jew’ dipublikasikan di Jurnal Indonesia (Nomor 69, tahun 2000), Cornel University. Dalam publikasinya, Siegel juga mengungkap bahwa ‘Protocols of the Elder of Zion’ turut membakar kebencian anti-Yahudi, meningkatkan anti-semitisme di beberapa negara. Apa itu Protocols of the Elder of Zion? Sebuah teks yang banyak diacu, dengan narasi bahwa orang-orang Yahudi sedang melancarkan aksi untuk merebut dunia. Teks ini, oleh peneliti, disangsikan kebenaran atau akurasinya.
Di kalangan milenial, anti-semitisme semakin merebak dengan kebencian yang senada terhadap komunis. Yahudi menjadi sasaran kebencian kelompok yang selama ini mengamplifikasi intoleransi. Riset Wahid Foundation, yang digelar pada 30 Maret-9 April 2016 lalu mengungkapkan isu ini secara komprehensif. Dengan mengajak 1520 respon dari 34 provinsi, dengan proporsi umur sekitar 17 tahun, atau sudah menikah. Hasilnya cukup mencengangkan: sebanyak 59,9 responden memiliki kelompok yang dibenci. Dari jumlah ini, sebanyak 92,2 persen tidak setuju jika kelompok yang dibenci itu menjadi pejabat pemerintah Indonesia.
Siapa saja kelompok yang dibenci itu? Kelompok Yahudi menempati porsi ketiga, orang yang dibenci, yakni 10,7 persen. Proporsi ini, lebih tinggi dari kelompok Cina (0,4 persen), dan Syiah (1,3 persen), maupun Wahabi (0,5 persen). Artinya, isu anti-Yahudi yang berhembus dan dihembuskan untuk framing konflik Israel-Palestina, mendapatkan relevansi. Yang lebih aneh, seringkali semua isu tentang Israel, langsung dikaitkan dengan Yahudi. Padahal, belum tentu begitu.
Kelompok LGBT dan Komunis menjadi sasaran kebencian paling tinggi, sebanyak 26,1 persen (LGBT), dan 16,7 persen (komunis). Ironisnya, sebagian besar dari kelompok yang menjadi sasaran kebencian, tidak diperkenankan hidup berdampingan, atau berinteraksi dalam keseharian. Sebanyak 82,4 persen tidak rela jika anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga.
Dari laporan suvey ini, sebanyak 7,7 persen orang bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, serta sebanyak 0,4 persen pernah melakukan tindakan radikal. Angka 7,7 persen itu cukup mengkhawatirkan, jika dikonversi dalam jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, terdapat sekitar 11 juta orang yang bersedia bertindak radikal, yang mayoritasnya anak muda/generasi milenial.
Singkatnya, apapun yang terjadi dalam manuver Israel-Palestina, akan berdampak pada isu-isu domestik di negeri ini. Saya khawatir, ketidakakuratan data dan kesalahpahaman memandang geo-politik Timur Tengah, membangkitkan sentimen anti-Yahudi di negeri ini, sesuatu yang sering dilebih-lebihkan dengan bungkus pelbagai macam teori konspirasi [Munawir Aziz].