“Inilah salah satu cara pemerintah menyiksa kami. Mereka tidak ingin populasi Rohingya meningkat. Mereka berkata, ‘Ini bukan negara Anda, Anda tidak berhak untuk bereproduksi di sini’.”
Fatima belum lama memutuskan pindah ke Bangladesh bersama suaminya, Nazir. Sebelumnya mereka hidup di Myanmar dan menikah di sana. Ya, setidaknya pernikahan itu sah menurut hukum Islam. Meski dalam hukum negara, pernikahan mereka adalah tindakan “kriminal”.
“Jika kita ingin menikah di Myanmar, kita harus mendapat izin dari NaSaKa (Pasukan Keamanan Perbatasan),” kata Fatima. “Mereka bilang bahwa kami harus menyediakan foto dan membayar sejumlah uang. Setelah kami membayar, mereka bilang ada masalah pada foto kami dan harus membayar lagi. Kami menunggu sampai satu setengah tahun tapi belum juga mendapat izin.”
Sambil menunggu izin resmi dari negara, Fatima melangsungkan pernikahan menurut hukum Islam. Selang beberapa waktu dia hamil. Semua orang tahu kalau Fatima tengah mengandung anak pertamanya. Hingga saat NaSaKa mencium rahasia kehamilan Fatima, ia disuruh membayar lagi sejumlah uang.
Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya pihak berwenang Myanmar mengeluarkan sebuah Perintah Lokal yang mengharuskan penduduk Rohingya yang menikah supaya mendapat izin resmi dari NaSaKa. Perintah itu dikeluarkan di Negara Bagian Rakhine Utara saja. Pernikahan yang dilakukan tanpa izin sebelumnya dianggap ilegal. Mereka yang tidak mematuhi perintah, terutama laki-laki, akan ditangkap dan dikenakan hukuman sampai 10 tahun penjara.
Peraturan itu juga berlaku pada keharusan membayar masing-masing keluarga calon mempelai kepada NaSaKa. Mereka juga diharuskan menandatangani perjanjian bahwa tidak akan melahirkan lebih dari dua anak.
Fatima melanjutkan, “Pertama, mereka meminta uang dari orangtua suami saya, kemudian mereka juga meminta uang dari orangtua saya. Orangtua saya tidak punya uang, sehingga kami harus membayar dengan memberinya ternak dan tanah kami. Kemudian petugas di sana bicara pada saya, ‘Kamu harus melakukan aborsi. Kalau tidak, kami akan mengirimmu ke penjara.’ Saya tak punya pilihan lain. Saya pun terpaksa aborsi.”
Penderitaan Fatima terus berlanjut dan ia sama sekali tak pernah mendapatkan izin menikah. Anak kedua dalam kandungannya juga harus digugurkan sebab ancaman serupa dari petugas. Saat proses aborsi janin keduanya, suami Fatima tengah ditahan polisi karena tindakan kriminalnya: menikah secara ilegal. Selama di penjara, Nazir terus menerus dipukuli dan disiksa. Hal itu berlangsung selama enam bulan, hingga akhirnya Nazir dibebaskan setelah membayar uang lebih banyak dari sebelumnya.
****
Kisah Fatima adalah satu dari sekian kisah-kisah pahit yang ditulis Greg Constantine dalam bukunya, Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya. Dalam buku jurnalisme fotografi tersebut, Greg menggambarkan Fatima, juga hampir seluruh etnis Rohingya yang sering tak memiliki pilihan selain tunduk pada penghinaan dan konsekuensi berat yang terjadi sepanjang hidupnya. Apa yang dilakukan terhadap mereka merupakan taktik administratif oleh pihak berwenang Myanmar untuk secara sistematis mendiskriminasikan mereka, memeras uang dari mereka, serta menambah elemen kontrol dan ketakutan, dengan tujuan akhir untuk “menendang” mereka keluar dari negara tersebut.
Jika Anda menganggap pemerasan dan paksaan aborsi yang dialami Fatima adalah hidup yang berat, sesungguhnya hal-hal seperti itu adalah makanan saban hari mereka di sana. Beruntung Fatima bukan termasuk korban pemerkosaan tanpa peradilan yang sering kali merusak kondisi kejiwaan para perempuan Rohingya. Pemerintah bisa lebih brutal lagi jika sudah menurunkan militer ke jalan. Nyawa mereka bisa lebih murah ketimbang harga ternak di kandang.
Lantas siapakah Rohingya sebenarnya? Rohingya merupakan kelompok etnis muslim asli yang menetap di wilayah Arakan sejak abad ke-16. Wilayah tersebut saat ini menjadi bagian dari Negara Bagian Rakhine, wilayah Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh.
Sejak sebelum kemerdekaan Myanmar, etnis Rohingya sudah berulang kali dibantai dan berusaha disingkirkan dari wilayahnya. Pada tahun 1942 terjadi pembantaian muslim Rohingya pro-Inggris, di mana sekitar 100.000 muslim Rohingya tewas dan ribuan desa hancur. Tahun 2012, muncul gerakan Rohingya Elimination Group yang didalangi oleh kelompok ekstremis 969, yang bertujuan untuk menghapus kaum Rohingya dari Arakan. Selain menewaskan lebih dari 100 orang, kelompok ini juga memaksa sekitar 140.000 orang untuk tinggal di kamp konsentrasi.
Pada bulan ini saja, pertempuran kembali pecah di Rakhine, di mana sebagian besar warga Rohingya bertempat tinggal. Bentrokan ini menewaskan 89 orang, termasuk 77 warga Rohingya dan 12 orang dari pasukan keamanan Myanmar. Sedangkan sekitar 1000 warga muslim Rohingya lainnya memutuskan untuk melarikan diri dan kebanyakan tertahan di perbatasan Bangladesh.
Ya, sudah berpuluh-puluh tahun konflik yang menyengsarakan etnis Rohingya ini berlangsung, tapi tak ada juga penyelesaian yang konkret. Barangkali kita penasaran, apakah benar-benar tak ada orang baik di Myanmar, barang sedikit saja? Apakah kemanusiaan benar-benar mati di sana? Ke manakah perginya akal sehat pemerintah? Lantas apa yang dilakukan media, akademisi, atau para aktivis?
Dalam sebuah wawancara, Kyaw Win, Direktur Eksekutif BHRN (Burma Human Rights Network), mengungkapkan bahwa media-media di Myanmar begitu menjijikkan. Mereka selalu menyebarkan propaganda. Kaum terpelajar juga banyak yang rasis. Mereka termakan hasutan para biksu yang menyebarkan ajaran kebencian terhadap Rohingya, terhadap Islam.
“Ini bukan originalitas tindakan para biksu. Sebab seperti agama lain, Buddha tak mengajarkan kebencian dan diskriminasi. Biksu-biksu yang ada di Myanmar saat ini kebanyakan adalah orang yang direkrut oleh tentara dan dijadikan Biksu. Mereka mengatakan jika membiarkan umat Islam ada di Myanmar, maka mereka akan merebut kekuasaan, seperti yang terjadi di Indonesia,” kata Kyaw Win.
Ada ideologi yang cukup populer dari Nazi Jerman: Ketika negara dan agamamu diserang, kau akan kehilangan akal sehat. Begitulah yang sedang terjadi di Myanmar. Untuk menjadi warga Myanmar yang baik, kau harus membenci muslim. Jika tidak, kau bukan bagian dari Myanmar. Bayangkan jika semua anak di Myanmar diajarkan ideologi seperti itu, akan menjadi apa mereka sepuluh tahun ke depan?
Saya sendiri percaya, bahwa tidak semua individu di negara berjuluk Tanah Emas itu telah kehilangan akal sehatnya. Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan mahasiswa Myanmar yang sedang berkunjung ke Indonesia. Ia bercerita soal negaranya, dan melakukan otokritik terhadap kebringasan pemerintah serta mayoritas penduduk di sana. Dia sangat beruntung, masih bisa merasakan betapa mewahnya memiliki akal sehat di tengah krisis kemanusiaan. Semoga orang-orang seperti dia kelak bisa berlipat ganda. Semoga.
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat literasi dan aktif di komunitas Islami Institute Jogja.