Konsep tauhid mengalami transformasi radikal salah satunya melalui pemikiran Abu A’la Al-Maududi. Sekitar separuh abad yang lalu di India. Al-Maududi sendiri tentu dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi di masyarakat India, dalam hal pluralitas sekte keagamaan dan konflik sektarian. Ia memiliki kepentingan untuk mempertegas konsep tauhid sebagai konsep pembeda dengan kelompok-kelompok lain di luar Islam. Hanya saja, ia secara tegas melakukan transformasi konsep tauhid untuk kepentingan politik. Tetapi jelas bahwa transformasi atau pergeseran terjadi dalam memahami konsep tauhid. Ia berambisi dalam merumuskan identitas politik bagi umat Islam di India, di mana konsep tersebut ia gunakan untuk menjadikannya sebagai konsep negara Islam.
Al-Maududi menjabarkan konsep tauhid dalam karyanya berjudul “al-Musthalahat al-Arba’ah fi al-Qur’an” yang terbit pada tahun 1941. Dalam buku tersebut ia menegaskan bahwa tauhid tidak akan bisa berdiri tanpa menjadikannya sebagai (spiriti) hukum dan merebut kekuasaan. Jika tidak, maka ketauhidan seseorang belum dianggap sempurna dan hukumnya syirik. Ia mengatakan, “oleh karena itu, jika pemahaman terhadap tauhid yang demikian ini keliru, maka ia tidak bisa memahami kandungan dan isi Alquran. Akidah dan perbuatan orang yang memiliki pemahaman seperti ini naqish (tidak sempurna) meskipun ia mengimani Alquran. Ia, meskipun mengimani kalimat tauhid, tapi dalam dirinya sedang menyekutukan Allah. Ia dengan ketulusan dan kesungguhannya menyatakan tunduk kepada Allah, tetapi ia juga tunduk pada tuhan-tuhan lain selain Allah”.
Berangkat dari konsep tersebut, Al-Maududi ingin mengoreksi konsep tauhid. Baginya, tauhid harus diaktualisasi menjadi sebuah tindakan. Transformasi tauhid menurut Al-Maududi ini kemudian mengkristal pada konsep pemerintahan sebagai upaya menggerakkan tauhid dari sekadar teori menuju praksis-politis. Dimana menurutnya konsep demikian hanya bisa direalisasikan dalam negara Islam. Dalam karyanya yang lain, “Minhaj al-Inqilab al-Islami”, ia menegaskan bahwa untuk menuju “tauhid hakimiyyah” ini hanya bisa dilakukan dengan pembentukan kekuasaan Islam, meskipun harus dilakukan dengan jalan kekerasan. Sebab, masih menurutnya, Islam menentang pemerintahan-pemerintahan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Ia tidak ragu untuk menggunakan kekuatan perang demi tujuan tersebut.
Kelompok jihadis Salafi ingin mengubah prinsip Tauhid menjadi faktor perpecahan di antara komunitas Muslim. Mereka menggunakannya untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan. Tidak seperti madrasah-madrasah atau sekolah Islam tradisional yang menjadikan tauhid sebagai dasar pembelajaran agama. Menjauhkannya dari intrik-intrik kekuasaan politik.
Bahkan kelompok jihadis salafi ini menabrak lebih jauh untuk menjadikan agama dan kalimat tauhid sebagai sebuah prinsip dasar memusuhi kelompok dan agama lain. Tidak menjadikannya sebagai prinsip dasar untuk membuka diskusi dan ruang dialog bagi kelompok lainnya.
Salah satu pengusung teori ini, Nashr al-Fahd, mengatakan, “Ini adalah kitab Tuhan yang difirmankan oleh-Nya. Sebuah acuan yang harus dipegang dan dijalankan oleh kaum muslim untuk menjalankan hubungan kaum muslim dengan umat lain. Prinsip wala’ dan bara, pembeda antara jalan orang Islam dan orang kafir dalam semua hukum. Bukan atas jalan perdamaian, cinta, dan pergaulan.”
Dan mungkin kita bisa melihat bagaimana keadaan negeri-negeri yang didiami oleh kelompok ini sekarang. Inilah bahaya politisasi makna tauhid. Kelompok ini menjadikan kalimat tauhid sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik. Jangan sampai negeri yang majemuk ini tercerai-berai oleh ulah kelompok yang menjadikan kalimat tauhid sebagai topeng agama demi meraih kekuasaan semata. Bukan sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh para ulama-ulama kita yang menjadikan tauhid sebagai kalimat suci dan menempatkannya sebagai spirit keberagaman.
*) sebagian tulisan ini merupakan hasil terjemahan tulisan Idris Al-Kanburi berjudul “At-Tauhid wa Atsaruhu as-Siyasi fi Fikr Jama’ah at-Tasyaddud ad-Dini”