Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini menolak sertifikasi halal untuk Mie Gacoan. Di sejumlah kota besar Mie Gacoan saat ini sedang naik daun dan menjadi daya tarik bagi sobat kuliner.
Untuk diketahui, nama brand Mie Gacoan pertama kali dibuat pada tahun 2016 dan pertama kali beroperasi di Kota Solo pada 2018. MUI menolak memberi sertifikasi halal pada Mie Gacoan karena nama brand-nya tidak memenuhi kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Mie Gacoan dianggap menggunakan nama yang mengarah pada kebatilan atau keburukan. Pertama, nama “Gacoan” dituding memiliki arti “taruhan”. Nama itu dinilai tidak etis karena menjurus pada hal-hal yang dilarang agama. Kedua, soal nama produk, seperti “mie setan”, “mie iblis”, “es genderuwo” dan lain-lain. Nama itu dianggap cenderung mengarah kepada kekufuran. Jadi, meskipun bahan yang digunakan halal dan higienis, Mie Gacoan dianggap tidak memenuhi unsur SJH.
Tulisan ini tidak hendak membela pihak Mie Gacoan atau yang semacamnya, melainkan lebih menyorot sikap MUI yang terkesan mengada-ada. Mie Gacoan adalah produk makanan. Karena itu, yang harus diuji kehalalannya adalah soal bahan-bahan yang terkandung di dalam mie, dan seharusnya tidak ada hubungannya dengan nama-nama makanan.
Dalam teori marketing, para pedagang sangat lumrah menggunakan nama-nama gimmick untuk menarik pelanggan. Dengan demikian, nama “mie setan” atau “es genderuwo” hanyalah sekedar gimmick, nama yang sensasional untuk menarik perhatian customer. Jelas tidak ada hubungannya dengan kualitas dan kehalalan makanan.
Pihak LPPOM MUI, misalnya, juga mencontohkan nama produk yang dianggap menimbulkan kekufuran dan kebatilan, misalnya “cokelat valentine”, “biskuit natal”, “mie gong xi fa cai”. Sikap MUI ini nampak menghambat laju UMKM dengan pendekatan nama-nama gimmick seperti itu, karena pada tahun 2024, semua produk F&B (Food & Baverages) wajib bersertifikasi halal.
Penolakan sertifikasi pada Mie Gacoan seolah terlihat salah jalur. Lazimnya, halal dan haram dinisbatkan kepada produk makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. MUI kemudian bergerak lebih jauh dengan juga meregulasi kehalalan jasa pemotongan hewan kurban bahkan hingga sertifikasi halal sebuah kulkas dan ricecooker. Sampai di sini, saya sebenarnya belum menangkap urgensi sertifikasi kehalalan kulkas. Penjelasan terkait materi dalam kulkas yang harus halal karena akan digunakan untuk menyimpan makanan juga tidak cukup meyakinkan saya.
Saya sebenarnya sepakat dengan beberapa poin MUI, misalnya, perihal mengapa harus sertifikasi halal? Kenapa tidak sertifikasi haram saja karena notabene di Indonesia, makanan halal akan jauh lebih banyak? MUI menjelaskan bahwa sertifikasi halal tidak akan pernah disematkan pada produk yang sudah jelas halal, misalnya sayur, ikan, dan produk pertanian. Namun, kehalalan itu diperuntukkan untuk produk yang belum jelas statusnya atau subhat. Di Indonesia sendiri, inovasi kuliner hari ini sangatlah intensif dan masif, sehingga dirasa perlu mengecek bahan-bahan dibalik beragam inovasi itu.
MUI menjelaskan bahwa layaknya dalam suatu proses ujian atau pengujian, sertifikat diberikan kepada orang atau produk yang lolos dalam ujian atau pengujian tersebut walaupun jumlah yang tidak lulus jauh lebih sedikit dari pada yang lulus.
Karena itu, sertifikat halal diberikan kepada produk yang lolos proses sertifikasi halal, bukan sertifikat haram kepada produk yang tidak lolos proses sertifikasi halal. Dalam dunia pendidikan, misalnya, sertifikat kelulusan atau ijazah akan diberikan kepada yang lulus ujian, bukan sertifikat ketidaklulusan kepada yang tidak lulus ujian, walaupun jumlah yang tidak lulus jauh lebih sedikit dari pada yang lulus.
Namun sampai di sini, jelas sertifikasi halal itu untuk produk makanan dan minuman. Saya belum memahami, apa korelasi nama produk dengan perilaku pelanggan. Mungkin pertanyaan naifnya begini, apakah “mie iblis” akan berpengaruh pada mindset dan mental customer sehingga kemudian lebih rawan melakukan kemaksiatan sebagaimana yang dibisikkan iblis? Jika memang ada survei kredibel yang mengatakan demikian, mungkin saya bisa memahami. Namun sejauh ini saya belum menemukan.
Jika pada 2024, semua produk usaha F&B harus sertifikasi, maka tentu ini juga akan mengekang laju usaha orang non-Muslim, yang mungkin akan menggunakan branding yang merujuk pada istilah- istilah agama mereka. Misalnya, “biskuit natal”, “mie paskah”, dan sebagainya. Kebijakan LPPOM MUI ini justru seolah memonopoli pasar untuk tunduk terhadap nilai-nilai Islam yang diregulasi MUI. Menurut saya, meminjam perspektif Ahmet T. Kuru, hal ini juga bisa masuk dalam gejala otoritariansime agama.
Saya tidak mengatakan bahwa nama-nama itu baik dan cocok menjadi nama sebuah produk komersil. Saya sepakat dengan nasihat Ustadz Adi Hidayat bahwa nama membawa keberkahan. Namun, menurut saya, sertifikasi halal itu harusnya tidak perlu masuk ke wilayah-wilayah yang tidak seharusnya, cukup pada yang bersinggungan dengan materi yang masuk ke tubuh manusia saja. Masalah regulasi nama-nama produk, jika MUI tetap ingin bersikap, sebaiknya melalui pendekatan lain saja, bukan lewat jalur regulasi seperti ini. Melakukan dialog dengan owner terkait, misalnya.
Semoga terus maju UMKM Indonesia, semoga tetap maju Majelis Ulama Indonesia.