Mewaspadai Politik Adu Domba KOKAM dan BANSER (Bag-1)

Mewaspadai Politik Adu Domba KOKAM dan BANSER (Bag-1)

Bagaimana KOKAM PP Muhammadiyah dan BANSER NU berusaha dibenturkan

Mewaspadai Politik Adu Domba KOKAM dan BANSER (Bag-1)
Akur ya, Pak. Yuk jaga negeri ini. Picy By Yaqut.id

Pernah suatu ketika, salah seorang kawan saya bertanya kepada saya sehabis dia membaca suatu berita. Berita tersebut berisi kutipan beberapa pernyataan Yaqut Cholil Qoumas (Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor), bahwa gerakan radikalisme atas nama agama saat ini lebih berbahaya dibanding komunisme. Kawan saya tersebut bertanya bukan hendak ingin mendalami pernyataan dan berita tersebut. Tetapi, lebih pada memojokkan saya secara tidak langsung dan seolah-olah ingin berkata, “Tuh, pemuda NU menganggap orang beragama lebih berbahaya dan buruk dibanding orang komunis, bukankah itu keterlaluan?”.

Ya, GP Ansor selama dikenal selalu tampil garang ketika menghadapi radikalisme atas nama agama dan terorisme. Sebenarnya, ada konteks yang seringkali tidak dibaca oleh orang banyak mengenai pernyataan Gus Yaqut tersebut. Hal ini terlihat, ketika saya menemui unggahan berita serupa di salah satu media sosial yang kemudian banyak netizen yang mencemooh GP Ansor dan menganggapnya lebih memusuhi agama daripada komunis. Barangkali itu yang membuat kawan saya kemudian juga turut terpengaruh.

Maksud dari pernyataan Gus Yaqut tersebut perlu dipahami pada konteksnya. Bukan berarti tidak menganggap komunisme berbahaya. Mari kita bandingkan. Jika melihat kondisi saat ini, radikalisme atas nama agama dan terorisme berkembang pesat, baik secara nasional maupun internasional, serta sistematis dan terstruktur. Bandingkan dengan komunisme di Indonesia saat ini, ya saat ini, bukan waktu yang lain. Memang, komunisme sebagai pemikiran tidak akan pernah bisa hilang di muka bumi, akan tetapi gerakan terstrukturnya sudah lama dibubarkan (misalkan, Partai Komunis Indonesia).

Nah, perbandingan setara ini yang perlu dibaca oleh banyak orang. Bahwa, saat ini yang berpotensi merusak kehidupan berbangsa dan bernegara adalah radikalisme dan terorisme. Mengapa? Karena saat ini mereka bukan sekedar berbentuk pemikiran, tetapi sudah melembaga dengan berbagai gerakan dan organisasi serta berjejaring. Berbeda dengan komunisme yang tidak memiliki gerakan terstruktur saat ini. Dan, kita bicara prioritas, mana yang lebih penting dan urgen untuk dihadapi lebih dulu, bukan dimaknai sebagai gerakan radikalisme atas nama agama dihadapi sedangkan komunisme tidak dihadapi.

Jika merunut sejarah ke belakang, GP Ansor (dengan Barisan Ansor Serbaguna – Banser) pun turut berkonstribusi dalam menghadapi komunisme kala melembaga sebagai Partai Komunis Indonesia. Nahdlatul ‘Ulama pun juga turut membentengi pemerintahan dengan bergabung di gerakan Nasakom (Nasionalis, agamis, komunis).

GP Ansor dan Banser selaku gerakan pemuda di Indonesia sejatinya tidak sendiri. Ada gerakan pemuda organisasi Islam lain, akan tetapi saya hanya akan mencontohkan Pemuda Muhammadiyah bersama Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah atau yang seringkali disingkat dengan KOKAM (bukan berarti tidak menganggap gerakan pemuda lain, tetapi kedua organisasi pemuda ini yang seringkali dibenturkan). KOKAM lahir sebagai respons atas gerakan komunisme, sehingga kelahirannya secara resmi tepat satu hari setelah peristiwa Gestapu terjadi, yaitu 1 Oktober 1965.

Beberapa waktu lalu, saya melihat salah seorang kawan saya mengunggah foto logo Milad KOKAM ke-53 dengan tagar “2019 Tetap Anti PKI”. Saya mencoba menelusuri logo tersebut dari sumber lain (salah satunya akun resmi instagram KOKAM), dan sampai saat saya menulis artikel ini tagar itu tidak ada di logo tersebut. Kemudian, saya bertanya kepada salah seorang kawan saya yang mengunggah logo tersebut dan kawan saya tersebut mengklarifikasi bahwa logo tersebut berasal dari KOKAM Jawa Tengah.

Banser dan KOKAM berada di bawah naungan dua organisasi masyarakat dan keislaman terbesar di Indonesia. Maka, tak heran keduanya kemudian turut dalam dinamika sosial dan politik di Indonesia. Bahkan, tak jarang keduanya dibenturkan. Seperti ketika menghadapi isu radikalisme atas nama agama dan komunisme. Meski Banser pernah berkontribusi dalam berhadapan dengan PKI, akan tetapi peran tersebut kurang terlihat dibandingkan dengan KOKAM yang lahir sebagai respons atas fenomena komunisme dan mengusung semangat tersebut sampai saat ini. Terlebih lagi, KOKAM giat mengadakan nonton bareng film G30S/PKI.

Ketika saat ini Banser lebih memprioritaskan menghadapi radikalisme atas nama agama dan KOKAM masih konsisten dengan semangat anti komunisme, maka sikap tersebut hendaknya bukan dimaknai sebagai sikap pada kutub yang berdiri masing-masing. Artinya, fenomena tersebut tidak dapat dimaknai sebagai sikap yang salah satunya lebih baik dibandingkan yang lain.

Saat ini yang terjadi adalah KOKAM dianggap lebih baik dibandingkan Banser karena mengusung tema anti PKI, dan tema tersebut juga diusung oleh kelompok ekstrem kanan yang sedang ingin menguasai pemerintah dan negara. Banser dan KOKAM kemudian dibenturkan. KOKAM diunggulkan karena dianggap tegas kepada komunisme, sedangkan Banser dicaci karena dianggap memusuhi kalangan agama (meskipun radikal dan berpotensi memecah belah). Bahkan, ketika Banser mencoba melindungi masyarakat dari kemungkinan provokasi para pemuka agama yang seringkali mengeluarkan pernyataan meresahkan, KOKAM dibakar semangatnya untuk menghadapi Banser oleh kelompok kanan ekstrem. Banyak bertebaran meme yang menggambarkan KOKAM lebih baik daripada Banser, bahkan dorongan KOKAM untuk menghadapi Banser ketika Banser dianggap mengganggu acara keagamaan (lebih tepatnya, acara keagamaan yang dikhawatirkan mengandung provokasi karena penceramahnya yang sudah terbukti memprovokasi dan memecah belah).

Sikap Banser dan KOKAM yang memilih prioritas masalah yang berbeda hendaknya justru dimaknai sebagai sikap saling membagi tugas untuk fokus pada masing-masing masalah. Artinya, keduanya memilih prioritas yang berbeda lebih pada sikap bersatunya mereka untuk melindungi tegaknya NKRI ini. Bersatu tidak selalu bersama-sama pada satu tempat dan menghadapi satu hal. Bersatu bisa diwujudkan dengan perasaan sama-sama ingin melindungi negara dan bersepakat membagi tugas untuk menghadapi masalah-masalah tersebut. Toh, keduanya tidak benar-benar membatasi prioritasnya. Banser berkali-kali juga menunjukkan sikapnya melindungi NKRI dari komunisme (misalkan, dengan membakar temuan bendera-bendera palu arit komunis), di sisi lain KOKAM juga bersedia menghadapi radikalisme atas nama agama (ditandai dengan partisipasi dan konstribusi KOKAM dalam Apel Kebangsaan Banser-KOKAM di Prambanan 16 Desember 2017 lalu).

Harapannya, kedua ormas yang memiliki sejarah panjang di negeri ini bisa bertahan dari segala upaya adu domba dan provokasi. Karena, bagaimana pun juga, kedua bapak mereka adalah organisasi yang turut berjuang untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan bangsa serta mendirikan negara ini.