Merayakan Tawassuth di Lapangan Hijau

Merayakan Tawassuth di Lapangan Hijau

Merayakan Tawassuth di Lapangan Hijau

Salah satu prinsip beragama Ahlussunnah wal Jamaah adalah Tawassuth alias moderat atau berada di tengah, bersikap menengahi, tidak condong ke kanan tidak miring ke kiri, tidak ekstrem kiri tidak juga ekstrem kanan, tidak liberal enggan literal, tidak menjadi Rafidhah enggan pula menjadi Khawarij, mencintai ahlul bait sekaligus para shahabat beliau radliyallahu anhum tanpa harus menista salah satu di antara keduanya. Konsep tawassuth dalam beragama ini, menurut KH. Ma’ruf Amin, Rais Am Syuriah PBNU, adalah salah satu sikap yang memiliki landasan tawazun alias seimbang atau harmoni. Dalam keseharian, sikap ini menuntun seseorang pada keseimbangan pola pikir, tidak gegabah, tidak gampang menyalahkan pihak lain, dan memilih menjaga harmoni dan kondusifitas suasana. Mayoritas umat Islam di Indonesia menganut pola pikir ini.

Dalam politik kebangsaan, sejak era Bung Karno, Indonesia juga menganut prinsip tawasuth dan tawazun, atau yang dalam istilah Bung Hatta, mendayung di antara dua karang, yang dalam realitasnya diimplementasikan dengan membentuk Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok, yang menegaskan sikap Indonesia sebagai sebuah negara yang menyeimbangkan diri di antara dua kekuatan besar bernama Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di ASEAN pun, Indonesia memiliki sikap politik sebagai penjaga stabilitas kawasan. Pola pikir tawazun alias seimbang yang menimbulkan efek harmoni. Kredo terakhir ini bakal mendekatkan seseorang berlaku adil. Sedangkan adil, menurut al-Qur’an, lebih dekat dengan taqwa.

Lantas, apa hubungannya dengan sepakbola? Ada fakta yang menarik. Tawassuth dan tawazun ini sebenarnya sudah lama dipraktekkan para pelatih jempolan di atas lapangan hijau. Di masa mudanya, mereka adalah para gelandang (midfielder) yang juga bertindak sebagai playmaker, bukan striker, bek, apalagi kiper. Posisi ketika bermain ini lambat laun mempengaruhi pola pikirnya, yang pada fase berikutnya mempengaruhi filosofi, pilihan strategi, maupun pola permainan tim yang mereka bentuk. Bahwa menyerang atau bertahan sama-sama penting. Keseimbangan kerjasama antara lini depan dan belakang dengan bertumpu pada para pemain tengah adalah sebuah keniscayaan. Ini adalah sebuah pola pikir yang tak bisa disusun dengan kursus semalam.

Karena di masa muda kenyang pengalaman sebagai “penyeimbang” permainan, maka para pelatih ini bukan penganut pragmatisme ala Mourinho dengan strategi “parkir bis”-nya, melainkan memilih menjaga keseimbangan antara bertahan dan menyerang. Tidak bertahan penuh, juga tidak melakukan serangan terus-menerus. Imbang dalam keduanya. Hasilnya, eksperimentasi keseimbangan ini banyak menuai hasil.

Untuk menjelaskan bagaimana pentingnya bersikap tawassuth ini, tak perlu muluk-muluk. Kita lihat komposisi para jawara di setiap liga Eropa 2016/2017 sekaligus memperhatikan kiprah para pelatih muda di setiap kompetisi.

Para Jawara Liga Eropa

Di Jerman, pada musim ini, kita tahu Bayern Munchen meraih gelar ke-25 di bawah asuhan Carlo Ancelotti. Pelatih Italia ini dikenal bertangan dingin dan mampu meraih kesuksesan di empat negara (Italia, Inggris, Perancis, Spanyol, dan Jerman) dengan klub yang berbeda. Don Carlo, yang mulai moncer saat dikader reformer sepakbola Italia, Arrigo Sacchi, dulunya dikenal sebagai gelandang AS Roma dan AC Milan dan turut andil dalam mempersembahkan beberapa tropi untuk dua klub tersebut. Pengalamannya sebagai gelandang turut mempengaruhi pola pikirnya. Ketika datang menggantikan Pep Guardiola, Don Carlo mendapatkan beban berat. Sebab di bawah Pep, Muenchen meraih gelar Liga Jerman tiga kali berturutr-turut. Tapi terbukti, transformasi kepelatihan dari Pep ke Don Carlo berlangsung stabil. Keduanya adalah bekas pemain tengah dengan kemampuan meracik tim di atas rata-rata. “Perubahan dari Guardiola ke Ancelotti sangat mengalir. Meski perubahan ini berlangsung begitu cepat tapi kami berhasil melaluinya. Ini merupakan penghargaan tersendiri bagi fleksibilitas dan kualitas tim,” kata Douglas Costa, winger Bayern Muenchen, sebagaimana dilansir media Jerman, Kicker (4/09/2016).

Di Spanyol, Real Madrid sudah mengunci gelar Liga Spanyol. Sebagai pelatih, Zinedine Zidane masuk kategori berprestasi untuk ukuran pelatih debutan yang menangani tim junior lalu naik kasta sebagai pelatih Madrid senior. Zidane adalah tipikal pelatih yang memilih memperkokoh permainan para gelandang. Setidaknya ini bisa kita lihat tatkala si plontos ini memberikan ruang inovasi bagi si kekar Gareth Bale dan si kerempeng Luka Modric. Eksperimen Zidane saya kira banyak dipengaruhi pengalamannya di masa muda sebagai konduktor permainan saat di Juventus, Madrid dan timnas Perancis. Ia adalah dirijen jenius. Mematikannya berarti membunuh orkestra sebuah tim. Final Piala Dunia 2006 adalah bukti. Materazzi memprovokasinya. Tandukan Zidane membuat ambruk si jangkung itu. Kartu merah yang melayang sekaligus menandai dimulainya permainan Perancis yang compang-camping tanpa jenderal keturunan Aljazair itu. Dan pengalaman sebagai konduktor permaian turut andil dalam sikapnya meracik komposisi Madrid. Hasilnya? Ketika menggantikan Benitez di pertengaha musim 2015/16, Zidane sukses mengangkat performa Madrid hingga meraih treble: kampiun Liga Champions, Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antar Klub FIFA. Kini, dia bahkan berhasil merengkuh gelar Liga Spanyol. Sebuah prestasi mengagumkan dari pelatih muda dengan pengalaman yang minim.

Rekan Zidane saat di Juventus, Antonio Conte, di musim ini berhasil mengerek bendera Chelsea sebagai kampiun Liga Inggris. Siapapun yang hafal iklim sepakbola Italia di era 1990-an hingga awal 2000-an, pasti hafal pemain tengah Juventus ini. Ketika gantung sepatu dan menjadi pelatih, Conte adalah allenatore Italia yang sangat suka melakukan perubahan taktik dan komposisi pemain. Dia tidak pernah puas dengan formasinya.

Selama 3 tahun menukangi Juventus, Conte menempatkan Andrea Pirlo sebagai dirijen yang dibantu bocah ajaib, Paul Pogba, lalu disokong trio BBC: Bonucci, Barzagli dan Chellini, di lini belakang. Pengaruhnya dahsyat! Nyonya Tua hanya kebobolan 20 gol selama musim 2011/12. Di era kepelatihannya, Juventus merajai Italia dengan menjadi numero uno selama tiga kali beruntun dan merengkuh Piala Super Italia. Kini, setelah hijrah ke Chelsea, sentuhan “Raja Midas”-nya mulai berbuah gelar pertamanya di ranah Britania.

Setelah ditinggal Conte ke Timnas Italia, ada kekhawatiran jika Juventus bakal keteteran. Analisis ini terbukti gagal. Sebab, di tangan Massimiliano Allegri, Juventus stabil dengan meraih gelar Serie A berturut-turut, Coppa Italia tiga kali, Piala Super Italia bahkan lolos ke final Liga Champions sebelum keok di kaki Barcelona, 2015.

Allegri adalah tipikal pelatih yang mengandalkan konsentrasi lini tengah sebagai pusat distribusi bola. Soal formasi, dia bisa berubah-ubah, disesuaikan dengan komposisi pemain yang tersedia sekaligus menyesuaikan dengan pola permainan lawan. Ketika berhadapan dengan AS Monaco di leg pertama Semifinal Liga Champions (4/5), dia memasang formasi aneh. Skema andalannya tetap 4-2-3-1, tapi menjadikan Dani Alves sebagai winger kanan dan Andrea Barzagli sebagai bek kanan. Hasilnya ciamik, Juve unggul 2-0, dan secara permainan menampilkan gaya yang atraktif dengan Dani Alves sebagai titik tumpu permainan. Bekas pemain Barcelona itu kembali trengginas dengan gol spektakulernya ke gawang AS Monaco di leg kedua, sekaligus menjadi man of the match dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 2-1 untuk Nyonya Tua (10/5). Perubahan formasi ini merupakan langkah adaptatifnya setelah mengambil alih Juve dari Conte yang fanatik dengan skema 3-5-2.

Jika di masa mudanya Conte menjadi midfielder klub raksasa, maka Allegri hanya menjadi pemain tengah klub liliput macam Livorno, Pisa, Pavia, hingga klub medioker seperti Cagliari. Pengalaman sebagai pemain tengah ini banyak mempengaruhi sikapnya saat merumuskan taktik yang dia ambil. Nalurinya sebagai pelatih jempolan berkembang pada saat dia menukangi AC Milan dan Juventus.

Apa kabar Liga Belanda? Meskipun tidak semeriah era 1990-an hingga tahun 2000-an, kompetisi ini masih menarik untuk diikuti. Penyebabnya, banyak akademi klub Belanda yang menjadi pemasok calon pemain bintang di Liga Eropa. Pada musim ini, Feyenoord yang puasa gelar selama 18 tahun berhasil meraih tropi Eredivisie. “Bertahun-tahun tersakiti, tapi kami tetap bermimpi” adalah spanduk yang terbentang dalam pertunangan Raisa, eh maaf, dalam perayaan pesta juara klub asal Rotterdam ini.

Giovanni Van Bronckhorst adalah sosok penting dibalik kecemerlangan Feyenoord musim ini. Pria keturunan Maluku itu berhasil memadukan para pemain muda untuk bahu-membahu di bawah bimbingan veteran Dirk Kuiyt mengantarkan klub berseragam merah putih ini sebagai kampioen eredivisie. Di masa aktif menjadi penggawa Timnas Belanda, Van Bronckkhorst menjadi pemain tengah andalan Der Oranje. Dia menjadi gelandang meskipun kemudian bergeser menjadi bek kiri, posisi yang dia lakoni saat memimpin Belanda hingga partai final Piala Dunia 2010.

Dari liga-liga top Eropa, hanya Liga 1 Perancis yang berbeda. Jika para kampiun di negara lain diarsiteki bekas pemain tengah, maka AS Monaco adalah pengecualian. Les Monegasques sukses mematahkan dominasi klub tajir, Paris Saint Germain, yang sebelumnya menjadi jawara selama empat kali berturut-turut. Di kasta teratas Ligue 1 musim ini, AS Monaco tampil memukau.

Diarsiteki pelatih asal Portugal kelahiran Venezuela, Leonardo Jardim, klub ini bertransformasi menjadi salah satu klub paling ofensif di kancah liga maupun padang kurusetra Eropa. Prestasinya tahun ini adalah buah manis dari pilihan jitunya yang memaksimal wonderkid seperti Kylian Mbappe, Thomas Lemar, Tiemoue Bakayako yang ditunjang performa apik Radamel Falcao, striker yang kembali menemukan kemampuan terbaiknya di musim ini.

Menyaksikan AS Monaco musim ini adalah melihat kegilaan seorang pelatih yang sangat brutal dalam menekan kemampuan strikernya. Lihat saja, raihan 107 gol yang dicetak tukang gedor AS Monaco adalah pembuktian betapa rakusnya lini serang mereka. Di tangan Jardim, AS Monaco nyelonong ke final Coupe de La Liga dan semifinal Coupe de France. Klub milik Dmitry Ryobolovlev ini bahkan nyaris melaju ke final Liga Champions Eropa sebelum kegilaan mereka dihentikan Juventus, yang juga menerapkan formasi aneh menghadapi klub yang rakus gol seperti AS Monaco, di semifinal.

Nama-nama di atas adalah salah satu pembuktian adanya pola tawassuth di lapangan hijau, di mana para pelatih-pelatih di atas bermain sebagai gelandang di masa mudanya. Terkecuali Leonardo Jardim, yang memang tidak pernah menjadi pemain profesional, nama-nama di atas adalah bukti sahih apabila pengalaman di masa muda dan posisi bermain turut membentuk pola pikir ketika mereka menjadi peramu strategi.

Selain nama-nama di atas, masih banyak para eks gelandang yang sukses di fase kepelatihannya dengan berbagai raihannya. Pep Guardiola, misalnya. Tak perlu saya sebutkan raihan prestasi yang diraih pelatih berkepala botak ini. Di masa muda, dia pernah berjuluk gelandang tukang angkut air karena sibuk mondar mandir tengah-depan-belakang. Tahu Edgar Davids? Agak mirip, kecuali satu: Guardiola adalah pemuja permainan efektif dan indah. Dia dipengaruhi oleh mentor bergaya klasik, Johann Cruiyff, dan pelatih Londo lainnya, Louis Van Gaal. Tiki-taka adalah temuan paling aduhai di jagat persepakbolaan setelah Catenaccio-nya Helenio Herrera, Total Voetball-nya Rinus Michels, Jogo Bonito-nya Mario Zagallo, maupun gaya parkir bus di depan gawang ala Mourinho (hahahaha).

Apa kabar Diego Simeone? Pelatih Atletico Madrid yang terkenal dengan gaya zona marking yang ketat dan serangan balik secepat kilat ini dulunya tipikal gelandang bertahan yang jago provokasi namun juga konyol. Tahun lalu, dia pernah divonis larangan mendampingi tim di Liga Spanyol akibat ulah konyol membiarkan bola liar masuk lapangan di saat pertandingan berlangsung. 19 tahun silam, di Piala Dunia Perancis, Simeone memainkan akting sempurna. Aksinya pura-pura jatuh akibat tekling membuat bintang flamboyan Inggris, David Beckham, bertindak bodoh dengan menendangnya. Si ganteng diusir keluar lapangan. Three Lions takluk di kaki Argentina hingga media Inggris menyalahkan tindakan bodoh Beckham dengan membuat headline kejam, “10 Singa Pemberani + 1 Bocah Bodoh”.

Simeone memang tak sejenius dirijen Juan Roman Riquelme saat mengatur serangan, atau sigap memblokir serangan lawan seperti tugas Sebastian Veron, tapi ia adalah pembelajar yang baik. Di tangannya Atletico menjadi tim yang solid yang agresif dana menyerang dan solid dalam bertahan. Di musim 2012/13, Atletico yang kemudian menjadi juara Liga Spanyol, pernah meraih 14 kemenangan beruntun. Di sisi lain, dengan pertahanan paling solid, di musim 2015/16, Los Rojiblancos mencatat rekor clean sheet dalam 20 pertandingan di berbagai ajang.
Pendukung Atletico, yang di dua dasawarsa sebelum ini hanya bisa merana melihat pesta pendukung Real, kini bisa tersenyum meledek tetangganya dengan raihan prestasinya sejak ditukangi Simeone. Raihan lima trofi dalam lima musim adalah salah satu capaian terbaiknya. Prestasinya melajukan Atletico Madrid di dua edisi final Liga Champions juga menjadi satu bukti sahih betapa Simeone yang tempramen saat menjadi gelandang bertahan di masa lalu kini menjadi pelatih yang ciamik dalam meramu taktik. Dia menjadikan para pemain tengah sebagai gelombang yang terus menerus ikut memainkan orkestra sepakbola menyerang yang atraktif dan bertahan dengan gaya ortodok.

****

Selain nama-nama di atas, ada banyak nama eks gelandang (bisa juga pemain tengah maupun bek tengah) yang sukses berkarier sebagai pelatih. Dari rahim Italia ada Marcelo Lippi, Carlo Ancelotti, Fabio Capello. Ada juga generasi di bawahnya seperti Frank Rijkaard, Ruud Gullit, Gianluca Vialli. Sisanya generasi yang lebih fresh karena mereka satu lichting: Didier Deschamps, Antonio Conte, Roberto Donadoni, Joachim Low, Laurent Blanc, Zinedine Zidane, Diego Simeone, Pep Guardiola, Luis Enrique, Frank de Boer, Philip Cocu, Roberto Di Matteo, Jurgen Klopp, Slaven Bilic, sampai Giovanni Van Bronckhorst.

Dalam kajian psikologi, sebagian hidup kita ditentukan oleh kebiasaan. Karakter, pola pikir, sikap dan perilaku kita terbentuk karena sebuah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Kebiasaan ini akhirnya menjadi sebuah pengalaman yang ikut membentuk pola pikir. Dan, pola pikir menentukan cara meraih prestasi. Contoh di atas adalah salah satu pembuktian bahwa tawassuth dalam sepakbola saja sudah keren dan ikut andil membentuk bukit prestasi, apalagi kalau diterapkan di dalam keberagamaan dan keberagaman kita. Sebagaimana kata Mahatma Gandhi, pikiranmu akan menjadi ucapanmu. Ucapanmu akan menjadi perilakumu. Perilakumu akan menjadi kebiasaanmu. Kebiasaanmu akan menjadi karaktermu. Karaktermu akan menjadi takdirmu. Dan, di lapangan hijau, kata-kata Gandhi itu dirayakan.

Wallahu A’lam Bisshawab