Sudah menjadi rahasia umum bahwa operasi pemberantasan komunis banyak salah sasaran. Terlebih lagi, operasi tersebut pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM. Dengan dalih tuduhan komunis, seseorang bisa dihilangkan pekerjaannya, status warganegaranya, bahkan nyawanya.
Peristiwa Gerakan 30 September mungkin dianggap monumental, tetapi serangkaian operasi pemberantasan komunis setelahnya memiliki implikasi yang tidak kalah dahsyat. Salah sasaran yang dikombinasikan dengan pelanggaran HAM tersebut sehingga tidak hanya komunis yang lumpuh, tetapi kelompok masyarakat lain yang sejak lama termarginalkan. Kelompok itu secara umum dapat disebut agama lokal atau agama leluhur.
Umumnya, mereka disebut sebagai penghayat kepercayaan. Namun ini seolah-olah menyiratkan bahwa tingkatannya lebih rendah dari agama, suatu kuasi-agama atau bahkan pseudo-agama. Anggapan ini bukan hanya norma tidak tertulis di masyarakat, tetapi bahkan disahkan secara legal. Salah satu pemicunya adalah Gerakan 30 September dan pemberantasan komunis.
Sejak awal, posisi pemerintah Indonesia dan agama memang ambigu. Negara ini tetap berusaha menjunjung agama, menolak sekuler, tetapi juga menolak menjadi negara agama. Bagi sebagian pengamat, ini merupakan jalan tengah khas Indonesia, tetapi bukan berarti posisi ini tidak menyimpan masalah. Dalam pelaksanaannya, ambiguitas ini diwujudkan melalui Departemen Agama yang oleh B.J. Boland dalam the Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982) disebut sebagai benteng terakhir umat Islam, khususnya kaum santri.
Sebelum 1965, Departemen Agama sudah jadi salah satu yang terdepan dalam menentang komunisme dan agama lokal. Samsul Maarif dalam Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (CRCS, 2017) menyebutkan bahwa Agama lokal oleh Departemen Agama ditempatkan dalam posisi yang sangat termarginalkan dengan mendefinisikan agama pada 1952 yang bertumpu pada tiga elemen yakni adanya nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional.
Namun, di masa Orde Lama ini, aliran kebatinan masih mampu memberi perlawanan. Penganut kebatinan membentuk berbagai kelompok seperti Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Islam Sejati, dan Mistik Jawa-Hindu. Pada tahun 1951, Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan memutuskan untuk meleburkan kelompok-kelompok tersebut menjadi Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI).
Setelah 1965, perlawanan usai. Agama lokal disebut dibantu oleh PKI untuk memperoleh kesetaraan dengan agama. Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK), ketika menjadi saksi uji materi UU PNPS 1/1965 di Mahkamah Konstitusi menyebut PKI membela aliran kebatinan saat terpojok akibat gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).
Untuk menghadapi kondisi ini, penganut agama lokal terpaksa bergabung dengan agama-agama besar yang telah diakui negara. Selain takut dituduh komunis, penganut agama lokal juga takut dituduh ateis karena yang mereka anut tidak diakui sebagai agama. Oleh karena itu, banyak penganut aliran kepercayaan yang merasa takut untuk melakukan ritual dengan sembunyi-sembunyi atau bahkan tidak melakukan ritual sama sekali tetapi juga ada penganut aliran kepercayaan yang berpindah keyakinan kepada salah satu agama yang diakui negara.
Dalam suasana yang penuh ketegangan di awal Orde Baru, sebagian besar kelompok kebatinan bahkan berafiliasi ke salah satu dari enam agama yang diakui negara sebagai strategi untuk menghindarkan diri dari tuduhan “belum beragama” yang diklaim sama dengan komunis. Banyak dari kalangan abangan (yang sebelumnya mengidentifikasi diri sebagai Muslim) justru memilih agama Kristen Katolik, atau Hindu. Avery T. Willis dalam Indonesian Revival: Why Two Million Came to Christ (1977) menyebutnya sebagai “Indonesian Revival” dengan bergabungnya 2 juta penduduk Indonesia ke dalam agama Kristen.
Meski kebanyakan catatan menggambarkan pemeluk aliran kepercayaan di Jawa, kondisi serupa juga ditemukan di daerah lainnya seperti masyarakat Karo yang banyak berpindah ke agama Kristen (Mujiburrahman, 2001), masyarakat Sasak yang memeluk Islam Wetu Telu dipaksa memeluk Islam ortodoks (Telle, 2009), dan pemeluk Marapu di Sumba yang beralih ke Kristen (Aritonang dan Steenbrink, 2008, 330).
Ini juga menunjukkan kesalahpahaman kelompok Islam yang mendukung pemberantasan komunis. Alih-alih menghilangkan ancaman, pemberantasan komunis justru membuat umat Islam dipandang buruk. Analisis tajam dilontarkan Alwi Shihab dalam Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen bahwa selain melemahkan komunis, pemerintah Orde Baru juga diuntungkan dengan pelemahan gerakan Islam karena tingginya tingkat konversi agama. Islam menjadi pilihan yang kurang menarik bagi mereka yang dipaksa konversi karena Islam yang memburu mereka.
Di luar itu, pemerintah Orde Baru juga memanfaatkan misi Kristen untuk menerapkan program ekonomi di daerah pinggiran dan untuk meredam kebangkitan Muslim reformis. Terlebih lagi kelompok Kristen juga anti-komunis. Maarif bahkan menunjukkan bahwa aliran kebatinan Jawa yang dekat dengan Golkar yang berkuasa di era Orde Baru memperoleh pengakuan setara dengan agama, sesuatu yang amat ditentang oleh kaum Muslim. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah Orde Baru justru semakin mutlak. Kelompok agama, baik Kristen, kebatinan, maupun Islam hanya dapat aman jika tunduk pada kekuasaan Orde Baru.
Di sinilah umat Islam kala itu berupaya memberi perlawanan. Bukan pada kekuasaan pemerintah Orde Baru, tetapi pada agama lokal. Orde Baru berkompromi dengan meletakkan aliran kepercayaan bukan sebagai agama, melainkan budaya. Meski begitu, penekanan pada unsur monoteistik masih ada. Justru aliran kepercayaan dianggap perlu dibina agar tidak membentuk agama baru. Ini terlihat di butir (f) TAP MPR 1978, “(f) Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama”.
Terlebih sejak 1978, kolom agama dicantumkan dalam KTP. Untuk pengawasan terhadap aliran kepercayaan, pemerintah Orde Baru membentuk Direktorat Bina Hayat Kepercayaan (BHK) pada 5 Februari 1979 yang diubah namanya menjadi Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (PPK) pada 1980.
Di tengah gembar-gembor Orde Baru sebagai penjaga kestabilan, justru kenyataannya sebaliknya. Orde Baru tidak segan menciptakan ketidakstabilan untuk kepentingannya. Pemberantasan komunis menjadi momentum penting untuk melihat kekejaman Orde Baru bukan hanya melemahkan gerakan komunis, tetapi juga agama lokal, menciptakan citra buruk pada umat Islam, bahkan konflik horizontal dengan agama Kristen yang sebenarnya dimanfaatkan pula oleh pemerintah Orde Baru. (AN)