Sebagaimana sejarah, tafsir atas teks suci adalah milik kaum pemenang. Karenanya tafsir tak (mungkin) relatif. Ia, bersama rezim penafsir yang bekuasa, untuk kepentingannya, untuk legitimasinya senantiasa berpihak kepada kepentingan mereka.
Di masa kerasulannya, Nabi Muhammad meletakan dasar keberpihakannya kepada mereka yang didzalimi dalam stuktur masyarakat dengan karakteristik feodal, rasis berbasis warna kulit, patriakh, anti perempuan, anti kaum miskin, anti anak yatim, anti minoritas agama, dan anti monogami. Bacaan Nabi atas realitas itu, bersama wahyu yang diterimanya, melahirkan ajaran yang mendobrak dan menjungkirbalikkan struktur-struktur kuasa yang seolah sudah menjadi kebenaran. Dengan legitimasinya seluruh ketimpangan sosial diperbaiki dengan prinsip-prinsip nilai dan contoh praktisnya. Misalnya, meletakkan secara setara semua manusia karena yang dinilai oleh Allah adalah amalnya. Itu merupakan prinsip Tauhid. Sementara untuk parktsinya, nilai itu ditunjukkan dengan ibadah haji yang semuanya sama ditunjukkan dalam tata cara bepakaian seperti kain ihram. Rasisme diatasi dengan mengawini perempuan hitam Koptik dari Mesir dan mengangkat Bilal- budak hitam menjadi muazzin. Mereka diberi kelas/ kedudukan sosial dihadapan kelas menengah para feodal Makkah Madinah; perempuan yang dihinakan dalam stuktur patriakh feodal, diposisikan setara secara sosial dengan lelaki dengan cara pemberian warisan yang setara, larangan mengawini budak-budak, dan didengar pendapatnya serta direstui cara berpikir mereka dalam menolak kekerasan; anak yatim dan budak dijadikan sarana penebusan kesalahan sosial dan agama- kalau batal puasa- kasih makan anak yatim, kalau berzina tebus budak, kalau membunuh tebus budak lebih banyak.
Sepeninggal Nabi, penerusnya faham betul bahwa tak ada yang punya kuasa atas ajaran agama kecuali melalui tafsir. Padahal melalu dan dalam agama ada magma kuasa. Di sini tafsir lalu diperebutkan dan dibeli. Karenanya sang pemenang niscaya kaum penguasa.
Kalangan feminis Muslim, dalam catatan Ziba Mir Hossaini, terus menerus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya. Namun menafsirkan dengan cara itu hanya menjadi tafsir pinggiran meskin secara subtansi telah berupaya mengembalikan ayat pada fungsnya sebagaimana dilakukan Nabi. Dalam kesadaran kaum feminis Muslim, rupanya tafsir tak bisa menjadi pandangan mainstream tanpa menggunakan kekuasaan politik. Dan mana ada kekuasaan yang memihak pada tafsir kaum feminis sedang mereka menikmati kejayaannya dengan menindas kaum perempuan. Berdasakan itu, menurut Ziba, cara untuk mengembalikan penafsiran pada jalannya yang benar adalah mengkontraskan teks dengan realitas, di sini realitas ketertindasan manusia harus dijadikan konteks yang menantang teks. Ketertindasan setiap entitas harus dihadirkan, dan sebagaimana Nabi, dengan agama yang dibawanya Nabi membebaskan mereka yang dilemahkan dalam struktur-struktur kelas sosial, gender, umur, posisi sosial ekonomi dan politik.
Dalam makna itu, untuk membebaskan tafsir dari kungkungan rezim pemenang, maka kiblat atau pedoman untuk penafsiran haruslah jelas yaitu semangat pembebasan bagi mereka yang didzalimi secara stuktur dan kelas. Jadi siapa yang hendak kau bela dengan tafsirmu?