[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Play Audio Artikel”]
Memang rada aneh rasanya ketika aku bingung menjelaskan kepada anakku yang lahir di atas tahun 2000, apa itu mesin ketik dengan pita, apa itu video dan kaset dengan pita. Sama bingungnya ketika menjelaskan bagaimana dulu tanpa teknologi delete dan save file orang bisa menulis dan mau membaca buku-buku tebal bermutu, tetapi di zaman orang bisa mengubah kesalahan tulisan cukup dengan beberapa klik dan save orang malah makin jarang membaca apalagi menulis buku tebal. Bahkan tak sedikit pula orang enggan mendalami sesuatu. Maunya serba cepat.
Yang juga agak aneh adalah di zaman ketika media cetak perlahan surut dan orang perlahan-lahan beralih ke medium online, orang malah mudah mengeluh ketika membaca tulisan online yang lebih dari empat atau lima paragraf – “kepanjangan,” katanya.
Dalam hal ini, media sosial menunjukkan satu sisi buruknya. Banjir informasi di media sosial membuat orang cenderung membaca sekilas. Jika ada link di media sosial, orang membaca judul atau ringkasannya, tanpa periksa isinya. Yang lebih buruk, orang mengandalkan “frame” atau prasangka yang sudah ada di kepalanya untuk menghakimi sesuatu secara instan. Ribut melulu jadinya. Tetapi satu keributan itu pernah bertahan lama; perhatian lekas beralih ke isu lain yang datang susul-menyusul. Ribut lagi dengan masalah lainnya.
Orang mendadak menjadi komentator segala bidang, ahli dan analis segala bidang, menjadi laskar segala tahu dan merasa berkewajiban untuk mengomentari dan mengkritik segala hal yang menurut “frame” mereka yang terbatas itu sebagai sesuatu yang salah — padahal barangkali itu hanya sekadar ekspresi ketidaksukaan mereka saja.
Prasangka menjadi kriteria penilaian. Jika berita atau tulisan tampak sesuai prasangkaku, entah itu benar atau tidak, maka akan aku share segera, tanpa perlu check and recheck.
Dunia lalu seolah-olah menjadi hitam dan putih. Seakan-akan hendak mengatakan “kalau tidak pas menurutku, maka pasti salah.” Sebagian dari semua perbantahan itu bermuara pada satu keinginan: “Mestinya yang begini dan begitu itu harus menurut pendapat dan keinginanku.”
Sekarang bayangkan jika “pendangkalan” ini dibawa ke sikap dan pandangan hidup. Orang lebih suka menghakimi keluar, lalu lupa menengok ke dalam. Di luar dirinya, betapa banyak kesalahan yang dilihat; tetapi berapa banyak kesalahan dalam diri sendiri yang kita lihat?
Di mana batas pengetahuan kita untuk tahu diri bahwa banyak hal yang sebenarnya kita tidak tahu, bahwa sebenarnya kita hanya ikut-ikutan, bahwa sebenarnya kita hanya tidak suka lalu membungkus ketidaksukaan kita dengan dalih kritik?
Lalu batas antara kritik berbasis argumen yang kokoh dengan sekadar ungkapan ketidaksukaan tanpa dasar argumen yang kokoh menjadi kabur. Marah-marah dan caci maki pun dianggap kritik. Celakanya, pendangkalan ini pun dibawa ke ranah agama. Berapa banyak orang yang lebih suka mendalami dan menelaah kesalahan orang lain dan situasi ketimbang mendalami dan menelaah kesalahan dan keterbatasan diri sendiri?
Makin banyak orang memiliki apa yang disebut sebagai “smartphone” namun tidak cukup “smart” untuk memanfaatkannya.Kebebasan di Internet dan mudahnya akses informasi membuat seolah-olah dunia dalam genggaman. Padahal yang terjadi adalah makin banyak orang yang justru digenggam oleh dunia melalui smartphone mereka. Media sosial menjadi kerangkeng virtual yang memenjarakan diri kita di balik tirai-tirai prasangka dan kebencian yang nyaris tanpa batas. Misalnya, lihat account facebook remaja, Afi, lalu bacalah komentar-komentar di setiap unggahan tulisan Afi. Kita bisa melihat komentar yang menampakkan apa yang oleh Gus Yahya Kholil sebagai “kebencian transenden,” sebuah kebencian yang tidak pandang bulu dan tidak berperikemanusiaan.
Orang-orang seperti tidak punya waktu untuk belajar mencerna, mendalami, dan menelaah dengan argumen-argumen sehat yang lebih kokoh. Kurangnya tradisi dan semangat membaca mudah membuat orang terombang-ambing dalam pertengkaran gagasan dan pertengkaran keimanan tanpa basis keilmuan yang baik.
Diajak berpikir kritis dan mendalam mereka enggan, karena akal-pikiran jarang digunakan untuk belajar lebih mendalam dan merenung. Mereka lebih suka jalan pintas, sebagaimana orang-orang yang tidak mampu, atau tidak mau, mendalami teks agama lebih suka langsung meloncat dengan mengusung jargon “kembali ke al-Qur’an dan Sunnah,” seakan-akan tanpa belajar dan tanpa petunjuk guru-guru yang mumpuni mereka sudah bisa menguasai ilmu agama sehingga dengan penuh percaya diri berani menghina dan menyesat-nyesatkan para ulama yang telah belajar agama intensif bertahun-tahun di bawah bimbingan ulama-ulama senior yang diakui dunia keilmuan hanya karena pendapat ulama itu tidak sesuai dengan “frame” sempit yang ada di kepalanya.
Demikianlah, dulu sebagian orang menunduk untuk membaca buku dengan tekun berjam-jam setiap hari, juga menunduk untuk belajar rendah hati dan akhlak ke orang lain, serta merenungi diri, muhasabah, secara mendalam; kini smartphone membuat sebagian kecil orang menunduk melihat layar smartphone dan memencet-mencet layar untuk menghakimi orang lain, berbagi provokasi, kebencian, juga hoax dan fitnah.
Orang-orang semacam ini yang dikritik oleh Cak Nun sebagai orang yang “maunya masuk sorga secara instan … tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti ulama, maka saya dianggap ulama.”
Semoga yang “sebagian kecil” orang yang mengalami pendangkalan ini tidak bertambah banyak menjadi “sebagian besar” orang.