Sekumpulan ukhti—sebutan bagi para muslimah aktivis dakwah kampus—tampak ceria dan bersemangat, kendati panas terik matahari menyengat mereka.
Selama tiga hari (8, 10, dan 11 Maret 2023) di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), mereka menggelar kampanye “Gerakan Menutup Aurat (Gemar)”. Ini merupakan program kerja tahunan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di kampus-kampus negeri se-Indonesia.
Sebagaimana namanya, kampanye ini dilakukan untuk memberi edukasi terkait pentingnya menutup aurat bagi para Muslimah. Agar menarik perhatian, berbagai games dan hadiah seperti seperti jilbab, gamis, dan kaos kaki gratis telah disiapkan.
Semua orang bisa mengikuti acara ini. Syaratnya hanya satu, yaitu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh panitia mengenai “apa itu aurat, dan kenapa kita (Muslimah) diwajibkan untuk menutup aurat?”
Persis seperti ekspektasi saya, teman-teman perempuan yang tertarik dengan kegiatan ini adalah mereka yang semuanya sudah berjilbab. Dengan mudah mereka menjawab pertanyaan tentang aurat sebagai bagian tubuh yang harus ditutupi.
Dan, alasan kenapa aurat wajib ditutupi oleh seorang Muslimah, mereka menyebut untuk menaati perintah Allah, menghindari dosa, dan melindungi tubuh perempuan dari tatapan/perbuatan melecehkan.
Ketika dua pertanyaan itu dianggap terlalu mudah dijawab, ukhti-ukhti panitia biasanya akan memberikan pertanyaan lanjutan seperti, “apakah kamu punya teman yang belum menutup aurat?”; “Menurut kamu kenapa mereka belum menutup aurat?”; dan “apa yang kamu lakukan sebagai teman untuk mengingatkan mereka agar mau menutup aurat?”
Berbeda dengan dua pertanyaan awal yang bisa dengan mudah dijawab karena membicarakan tentang keyakinan diri sendiri, untuk menjawab tiga pertanyaan lanjutan ini menjadi cukup sulit karena melibatkan keyakinan dan pilihan orang lain.
Kampanye Gerakan Menutup Aurat (Gemar) dari perspektif para ukhti atau perempuan muslim lain yang sudah menutup aurat/berjilbab (in-group/insider) adalah sebuah kegiatan dakwah yang penting untuk ‘saling mengingatkan’ sesama muslim terkait ‘kewajiban’ mereka.
Kampanye ini dianggap bersifat harmless karena dilakukan sama sekali tanpa paksaan. Para ukhti mengajukan pertanyaan, bermain games, dan membagi-bagikan hadiah hanya pada teman-teman perempuan yang mendatangi stand mereka.
Sifat kampanye ini tentu akan jadi berbeda (harmful) jika dilakukan dengan paksaan dan melibatkan stigma/asumsi-asumsi bahwa mereka yang tidak berjilbab adalah perempuan-perempuan yang mengalami degradasi iman, terjerumus pergaulan bebas, atau menyengaja ingin menjadi perempuan nakal, dan oleh karenanya mereka harus dipaksakan untuk menggunakan jilbab sebagai bentuk pertaubatan seperti yang tergambar dalam konten-konten Zavilda TV.
Dari perspektif out-group, kegiatan yang dianggap ‘harmless’ ini dibaca secara berbeda. Ada yang bersikap biasa saja karena merasa kegiatan ini tidak terlalu relevan. Ada juga yang merasa sebal karena kampanye-kampanye seperti ini dianggap berusaha mengurusi pilihan seseorang.
Meskipun begitu, rupanya ada juga yang merasa logika kegiatan ini cukup jenaka. Kegiatan membagi-bagikan jilbab, gamis, dan kaos kaki secara gratis seakan-akan mengasumsikan bahwa seseorang belum menutup aurat karena tidak mampu untuk membeli barang-barang tersebut.
Bagi perempuan yang tidak menjadikan identitas agama sebagai identitas utama (out-group), jilbab adalah simbol keagamaan yang tidak serta merta menjadi satu-satunya penanda keimanan seseorang.
Keputusan untuk berjilbab adalah pilihan personal. Setiap individu memiliki agensi dan otoritas diri untuk menentukan sendiri preferensi-preferensi yang mereka miliki dalam berpenampilan.
Karena itu, upaya untuk memengaruhi bahkan memaksa untuk berjilbab di luar kehendak diri dianggap sebagai bentuk superioritas dan penghakiman bahwa bahwa perempuan yang belum berjilbab tidak lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berjilbab.
Pemikiran bahwa jilbab adalah sebuah pilihan sama sekali berbeda dengan apa yang diyakini oleh para ukhti yang melakukan kampanye “Gemar” tersebut. Bagi mereka yang menjadikan identitas agama sebagai identitas utama—atau bahkan identitas tunggal—jilbab bukan sekadar simbol keagamaan yang bisa dipilih/tidak dipilih, tapi menyangkut iman dan tingkat kepatuhan terhadap Tuhan.
Jilbab adalah sesuatu yang sangat prinsipil dan tidak dapat dinegosiasikan. Oleh karenanya, mereka merasa berkewajiban untuk mendakwahkan kewajiban berjilbab kepada perempuan-perempuan di luar mereka yang masih belum memahami kewajiban ini.
‘Kacamata Identitas’ dan Pandangan atas Dunia
Dominic J. Packer dan Jay Van Bavel adalah professor psikologi Lehigh University. Mereka menulis sebuah buku berjudul “The Power of Us: Harnessing Our Shared Identities to Improve Performance, Increase Cooperation, and Promote Social Harmony” (2021).
Dalam buku tersebut Dominic dan Jay menjelaskan bagaimana identitas bekerja. Katanya, ketika individu mengadopsi sebuah identitas, individu tersebut diibaratkan sedang menggunakan sepasang kacamata yang memfilter pandangan-pandangan mereka terhadap dunia.
Kaca mata ini, menurut Dominic dan Jay, menentukan apa yang penting untuk dilihat dan apa yang aman untuk diabaikan. Sesekali, kacamata ini akan membantu kita super fokus hingga melakukan zoom in jika apa yang dilihat adalah sesuatu yang sangat penting. Di saat bersamaan, ia akan melakukan zoom out bahkan membuat pandangan kita blur jika yang kita lihat adalah sesuatu yang tidak penting.
Yang menjadi filter dalam kacamata tersebut adalah kebiasaan, budaya, dan pemikiran anggota kelompok identitas yang kita pilih. Sebagai contoh, dalam melihat persoalan jilbab, para ukhti menggunakan kacamata mereka sebagai seorang “Muslimah”.
Menurut kacamata tersebut, jilbab adalah hal yang sangat penting sehingga mereka melakukan zoom in pada segala hal yang berhubungan dengan jilbab bagi seorang perempuan. Di saat bersamaan, mereka juga sedang melakukan zoom out pada masalah-masalah lain yang bukan merupakan perhatian kelompok mereka seperti isu-isu feminisme/konsen/pilihan personal.
Sampai sini terlihat jelas mengapa terdapat cara pandang yang kontras terkait jilbab antara para ukhti dengan perempuan-perempuan muslim di luar kelompok mereka. Perbedaan kelompok tempat mereka berada (yang menjadi filter ‘kacamata identitas’) membuat mereka berbeda pandangan meskipun keduanya memiliki identitas sebagai pemeluk agama yang sama.
Memang, tidak ada yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah terkait hal ini. Identitas secara alamiah sering menempatkan kepentingan kelompok (in-group) bertentangan dengan kepentingan orang lain (out-group).
Terakhir, Dominic dan Jay menyoroti terkait ragam identitas berbeda yang dimiliki oleh setiap individu. Ragam identitas ini yang membuat manusia menjadi sangat kompleks ketika memandang dunia karena cara pandang mereka akan berubah bergantung pada kacamata identitas mana yang sedang mereka gunakan.
Para ukhti LDK IPB dan perempuan non-ukhti mungkin berbeda pandangan terhadap jilbab, tetapi sebagai sesama mahasiswa IPB, saya yakin mereka sependapat mengenai kampus IPB sebagai peringkat 3 kampus terbaik di Indonesia versi Webometrics dibandingkan peringkat 5 versi QS World University Ranking.
Identitas Keagamaan Mengarah Gerakan Kekerasan?
Dalam konteks anak muda di Indonesia, agama dianggap sebagai salah satu identitas paling penting bagi diri mereka. Hal ini dikuatkan oleh riset yang dilakukan oleh USAID melalui proyek Harmoni yang berjudul “Pathways of Resilience to Violent Extremism (VE) in Indonesian Higher Education” (2023). Juga, oleh riset IDN Research Institute berjudul “Indonesia Gen Z dan Millenial Report” (2022).
Dua riset tersebut menunjukan bahwa agama adalah hal yang penting bagi anak-anak muda di Indonesia. Agama disebut bukan hanya menjadi petunjuk tetapi juga memberikan makna bagi kehidupan mereka.
Ketika agama dianggap sebagai identitas yang penting, banyak anak-anak muda di Indonesia menggunakan kacamata identitas agama dalam melihat dunia. Dalam riset-riset terkait tingkat intoleransi, anak-anak muda dengan kacamata agama ini dinilai berdasarkan cara mereka merespons kelompok-kelompok agama di luar mereka: apakah mereka bersikap memusuhi atau merasa bisa co-eksisten satu sama lain.
Ketika anak muda menyatakan ketidaksetujuan dengan kelompok berbeda agama (misalnya, tidak setuju mengucapkan selamat natal), sering kali mereka dengan mudah dianggap ‘tidak suka atau malah memusuhi’ kelompok berbeda, tanpa menginterogasi terlebih dahulu filter kacamata identitas yang mereka punya.
Menurut saya, kesimpulan itu cukup gegabah dan bermasalah karena ketidaksetujuan terhadap ucapan selamat natal tersebut bisa jadi diakibatkan oleh, pertama, budaya komunitas yang terlalu homogen; kedua, pengajaran dari lingkungan (orang dewasa) yang terlalu banyak curiga; dan ketiga, ketiadaan ruang perjumpaan dengan kelompok berbeda agama.
Tiga hal itu adalah ‘filter’ yang tidak dibuat secara sengaja oleh anak-anak muda, melainkan terbentuk dari kelompok ingroup yang mereka ada di dalamnya. Dengan kata lain, kita terkadang terlalu cepat mengambil kesimpulan jika ketidaksepakatan atas satu hal langsung dihukumi sebagai sikap tidak suka atau bahkan memusuhi.
Ada satu hal menarik yang saya tangkap ketika membahas tentang identitas keagamaan anak muda di Indonesia. Dalam topik ini, yang selalu berusaha untuk ditelusuri adalah tingkat penerimaan kelompok agama yang satu terhadap kelompok agama lainnya.
Tapi sebagai informasi, dari pengalaman saya melakukan wawancara dengan beberapa anak muda yang terlibat dalam gerakan ekstremisme kekerasan, yang lebih mendorong anak muda untuk terlibat dengan gerakan ekstremis kekerasan sebenernya bukan perasaan benci atau tidak suka terhadap kelompok yang berbeda agama.
Beberapa anak muda yang terlibat dalam gerakan ekstremisme justru disebabkan oleh keinginan untuk memperkuat identitas keagamaan atau memperkuat nilai-nilai ingroup dan perasaan solidaritas terhadap kelompok muslim yang mendapatkan penindasan.
Perempuan muda inisial (N) misalnya, tertarik menjadi pendukung ISIS karena ia merasa bisa menjadi muslimah yang paripurna jika hijrah ke Suriah. Sementara itu, laki-laki muda inisial (F), (I), (T), dan (A), tertarik bergabung dengan ISIS karena merasa ISIS berjuang atas nama agama.
Lebih jauh (I), anak muda asal Banyumas memutuskan untuk menjadi pelaku kekerasan (lone wolf terrorism) didorong oleh kekecewaannya terhadap kelompok islam arus utama di Indonesia yang dianggap tidak berbuat apa-apa untuk membantu saudara muslim yang tertindas di Suriah.
Jadi alih-alih didorong oleh kebencian, ketertarikan terhadap gerakan ekstremisme kekerasan yang muncul dalam diri anak-anak muda justru lebih berdasar pada ‘kepedulian’ yang dimanfaatkan/dimanipulasi sedemikian rupa oleh kelompok ekstremisme kekerasan untuk memperoleh dukungan.
Setelah memahami pentingnya identitas keagamaan, cara kacamata identitas bekerja pada anak-anak muda, serta bagaimana kelompok ekstremisme kekerasan memanfaatkan identitas ini untuk memperoleh dukungan dari mereka, maka semakin penting rasanya untuk menemukan identitas di luar agama yang dapat mendamaikan perbedaan sekaligus bisa mengarahkan solidaritas dan kepedulian kelompok (in-group) dari yang awalnya eksklusif menjadi inklusif.