Peristiwa tewasnya seorang suami yang diduga dibakar oleh istrinya di Mojokerto, awal Juni 2024 lalu, memanggil saya untuk membaca kembali referensi terkait peristiwa serupa, termasuk menonton dua film berbasis kisah nyata: kasus Kiranjit Ahliwalia di London-Inggris (1989), dan Francine Hughes (1977) di Michigan Amerika Serikat.
Keduanya, dalam waktu dan di tempat yang berbeda, didakwa telah melakukan pembunuhan berencana. Kedua peristiwa itu, tentu menyulut kontroversi dan debat hebat. Memang, orang tak lagi kaget jika mendengar suami menyiksa istri bahkan jika sampai tewas sekalipun. Namun dalam kasus istri membakar suami, orang bertanya-tanya, bagaimana bisa? Dan itulah yang menjadi pangkal debat.
Seseorang yang terlibat dalam debat di media atas kasus matinya, Mickey Hughes oleh mantan istrinya,Francine Hughes, menjawab dengan sinis ” Siapa itu perempuan yang begitu sadis sanggup membakar suaminya? Lalu ia sendiri menjawabnya ” Ya, itu adalah perempuan yang telah mengalami pelecehan, kekerasan, siksaan selama 14 tahun dalam rumah tangganya, sehingga mengubah perangainya menjadi seorang pembunuh”!
Orang bersilang pendapat soal batas permakluman atas tindakan itu. Satu kelompok mengatakan dapat memahami meski tetap mengakui itu sebuah tindakan kejam. Kelompok lain bersikeras itu merupakan tindakan yang tak terampuni apapun motif dan latar belakangnya.
Kita niscaya sepakat bahwa membakar suami adalah peristiwa kemanusiaan yang mengerikan, brutal dan sadis. Namun, bahwa peristiwa itu berdimensi gender, kita juga tahu.
Norma gender senantiasa memberi ruang maklum lebih luas kepada lelaki untuk melakukan hal-hal ganjil di luar nalar kemanusiaan seperti menyiksa istri secara mental, ekonomi dan fisik.
Tapi ruang maklum serupa nyaris tak pernah ada bagi perempuan. Alasannya sangat esensialis, seseorang yang memiliki rahim sumber kehidupan, yang sanggup bertarung nyawa dengan hamil dan melahirkan, menyusui dan membesarkan anak, sudah seharusnya memiliki lautan kasih sayang, cinta, welas asih dan kesabaran, dan dengan bekal itu mustahil mereka sanggup melakukan tindakan keji dan kejam.
Sebaliknya norma gender telah memberi permakluman lebih kepada lelaki untuk bertindak kekanak-kanakan dengan dalih kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua atau pasangannya.
Secara stereotype misalnya, laki-laki dianggap wajar kehilangan kewarasannya dan bertindak aneh-aneh tatkala “harga diri kelelakiannya” tertantang oleh istrinya yang lebih tangguh termasuk dalam mencari nafkah atau dalam memperoleh penghormatan sosial dari masyarakat. Masih sederet contoh lain yang menunjukkan bekerjanya dimensi gender yang memaklumkan suatu tindakan yang sama dengan penilaian berbeda kepada lelaki dan perempuan.
Namun ada satu hal yang dapat dipelajari dari peristiwa ini yaitu bagaimana dari sebuah peristiwa dramatis di lingkup domestik yang semula dianggap sebagai ruang pribadi, tertutup bahkan sakral, mampu membangkitkan kesadaran baru yang mengubah sistem peradilan dan hukum dalam isu kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Ceramah Oki Setiana Dewi
Sebuah kesadaran kolektif yang mengakui bahwa sistem hukum soal kekerasan ternyata (masih) abai dalam melihat kekerasan di ruang domestik yang berlangsung terus menerus, bersifat eskalatif, dan bisa fatal seperti dalam kasus Kiranjit Ahluwalia ini.
Kiranjit Ahluwalia (lahir 1955) adalah seorang perempuan imigran dari Punjab India yang datang ke Inggris di usia 22 tahun untuk menjalani perkawinan taaruf (hanya berjumpa satu kali lalu menikah) dengan Deepak, imigran lain juga dari India.
Tahun 1989 Kiranjit didakwa telah penghilangkan nyawa suaminya dengan cara membakarnya. Deepak mengalami 40 persen perlukaan di bagian kaki ke atas dan sepuluh hari kemudian tewas.
Kiranjit kemudian diadilili di Pengadilan Inggris. Jaksa menuntut hukuman seumur hidup. Namun setelah dijatuhi hukuman dan menjalani hukuman, di pengadilan banding para pembelanya berhasil membuktikan bahwa Kiranjit telah mengalami penderitaan mental yang luar biasa dari serangkaian KDRT selama bertahun-tahun sejak mereka menikah.
Di salah satu kesaksiannya ia menyatakan “ Saya tak berniat membunuhnya, saya hanya ingin dia merasakan panasnya setrika yang telah ia tempelkan di muka saya, dan saya membakar kakinya agar ia tak sanggup mengejar saya lagi”.
Rupanya di sepanjang perkawinannya ia berulang kali mengalami pelecehan, kekerasan mental, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Dan Kiranjit kerap kali lari dari rumahnya. Namun Deepak dan seluruh sistem sosial di lingkungan para imigran memintanya untuk sabar, tabah, selalu berhasil membujuknya untuk pulang sekedar untuk mendapatkan penyiksaan demi penyiksaan kembali.
Kekerasan berulang itu secara eskalatif telah membentuk lingkaran kekerasan yang makin kejam dengan jarak pengulangan yang semakin pendek.
Baca Juga: Merebut Tafsir: Bagaimana Teks Bekerja Menjelaskan Tafsir Perempuan Islam
Dalam tuntutannya, Jaksa menyebut bahwa dalang dari tindakan kekerasan sang suami adalah sikap istrinya yang provokatif.
Kiranjit semula dijatuhi hukuman seumur hidup dengan dakwaan pembunuhan berencana. Kasus itu kemudian menjadi perhatian sekelompok pembela yang menamakan diri “Southhall Black Sisters” yaitu sekelompok aktivis, para peneliti dan ahli dalam isu KDRT dengan menggunakan Feminist Legal Theory . Mereka berhasil melakukan pembelaan di tingkat banding di tahun 1992 ( tiga tahun setelah dijatuhi hukuman seumur hidup). Hukuman seumur hidup Kiranjit berhasil dibatalkan dan dijatuhi hukuman tiga tahun empat bulan (sesuai dengan hukuman yang telah dijalani).
Peristiwa Kiranjit Ahluwalia adalah buku terbuka dari sebuah peristiwa hukum. Kasus itu telah melahirkan banyak karya akademis seperti buku dan film dokumenter yang kemudian melahirkan film fiksi Provoked (2006). Tahun 2001 Kiranjit mendapatkan penghargaan Asian Women Award sebagai pengakuan atas kekuatan dan pencapaian pribadi serta tekadnya untuk mengungkapkan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai kembang pemanis rumah tangga.
Namun hal terpenting dari peristiwa ini adalah berubahnya pandangan tentang KDRT. Kasus itu telah dicatat dalam buku teks hukum Inggris sebagai R v Ahluwalia yang berhasil mengubah definisi “provokasi” dalam kasus perempuan yang mengalami penyiksaan dalam rumah tangga secara berulang. Kasus itu juga mengenali konsep pembunuhan tidak terencana, bukan pembunuhan yang tanpa sebab dan latar belakang.
Dengan menggunakan buku teks hukum R v Ahluwalia itu dua perempuan lain yang semula dihukum seumur hidup atas pembunuhan kepada suaminya, Emma Humphreys dan Sara Thornton, berhasil dibebaskan karena terbukti mereka mengalami penyiksaan berulang yang eskalatif selama perkawinannya. (bersambung) #Merebut Tafsir #Lies Marcoes #19Juni2024